Saat mendengar infonya kemarin, saya langsung penasaran dengan jalan alternatif puncak yang lewat jalur belakang. Peta google maps ikut menuntun persiapan, sekaligus langsung berangkat pada hari kedua di tahun ini.
Karena sudah terbiasa memacu kuda besi di sepanjang jalur non-tol Bogor (arah Jakarta), perjalanan jadi terasa santai. Hendak "memotong" jadi sekali2nya lewat dari arah yang berlawanan. Lewat Depok Margonda, kemudian belok kiri untuk masuk jalan utamanya. Hanya tinggal lurus terus dengan patokan menaiki jembatan di Cibinong, lalu berbelok untuk sampai di Citeureup tidak lama kemudian.
Dari Citeureup ini langsung mengambil arah timur, dengan jalan yang banyak dialihkan karena satu arah. Insting kemudi yang terpakai tidak harus berputar-putar, meski lewat jalan pasar yang becek dan ramai. Kemudian mulai meninggalkan keramaian dengan jalan yang lenggang. Jaraknya dua puluhan kilometer untuk sampai "pos" pertama, yaitu pertigaan ke arah Jonggol dan Puncak Cipanas yang dituju.
Suasana semakin sepi, karena hanya beberapa desa dan persawahan yang menemani. Lalu ada jarak beberapa ratus meter, jalan yang ada belum beraspal dan masih batu-batuan, sebelum akhirnya kembali meluncur dengan lebar jalan yang tidak luas. Kawasan yang dilewati itu merupakan kecamatan Sukamakmur.
Jalan yang mulai berkelok-kelok akhirnya sampai pada pertigaan yang dituju, keadaan sekitar lebih ramai dengan adanya pasar. Lalu mengisi perut jelang siang, sebagai persiapan sebelum bermain air di atas sana. Artinya ada tujuannya dan ada TKP perhentiannya, kalau tidak untuk apa jalan jauh, meski perjalanan itu sendiri adalah kegiatan yang menyenangkan.
Lanjut lagi ngacir, jalan mulai menanjak sedikit demi sedikit. Dari Citereup dan pertigaan, sampai atas sangat lenggang. Hanya terlihat satu dua gerobak besi yang melintas, selebihnya seperti sirkuit jalan raya meski lebar badan jalannya terbatas, kalau dua mobil berpapasan, maka perlu melambatkan kecepatannya.
Pemandangan perbukitan rendah dapat lebih dekat dinikmati, pada kedua sisinya. Berbeda dengan jalur utama puncak yang jauh, karena pemandangan itu hanya sepanjang kebun teh sampai resto Rindu Alam. Sampai menemui petunjuk kawasan hutan pinus, ditandai dengan penunjuk jalan ke Curug Ciherang.
Tapi tujuan pertama ke air terjun satunya lagi, lebih naik dan melewati hutan cemara atau pinus. Berjalan beberapa kilo meter dan sampai di wisata Curug Cipamingkis, dengan kondisi yang ramai didatangi dan tetap menceburkan diri dikolamnya yang sempit tapi tidak dalam.
Beberapa lama menghabiskan waktu di sana, kemudian sempat ingin tahu terusan jalannya. Masih dalam kawasan hutan wisata tersebut, dan berujung pada kawasan ramai di Cipanas, tapi niat itu diurungkan karena hendak bermain lagi di tujuan kedua, waktu sudah lewat tengah hari. Sempat ngemil jagung bakar pada satu kedai beratapkan gubuk sederhana, diiringi hujan rintik.
Lalu kembali menuju tujuan utamanya, yaitu wisata Curug Ciherang, sempat melewati satu halaman air terjun tanpa nama yang sepi, terus lanjut sampai gerbang wisatanya. Saat mendekat, keadaan lapangan justru terbalik dengan cerita2 penulis blog sebagai referensi. Karena biaya tiket di sini sudah teratur, cukup membayar 12rb nett, berbeda dengan Curug sebelumnya yang banyak pungli-nya. Kesaksian yang saya baca, justru tadinya di tempat ini yang banyak premannya (atau mungkin pindah?).
Keadaan di sini lebih menyenangkan meski ramai (juga), karena lebih teduh dan kebetulan kabut seringkali turun pada siang hari tersebut, lebih banyak dari tempat sebelumnya. TKP-nya juga lebih luas, jadi banyak tempat buat buka lapak bertapa atau sekadar nyantai. Tidak pakai lama kembali bermain air, kolamnya lebih luas dan agak lebih dalam, cukup untuk tidur terlentang di atas bebatuan.
Main air tidak kalah lama, jika orang-orang ada yang kedinginan, saya bersama beberapa pengunjung lain tidak terpengaruh. Merasakan suasana sejuknya lebih lama, menikmati kesegaran dari hulu aliran sungai jernih, berasal dari sumber mata air pegunungan yang sayang jika dilewatkan.
Bermain dan pada akhirnya mengisi perut jelang sore, pada kedai ala warkop di pelataran parkirnya. Menyantap mi instan yang lebih hangat untuk bersiap, karena pada jam 4 sore baru mulai turun dari sana. Masih diselingi rintik hujan dan awan yang berbentuk dekat pada perbukitannya.
Memacu kecepatan dengan santai karena jalannya menurun, kemudian sampai bertemu pertigaan tadi hendak mencoba jalur Jonggol. Satu jalan yang panjang nan lenggang, persawahan di kanan kiri, serta perbukitan yang menjulang, terlihat layaknya berada pada lensa lebar. Suasananya tidak kalah sepi, bahkan lebih lenggang. Mendekati kota baru mulai banyak pemukiman yang terlihat.
Dari Jonggol sudah kembali pada keramaian, erkena macet parah di Cileungsi di depan Taman Buah Mekarsari. Kemudian mampir sejenak di salah satu pusat perbelanjaan di Cibubur, sekadar melihat suasana dan tidak sampai sepuluh menit sudah keluar lagi. :p