Rabu, 14 April 2021

Rasanya (Tidak) Beda



Rasanya tidak beda?
Bisa saja berbeda, tergantung dari kitanya sendiri.

Untuk cerita kali ini saya jadi ingat sama satu film, belum lama ini saya tonton. Filmnya itu berjudul Soul (Ada Spoiler Micro), kebetulan beredarnya tidak terlalu memukau, tapi punya pesan yang tidak biasa. Mengenai seseorang yang gemar dengan musik Jazz. Kebetulan dirinya sendiri adalah pemain piano, serta berusaha menggapai impian dapat tampil di panggung bersama sang idola.

Pada satu titik, akhirnya dia berhasil mendapatkan kesempatan tersebut. Tentunya diiringi dengan usaha, bersabar dan kemauan keras untuk maju, serta adanya cerita utama yang mengalir di film tersebut. Penampilan perdananya di panggung tersebut menuai pujian, termasuk dari idolanya sendiri.

Kemudian percakapan mereka terjadi, ketika tokoh utama dan sang idola bersiap pulang dari tempat mereka tampil. Awalnya tokoh utama itu sangat bergairah, kemudian bersiap dengan hari-hari esok dan penampilan selanjutnya. Tapi jawaban dari pertanyaannya di malam itu rasanya tidak sebanding dengan apa yang dibayangkan.

"So, uh,  what happens next?"
"We come back tomorrow night
and do it all again."
=====================
"What's wrong, Teach?"
"It's just I've been waiting on this day for my entire life.
I thought I'd feel different."
"I heard this story about a fish."
"He swims up to this older fish and says,
"I'm trying to find this thing
they call the ocean."
"The ocean?" says the older fish.
"That's what you're in right now."
"This?" says the young fish.
"This is water.
"What I want is the ocean."
=====================
"See you tomorrow."


Apa yang berbeda di sana? Terutama dari jawaban yang diberikan oleh lawan bicara tokoh utama, menggunakan cerita ikan muda dan tua yang sedang berenang? Adalah cara berpikir kedua ikan yang memang berbeda. Ikan muda masih terobsesi untuk terus berenang mencari lautan, padahal kala itu mereka sudah berada di sana. Meski sempat diberitahu ikan yang lebih tua, bahwa mereka sudah di lautan, tapi ikan muda tetap menganggapnya sebagai air biasa.

Menurut saya pemikiran kawula muda memang seperti itu, gairah mereka masih penuh atau panjang, bahkan seakan tidak terbatas untuk mencari "tujuan" di depan sana. Mencari mencari mencari dan mencari, kenapa bisa begitu? Jawabannya karena ada rasa puas tersendiri, ketika kita bisa mencari dan menikmati pencarian tersebut, karena saya pernah ada di posisi itu. Xp

Jika saya beritahu pernah ada di posisi itu, bukan berarti semua yang sempat jadi tujuan selalu dilewatkan (tanpa hasil). Ada juga yang memang saya tetap berusaha di sana, hingga mencapai batasan yang ditentukan. Istilahnya ada sebuah titik yang kita tentukan untuk dicapai, atau sejauh mana kita memberi tenggat dari setiap usaha yang dilakukan. Jika demikian tujuan kita tersebut sudah paripurna, alias berhasil dalam tanda kutip.

Nah kembali ke cerita, tentang tokoh yang fokus pada satu tujuan utama, dalam hal itu tampil dan menjadi bagian bersama sang idola. Menurut saya itu merupakan tujuan terbesarnya dalam cerita film. Tentunya hal itu tidak berdiri sendiri, karena tujuan-tujuan lain tetap ada, meski tidak menjadi prioritasnya. Misalnya karir sang tokoh yang menjadi guru musik di satu sekolah, kemudian dari guru part-time dipromosikan menjadi guru tetap, hal itu juga merupakan pencapaian yang baik, meski tidak terlalu menyenangkan bagi si tokoh.

Hingga akhirnya impian terbesarnya datang, kejadian itulah yang sangat menyenangkan dirinya. Secara kebetulan sang tokoh sudah berusia agak dewasa, saat bisa tampil di panggung impiannya, didukung pula kemampuan bermain piano yang sudah mumpuni. Andai dirinya tampil saat masih muda, serta dengan kemampuan yang masih terbatas, mungkin ceritanya bisa berbeda. Dengan kata lain kesiapan sang tokoh saat akhirnya mendapat kesempatan, punya pengaruh yang cukup besar dengan apa yang dirasakan olehnya sendiri.

Ambil contoh andai tokoh utama masih "belum siap", entah karena teknik bermain yang kurang, atau masih kurang percaya diri dan lain-lain. Jika demikian feel different yang dibayangkan bisa saja terjadi, entah dengan rasa bangga, atau rasa puas, karena akhirnya dapat melakukan yang terbaik dalam tanda kutip. Intinya sebuah emosi yang tatkala kita mencapai satu titik, maka hal itu akan terasa lengkap, oleh karena keadaan diri kita sebelumnya memang belum sepenuhnya utuh.

Dengan demikian apabila sudah utuh, apakah jadi biasa saja seperti tokoh di film? Termasuk dengan alasan sudah bisa "menguasai" keinginan yang ada? Bisa jadi begitu, karena tujuan tiap-tiap orang serta kemampuannya juga pasti beda. Andai sudah benar-benar siap yah tinggal lakukan saja, sesederhana itu. Jadi kita tidak perlu embel-embel lain, yang seolah-olah bisa melengkapi kesenangan, padahal kita sudah cukup senang saat melakukannya, setuju?

Jadi apa yang membedakan di sini? Ternyata bukan tujuan kita, melainkan apa yang jadi respon kita terhadap tujuan tersebut. Berlaku dalam emosi, berupa perasaan senang, semangat dan lain-lain, tidak terkecuali dengan harapan kita terhadap tujuan tersebut. Yang lebih penting juga adalah dari kemampuan kita sendiri, andaikata dihadapkan secara langsung terhadap tujuan tersebut. Jika sudah bisa dan terbiasa, pasti akan berbeda dengan mereka yang belum terbiasa, atau dalam tahap masih perlu belajar.

Jika berkaitan dengan pikiran, maka para kawula muda (ikan muda) itu gemar mencari dan mencari, lebih jauh, lebih dalam dan lebih lagi. Bahkan kalaupun dirinya sudah mendapat yang dicari, tanpa disadari jiwa pencariannya tetap ada untuk mencari (lagi). Beda dengan pikiran kaum dewasa, yang mungkin sudah merasa cukup, andai tujuan yang dicari sudah didapat.

Atau jika berkaitan dengan kemampuan, maka para kawula muda (ikan muda) masih punya obsesi yang tinggi. Misalnya ingin berenang lebih cepat dari pada yang lain, karena merasa tujuannya masih jauh dan perlu dikejar. Dalam contoh ilustrasi percapakan di atas adalah mencari lautan. Padahal apa yang dilakukan itu justru tidak akan pernah selesai, andai terus mencari sesuatu yang sebetulnya sudah ada, kemudian diabaikan karena ketidaktahuan. 

Ceritanya agak beda dengan kaum dewasa (ikan lebih tua) yang sudah mengerti, bahwa mereka sudah dapat membedakan lokasi, serta tahu bahwa mereka sudah berada di lautan. Andai mereka tahu sudah ada di lautan, tapi kemampuannya belum cukup siap, tujuan mereka juga bisa berubah sendiri, kenapa? Karena mereka akan lebih terfokus, berusaha menyiapkan diri lebih baik lagi di titik itu, bukan terus mencari dan mencari lagi (dari awal).

Ikan muda selalu mencari tujuan lautan (tahap awal).
Ikan lebih tua sadar sudah berada di lautan, hingga punya tujuan lain yang baru (tahap selanjutnya).

Jadi beruntunglah bagi mereka yang masih muda, tapi sudah punya pemikiran seperti orang dewasa, karena tidak semuanya mampu begitu. Paling tidak mereka sudah bisa melakukan lebih cepat ketimbang yang lain. Mencari lautan yang disebut tujuan, serta mendapat apa yang dicarinya itu, untuk kemudian melakukan banyak tugas lain di sana, tidak lagi terjebak dalam "pencarian" yang berulang-ulang.

Sementara yang belum? Tenang, setiap orang punya waktu masing-masing, untuk itulah kita harus menentukan tujuan, kemudian melakukan untuk sampai ke sana. Jika tidak memiliki tujuan bagaimana? Yah itu kembali lagi pada masing-masing pribadi. Bisa saja mereka sudah merasa cukup dengan yang ada pada mereka sekarang, rasa cukup itu juga penting untuk bisa dinikmati pula oleh setiap orang, setuju?

"Aku akan hidup jika bisa menggapai tujuanku kali ini."
"Hei! Bukankah sekarang kamu hidup? Kamu sedang tidak sekarat mau mati bukan?!"
"Yang lebih tepat isi hidup ini dengan berbagai-bagai tujuan, itu baru benar."
:D

Jika ada tujuan baru yang kita incar, maka berusahalah untuk itu. Andai tidak sepenuhnya mengalami feel different ketika mencapainya, seperti tokoh di film, artinya kemungkinan kita sudah bisa menguasai, tentang apa yang hendak kita lakukan di sana. Karena bisa saja selama kita berusaha menyiapkan diri, pada kala itulah feel different itu dirasakan. Istilahnya mendapatkan keseruan pada tahap journey, sebelum sampai di destination, alias sudah pernah kita rasakan sebelumnya, tentu momentum itu berlaku sangat dinamis dan tidak bisa ditentukan harus ada di bagian mana.

"They say it's not the destination, it's the journey." 
"The journey sucks. That's what makes you appreciate the destination." 
- Vacation-

Jadi feel different itu berasal dari dalam kitanya sendiri, bukan dari luar. Plus hal itu bukan jadi yang terutama, karena yang kita lakukan itu justru lebih penting ketimbang feel-nya. Di akhir tulisan ini ada pepatah bagus yang cukup menggambarkan keadaan tersebut. "Bukan yang berseru-seru yang masuk, tapi yang benar-benar melakukan untuk bisa masuk." :))

Tidak berbeda? Jadi bagaimana?
Sebetulnya sama saja, kita saja yang membeda-bedakan.
Xp