Jumat, 05 Oktober 2012

eksplore Bromo

 

Setelah Mendekat ke Bromo (Tumpang-Coban Pelangi-Jemplang) kemarin harinya, maka pada tanggal 08 Agustus 2012 subuh dinihari, saya sudah bersiap untuk jalan di daerah Bromo ini. 

Pukul setengah 4 pagi maka saya sudah bersiap, menunggu si bang ojek yang datang tepat waktu. Pada waktu dini hari inilah saya membayar tiket masuk taman nasional, sebesar 8rb yang berlaku selama kita tinggal di sana. 

Banyak jeep yang membawa turis asing, di gelapnya malam turun melewati lautan pasir untuk bertolak ke Penanjakan. Hanya sesekali motor yang kami tumpangi terpleset masuk dalam gundukan pasir yang tebal. Hingga menemukan jalan aspal menanjak, menandakan sudah masuk wilayah Pasuruan. Kemudian sampai di pertigaan di mana banyak kendaraan juga naik dari Pasuruan. Pagi itu cukup ramai baik jeep maupun motor hingga tersendat dan saya memutuskan berjalan kaki saja. 

Tempat melihat matahari terbit di Penanjakan ini sangat ramai dengan wisatawan, pukul 5 pagi sudah tampak garis kuning sinar matahari mengintip. Saya tidak beranjak dari tempat saya berdiri di sebelah kiri, karena seluruh tempat terdepan di sisi lainnya telah dipenuhi turis. Ketika matahari mulai nampak, mulailah kami mengabadikan momen tersebut. Dari sana nampak juga gunung Semeru yang sesekali mengeluarkan asap.

Saya di sini hingga suasana sepi, alias menjadi barisan orang terakhir yang meninggalkan tempat ini. Dari sini pemandangan gunung Bromo terlihat simetris, bersebelahan dengan gunung Batok serta Semeru di belakangnya.

Saat akan meninggalkan Penanjakan, saya sempat dihampiri satu turis lokal yang hendak minta foto bareng, mungkin dipikirnya saya ini turis asing. Nampaknya sudah terlanjur jadi sekalian saja berfoto ria, karena akhirnya mereka tahu kalau ssaya turis lokal rasa asing. Xp

Setelah jalan tidak jauh dari Penanjakan, ada satu titik di mana kita dapat melihat kembali pemandangan kaldera. Tapi dengan posisi yang sudah agak ke barat, hingga gunung Bromo hanya terlihat sebagian saja.


Umumnya setelah dari Penanjakan, paket wisata atau transport yang berlaku adalah langsung menuju gunung Bromo, tetapi saya memutuskan ke tujuan lain yaitu Goa Widodaren. Posisinya lebih terpencil, di sebelah timur gunung Bromo. 

Awalnya biaya mengojek Penanjakan Bromo pulang pergi dikenakan 125rb, tetapi saat saya meminta ke Widodaren tanpa ke Bromo malah ditambah menjadi 150rb. Hal itu lumrah karena ke Bromo hanya mampir berhenti di tengah perjalanan, sementara jalur ke Widodaren sberbelok ke kanan sebelum gunung Batok, sehingga seperti menyusuri kaldera bagian barat.


Saat sampai di tempat pemberhentian alias parkir motor, maka kita diharuskan mendaki untuk mendekat ke mulut Goa, tetapi nampaknya medan yang dilalui cukup terjal dengan jalur yang sempit. Baru setengah perjalanan saya memutuskan kembali, setelah memerhatikan jalur tanjakannya semakin curam.

Daripada memaksa diri sampai atas, tapi ketika di atas malah tidak dapat turun. Di sini saat hendak mengabadikan momen sekitar, pasir yang berterbangan sudah cukup membuat kamera saya seperti kelilipan, karena nampaknya masuk ke lensa dan agak mampet saat menyalakan kembali.


Setelah selesai maka kami kembali dengan sesekali berhenti mengambil gambar. Saat melewati jalur wisata, ternyata yang sedang ke Bromo sangat ramai terlihat dari mobil jeep yang terparkir, mungkin puluhan.  

Ketika sampai kembali di Cemoro Lawang, sedikit membersihkan diri sejenak. Kemudian tidak lama saya langsung menuju air terjun Madakipura dengan kesepakatan 80rb pulang pergi, berbeda jauh saat saya bertanya ke warga di sana yang menetapkan tarif 150rb kemarin harinya.

Jalur ke Madakaripura itu menurun ke arah Probolinggo, saat masuk ke wilayah Sukapura maka akan berbelok. Nampaknya jalurnya itu memutar cukup jauh untuk mendekati ke tebing pengunungan ke sisi lainnya. Tidak ada angkutan umum di sini, hingga sampailah saya di jalur yang berakhir ke air terjun tersebut, dengan patung Gajah Mada di depannya.

Di pintu loket banyak sekumpulan orang yang bersiap menjadi pemandu, awalnya saya hendak jalan sendiri tetapi diarahkan untuk menggunakan pemandu, karena jalan menuju air terjun sudah tidak terbentuk utuh dan akan beberapa kali menyeberangi sungai. Akhirnya saya menerima tawaran tersebut, salahnya tidak bertanya terlebih dahulu mengenai jasa tarifnya, hingga di sini jadi awal kesalahan saya yang kena "apes" untuk kategori dana.

Jalannya cukup jauh, beberapa ratus meter dan benar saja, jalan setapaknya sudah tidak terbentuk. Alasannya sudah terputus oleh karena timbunan bekas tanah longsor, hingga kita akan menyeberangi sungai dangkal beberapa kali.

Ketika mendekati ke ujung tebing nampaklah air terjun dari kejauhan. Semakin dekat maka si pemandu mengajak saya, untuk terus berjalan ke arah belakang guyuran air terjun pertama. Mungkin jika saya jalan sendiri tidak akan terpikirkan, untuk jalan di balik air terjun tersebut dan hanya sampai di titik awal saja.

Setelah melewati bagian belakang air terjun dengan terkena rintik, maka diajak semakin masuk ke dalam berjalan di atas sungai. Di sana ditunjukkan jalan setapak yang pernah dibangun, sudah tertutup gundukan tanah. Saya sempat bertanya bukankah ada jembatan di sana, setelah melihat review dari internet. Dijelaskan pula bahwa jembatannya sudah hanyut terbawa banjir.
  

Untuk menuju air terjun utama, kita harus menaiki batu-batuan yang licin. Hingga sampailah saya di titik terdekat, setelah memanjat batu-batuan dengan dibantu pemandu. Air terjunnya sangat tinggi, untuk melihat ke atas kita harus mendongakkan kepala, karena jarak saya berdiri dengan guyuran air terjun sangat pendek, mungkin hanya sekitar belasan meter saja.


Tidak terlalu lama saya di sini, tidak sampai setengah jam, karena saya menjadi satu-satunya turis pengunjung di sana. Kondisi sekitar cukup ekstrim, karena berdiri depan air terjun, dengan posisi kita berada di ujung tebing yang tinggi.

Nasib kurang baik saya dialami di sini, saat akan membayar jasa pemandu. Saya memperkirakan dengan jarak sedemikian jauh, serta bantuannya menyusuri jalan tersembunyi. Mungkin biaya 30rb saja sudah cukup, tetapi disebut kurang dan biasanya hampir 100rb.

Di sini saya mulai dilema mengeluarkan uang sedemikian besar, sehingga saya jelaskan bahwa turis domestik jangan disamakan dengan tarif turis asing. Sedikit bernegosiasi awalnya hanya memberi 50rb sampai kemudian ditambahkan hingga 70rb, mungkin saat itu saya seperti diajarkan untuk ikhlas (kena palak). :)  

Saat pulang ketika mencari info tentang pemandu di sana, memang banyak yang berpendapat pemuda-pemuda di sana memang cukup merepotkan, itulah salah satu yang membuat kunjungan wisata menurun.

Siang hari saya sudah kembali ke penginapan untuk beristirahat dan mengisi perut. Si tukang ojek tadi pun saya beri imbalan tambahan, menjadi 250rb untuk jasanya mengantarkan saya berkeliling ke tujuan yang kurang umum tersebut.

Saya baru keluar penginapan jelang pukul 3 sore, ketika sinar matahari sudah tidak sedemikian menyengat. Tujuan saya tentunya menuju gunung Bromo, sore itu saya memutuskan berjalan kaki saja. 

Jalan kaki menuju gunung Bromo dari gerbang wisata Cemoro Lawang itu sekitar satu jam. Jika dilihat memang dekat, tetapi jaraknya lumayan jauh. Pukul 4 sore akhirnya saya tiba di kaki gunung, dijumpai seorang yang menawarkan jasa menaiki kudanya

Saya akhirnya menerima tawaran naik kuda, untuk sampai ke dekat tangga menuju kawah dengan kesepakatan 30rb.  Ketika sampai tentunya tangan saya aktif mengabadikan suasana sekitar, kemudian menaiki tangga yang dipenuhi pasir. Sebagian pegangan tangganya sudah hancur.

Sesampainya diatas suasana cukup sepi. Awalnya saya hendak ke lautan pasir atas, karena di sebelah selatan gunung Bromo terdapat lautan pasir atas yang terkenal dengan sebutan Segara Wedhi Anakan. Tapi saya membatalkan rencana tersebut, setelah melihat jalan yang harus dilalui cukup ekstrim, karena akan mengitari kawah dengan jalan yang luasnya hanya kurang dari dua meter, tanpa pengaman apapun di kedua sisi. Hingga memutuskan menunggu matahari terbenam saja, tetapi saya melihat beberapa turis asing dengan berani menyusuri jalur tersebut untuk ke sana.

Rasanya ruang gerak saya di atas menjadi terbatas karena cukup hati-hati. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya di pagi hari, saat tempat tersebut dipenuhi turis. Beruntunglah saya memutuskan naik kawah pada sore hari, karena yang memengaruhi keputusan saya juga dari info internet, bahwa jika siang hingga sore kita akan lebih dapat menikmati suasana sekitar Bromo.

Saya mengabadikan sekitar tentunya, melihat kawah yang berwarna kehijauan tanpa kepulan asap. Hanya sesekali terdapat bunyi dari arah kawah. Ssaya jumpai pula turis Singapura yang bernyanyi, sambil membawah bendera negaranya didokumentasikan oleh temannya, suaranya terdegar sangat jelas karena sepi.

Pukul setengah 6 sore ketika matahari mulai menghilang barulah saya turun dari sana. Untuk jalan turun juga berhati-hati, mempercepat langkah karena hari sudah semakin gelap. Ketika tiba di Cemoro Lawang memang ketika hari sudah gelap, saya memutuskan mengisi perut dahulu sebelum kembali ke penginapan untuk beristirahat.

Esok paginya saya keluar penginapan, hanya masuk taman wisata untuk melihat pemandangan gunung Bromo dan Batok dari kejauhan. Terlihat mobil jeep yang sangat kecil, seperti titik-titik mengantar turis, tapi nampaknya tidak seramai kemarin harinya. Cuacanya pun terbilang baik pagi itu, ketimbang saat saya melewatinya yang penuh dengan pasir yang berterbangan kemarin harinya.

Jelang pukul 8 pagi maka saya kembali ke penginapan, untuk bersiap mengembalikan kunci karena akan turun sepagi mungkin. Tidak jauh dari penginapan saya melihat banyak mobil "Bison" berbaris, jadi mobil carteran untuk ke arah Probolinggo. Setelah bertanya salah satu kondekturnya, diperbolehkan ikut mobil carteran tersebut dengan biaya normal. Pilihan itu jauh lebih cepat ketimbang naik "Bison" umum yang akan banyak berhenti untuk ngetem. 

Jelang pukul 10 siang maka seluruh penumpang telah siap, turis lokal hanya saya dengan dua orang yang duduk di depan, selebihnya merupakan turis asing. Mungkin karena mobil carteran, posisi turun penumpang sudah seragam. Beberapa diturunkan di depan travel agen, sementara saya jadi satu-satunya yang turun di depan terminal Probolinggo, hingga berakhir edisi saya menjelajahi bromo untuk tujuan selanjutnya Mencapai Sempol.