Kali ini saya akan bercerita mengenai satu jenis transportasi. Pasti banyak di antara kita sering menjumpainya. Jika melihat judul tulisan mungkin saja sudah terbayang. Apa tuh? Jawabannya angkutan yang menggunakan roda besi, serta punya jalur khusus agar besi yang berputar itu tetap dapat melaju dan bergerak.
Angkutan roda besi ini disebut kereta, karena pergerakannya tidak bisa sembarangan dan harus mengikuti jalur rel yang tersedia. Ada beberapa macam kereta tersedia, seperti kereta api listrik untuk jarak tertentu. Atau ada juga kereta api jarak jauh bertenaga lain, umumnya uap dengan lokomotif di bagian depan sebagai penggeraknya.
Ingatan saya tentang kereta ini pertama kalinya ada di masa kecil. Kala itu bersama orang tua mengunjungi kota Bandung. Pada saat kepergian gerbong kereta cukup nyaman, dengan kursi berhadapan, serta ada pendingin ruangan, kemungkinan kelasnya eksekutif untuk zaman sekarang. Sementara untuk kepulangan menaiki kelas versi murah, karena gerbongnya lebih terbuka dan tanpa pendingin ruangan, kemudian banyak pedagang asongan hilir mudik, andai berhenti di satu stasiun.
Sejak itu saya sudah tidak lagi menggunakan jenis transportasi ini. Mungkin juga karena memang belum punya kepentingan, untuk bergerak dari satu titik ke lokasi lain. Tapi bukan berarti tidak terlihat sama sekali, karena andai berlalu-lalang di ibu kota, kita akan sering menjumpai kereta ini, baik yang melintasi jalan raya tertentu, atau memang siap bergerak ke arah luar kota.
Hingga akhirnya beberapa tahun lalu, kami sekeluarga berencana liburan ke Jogjakarta, kemudian transportasi yang dipilih ini adalah kereta api untuk pergi dan pulang. Menaiki gerbong eksekutif dan berangkat di jadwal malam, hingga sampai tujuan pada saat pagi hari. Ternyata cukup nyaman juga kursinya, hingga tersedia selimut untuk tidur selama perjalanan.
Pilihan naik kereta memang punya saingan, meski hitungannya sudah berbeda jenis. Bis antar kota antar propinsi misalnya, menawarkan harga yang lebih terjangkau, serta adanya fasilitas makan sekali. Kedua pilihan ini (roda besi & karet) dikatakan lebih mudah, karena kita akan sampai di tempat tujuan langsung ke titik utama, bisanya di pusat kota atau keramaian.
Beberapa membandingkan dengan transportasi jenis lain (non-roda) di jalur udara. Misalnya persiapan yang memakan waktu lebih panjang, seperti berangkat ke bandara yang posisinya di pinggir kota, serta waktu untuk lepas landas yang tidak sebentar. Untuk jarak sedang, justru malah lebih cepat pakai transportasi roda, karena langsung sampai di titik strategis.
Belum lama ini juga dari urutan (waktu), saya juga menaiki kereta api (lagi), untuk arah kepulangan dari kota Solo ke Jakarta. Sebuah pilihan yang cukup jitu dilakukan, sebagai alternatif untuk mendapatkan suasana baru. Memilih waktu longgar di keberangkatan pagi hari, bukan lagi memadatkan waktu di kereta malam. Tujuannya tentu untuk menikmati perjalanan itu sendiri, hingga jadwal di siang hari menjadi pilihan.
Kenyamanan yang dirasakan masih tetap sama, hingga pelayanan jasa dari operator kereta api patut diacungi jempol. Bahkan saya baru tahu ada sebuah kebiasaan baru dilakukan, meski konon hal itu ditentang oleh sebagai pihak. Satu kegiatan yang juga saya baru tahu saat keberangkatan, karena punggawa operator kereta memberi salam, melepas keberangkatan dari stasiun awal (pertama).
Dengan banyaknya jalur kereta yang tersedia, melintasi banyak kota, maka pilihan transportasi ini terasa lengkap. Ada juga kereta kelas lain selain eksekutif seperti bisnis dan ekonomi, tentu dengan perbedaan bentuk kenyamanan dan kapasitas penumpang yang tersedia.
Dari info yang beredar, kelas ekonomi memakan waktu perjalanan lebih lama, karena akan berhenti di semua tempat, termasuk yang stasiun kecil. Bahkan bisa saja berhenti di satu titik, tujuannya untuk mengantri jalur, atau mempersilakan kereta kelas atas melaju lebih dulu.
Hingga akhirnya rasa penasaran mulai beralih, kepada transportasi roda besi di dalam kota. Hal itu juga baru kesampaian dalam waktu yang tidak jauh, ketika saya pertama kalinya menjajal transportasi MRT, menjelang pergantian tahun lalu.
"Jadi kaya di Singapur ye" ujar teman saya dengan tertawa kala itu. Sekilas terlihat mengalami pengalaman yang serupa, karena meningkatnya layanan dan tingkat kenyamanan yang ditawarkan.
Beda donk. Kalau di sini pasti lebih berasa bangga, karena ini di rumah sendiri, pikir saya pula kala itu.
Fasilitas yang ditawarkan memang sudah sangat modern, serupa dengan jenis transportasi negeri tetangga. Meski agak terlambat dibanding mereka, tapi hal itu lebih baik ketimbang tidak ada sama sekali, setuju?
Sekarang ini kereta MRT hanya punya satu jalur, dari Bundaran HI sampai Lebak Bulus. Kemudian pengembangan lanjutan adalah perpanjangan rute, hingga menuju Kota Tua, arahnya itu selatan (sebelah barat) hingga ke utara. Bukan tidak mungkin nantinya akan ada lajur lainnya, konon yang mendapat prioritas adalah jalur ke barat dan timur.
Kemudian selain MRT, akan ada jenis transportasi kereta modern lainnya, bernama LRT dengan kapasitas yang lebih ramping. Saat ini sudah beroperasi di "secuil" jalur, dari Kelapa Gading hingga ke Ramawangun. Jalur "terkucil" itu konon dikejar saat pagelaran Asian Games kemarin. Tapi akan ada jalur panjang yang siap dioperasikan, dari Bogor hingga ke Kuningan, tentunya ini juga menjadi pilihan bagi masyarakat.
Dengan jarak yang cukup lumayan, pada akhirnya saya juga kesampaian menjajal transportasi KRL di jalur tertentu. Untuk jenis ini justru lebih sering dijumpai, karena sebagian jalurnya melintasi jalan raya. Hingga pada saat tertentu, palang pintu akan menutup jalan ketika ada kereta melintas.
Untuk jenis KRL ini jalurnya sudah cukup lengkap, mengarungi ibu kota dari utara barat selatan dan timur, hingga menjangkau kota tetangga. Tapi sayangnya saat menjajalnya, jalur ini melalui pemukiman penduduk, posisinya sudah sangat rapat. Hingga secara pemandangan tidak terlalu menarik, pada saat melihat ciri khas "jemuran pakaian" dari pemukiman penduduk. Xp
Cerita selanjutnya ketika menjajal KRL pertama kali itu, sebetulnya sudah ada niatan untuk merekam momen khusus. Apa tuh? Yaitu saat kereta melintas dan melewati palang pintu, hingga terlihat kendaraan bermotor menunggu. Mungkin karena sudah cukup sering menunggu inilah, ingin berganti posisi, bagaimana jika sedang berada di dalam kereta? Terlihat sederhana tapi tidak kalah seru untuk merasakan momentumnya.
Pada pengalaman pertama niat itu gagal, karena ingin dapat rekaman terbaik, maka saya masuk di gerbong paling depan. Tapi ternyata gerbong terujung itu khusus untuk perempuan, hingga saat bersiap merekam, sudah mendapat teguran satpam, untuk pindah ke gerbong belakang. Imbasnya momentum melewati palang pintu kereta terlewatkan. Padahal bisa saja balik lagi ke stasiun yang dituju, tapi jeda keberangkatan cukup panjang hingga dua sampai tiga puluhan menit. Jadinya di lain waktu saja mencoba kembali.
Kesempatan itu datang kembali, pada saat hari jadi ibu kota. Memanfaatkan peristiwa khusus dan kembali menuju stasiun Grogol, setelah transit di Duri dan berangkatnya dari stasiun Sudirman. Momentum beberapa detik yang ingin diabadikan, hingga menjadi kenangan yang tergambar dalam bentuk visual atau foto bergerak.
Sengaja masuk di gerbong yang agak tengah, beruntungnya di gerbong itu tidak terlalu ramai, hingga bisa fokus menangkap momentum. Bertukar posisi sejenak ditunggu oleh para pengemudi, karena mereka menunggu kereta lewat. Sebuah bentuk keseruan yang dapat mendatangkan rasa puas, sederhana dan memang agak sedikit ribet juga. Xp
Pada akhirnya penggunaan transportasi umum adalah hak semua warga, siapa saja boleh menikmati fasilitas tersebut. Dengan tarif yang cukup murah meriah, kita dapat bergerak dari satu titik ke lokasi lain. Hal itu pula yang dimanfaatkan sebagaian anak muda (sekarang), kala menggunakan KRL dari kota tetangga, untuk nongkrong dan tampil di pusat ibukota, melalui pintu stasiun Sudirman. Xp
Naik kereta ke sana.... (Jadwal) Kereta terakhir untuk sampai di sana... 0:)