Saya sebetulnya cukup familiar dengan kota Bandung ini, karena sewaktu kecil suka diajak orang tua ke sana, untuk urusan pekerjaan. Jalan yang saya ingat benar adalah Otista dan Cihampelas di dekade tahun 90an. Saat itu belum ada jalan tol Cipularang. Jika hendak mengejar waktu lebih cepat, maka akan melewati Cikampek. Sebaliknya jika ingin jalan santai maka akan melewati Puncak Cianjur. Jalannya tidak terlalu sulit, karena hanya mengikuti jalan saja, tidak terlalu banyak belokan.
Sejak abad kedua puluh satu kota Bandung mulai berbenah, meski kegiatan tebar pesona tersebut disesali oleh sebagian warga. Mereka merindukan kota Bandung yang belum komersil seperti saat sekarang, terlebih saat akhir pekan yang penuh disesaki banyak warga dari Ibu Kota. Dari sana memang berlaku hukum alam, semakin berkembang suatu daerah, maka arah untuk kegitan komersil semakin tinggin, sehingga ada perputaran ekonomi yang pada akhirnya menguntungkan warga setempat.
Setelah sekian lama tidak kesana lagi, kesempatan datang beberapa tahun yang lalu saat liburan panjang. Untuk kali pertama saya akan melihat kota tersebut dengan ciri khas baru "Factory Outlet" nya kala itu.
Perjalanan melewati Subang guna menghindari kemacetan, tetapi nampaknya sama saja, sesampainya di jalur Ciater mulai bergerak padat, hingga memasuki kota yang juga macet di sana-sini. Kala itu jalurnya melewati kawasan Lembang, tetapi saya masih buta kawasan hingga tidak menyadari. Karena suasana semerawut akibat antrian macet, pada akhirnya keluarga memutuskan kembali pulang. Wajar saja karena kami hanya berencana pulang hari dan tidak menginap. Sementara kami baru memasuki kota Bandung pada petang hari, jadi hanya numpang lewat saja saat itu.
Kesempatan lainnya datang saat saya ber-reuni dengan teman sekolah di pertengahan tahun (2009), kala itu saya belum kesampaian untuk mengajak teman kampus berpergian jauh. Bersama teman sekolah kami berempat termasuk saya jalan ke sana. Dengan pengetahuan yang minim dan cenderung buta mengenai jalan, kami percaya diri untuk berwisata di sana.
Awalnya saya mengira teman saya yang bernama Miko mengetahui jalan, karena dia memutuskan keluar tol di gerbang Mohammad Toha. Tapi nyatanya dia tidak mengetahui jalan, hingga kami berputar-putar tanpa tujuan yang jelas malam itu. Salah satu patokannya dia mencari-cari jalan Ir. Juanda, sempat pula kami temukan tapi tidak berani jalan lebih jauh. Jika jalan lebih jauh maka kami akan sampai di Dago, sesuai dengan tujuan kami kala itu.
Jalan tidak jelas tidak tentu arah, hingga memutuskan cari penginapan di jalan Pasir Kaliki. Saya belum mengetahui jika daerah itu merupakan salah satu pusat keramaian. Malamnya yang sudah lebih tepat jelang tengah malam kami keluar, untuk sekedar jalan-jalan menikmati suasana.
Kala itu itu yang terlintas di benak saya adalah mengunjungi Mal Paris Van Java, karena penasaran dengan bentuk terbuka. Niat itu sempat diutarakan dan disetujui, tapi kami tersasar sana-sini, meski sebetulnya tinggal lurus saja ke arah Sukajadi.
Esoknya teman saya Miko berkeinginan wisata kuliner batagor "Kingsley", karena dapat rekomendasi sejak awal. Tapi karena tidak hafal jalan, kami sempat tersasar hingga masuk kawasan Cimahi, meski pada akhirnya sampai juga di sana siang hari.
Setelah itu kami memutuskan ke tempat wisata, dipilihlah "Kawah Putih" untuk dikunjungi. Awalnya mengira dekat tetapi cukup jauh juga, kembali nyasar sana-sini sebelum sampai di jalan yang benar yaitu jalan Kopo.
Jalan mengarah ke selatan, semakin jauh udara semakin sejuk. Melewati daerah Soreang dan kami akan mengunjungi Ciwidey, sebagai lokasi Kawah Putih berdiam. Kalau tidak salah mendekati pukul 3 sore kami tertahan cukup parah oleh antrian macet, tetapi memutuskan lanjut, padahal banyak yang berbalik arah. Sempat pula membeli peta kota Bandung saat macet, sepertinya sudah terlambat waktunya.
Kami baru sampai di depan gerbang wisata pada petang hari, kira2 pukul lima sore, tetapi jalan tetap macet di kedua sisi. Kemudian jalan terus, tapi karena takut tersasar lagi, maka kami berhenti di salah satu gerbang di seberang jalan, menembus antrian kendaraan. Kebetulan seperti ada warung jajanan, kami ngemil mi instan yang siap seduh. Melihat ke arah dalam tertulis tempat wisata lain, bernama bumi perkemahan Ranca Upas, akhirnya kami masuk ke sana.
Tempat itu jadi lokasi pengembangbiakkan hewan Rusa, meski tidak terlalu banyak. Tidak lama kemudian gerimis mulai membasahi kawasan itu, terlihat kabut sangat dekat mulai menutupi pemandangan. Saya cukup menikmati suasana tersebut dengan hawa yang sejuk.
Kala itu saya baru merasakan sensasi kedinginan yang sangat menakjubkan, karena udara dingin yang seperti menusuk tulang. Waktu kalau tidak salah mendekati pukul 6 sore, badan saya gemetar kedinginan. Sensasi inilah yang cukup menghibur di dalam jadwal perjalanan yang berantakan tersebut. :P
Pada waktu langit yang sudah gelap maka kami keluar, ternyata sudah tidak ada antrian kendaraan di jalan utama. Kami mulai meninggalkan kawasan tersebut untuk pulang, meski kembali tersasar lagi dan cukup panik, malam hari dan tidak ramai, serta tidak mengerti jalan. Hingga kami disusul mobil ber-plat Jakarta, seperti petunjuk singkat yang kami ikuti terus hingga mulai memasuki keramaian kembali dan masuk jalan Tol untuk pulang.
Kesempatan berikutnya barulah saya beberapa kali mengunjungi ciri khas kota tersebut, menyelami pesona keramaiannya bersama teman kampus. Ada satu orang yang sedikit banyak lebih mengetahui jalan. Hingga saya juga mulai hafal dengan jalan di kota tersebut, tidak buta sama sekali layaknya kunjungan pertama setelah sekian lama.
Diawali jalan iseng2 yang hanya ingin ke Bogor untuk kuliner, maka kami ke sana berlima dan menikmati kuliner Bakso yang sebetulnya di Jakarta juga banyak. Karena masih petang kami lanjut naik ke Puncak, makan lagi di daerah Cipanas. Kemudian berdebat apakah ingin menginap atau kembali, tetapi entah ide siapa maka kami lanjut ke Bandung.
Teman yang membawa mobil si Brandon, dia belum pernah jalan ke Bandung via Puncak. Saya kebetulan masih ingat sedikit2, tinggal mengikuti jalan saja hingga Cianjur, lalu belok ke kiri dan ikuti jalan sampai Padalarang. Jalannya lumayan cepat tidak berasa, tengah malam kami sudah masuk di kota Bandung, dengan terlebih dahulu jajan khas bandung Serabi atau Surabi.
Saya masih penasaran dengan Paris Van Java, dan esok paginya rasa penasaran saya terbayar saat datang ke sana. Karena baru pertama kali jadinya gimana gitu, si Brandon menyadari kelakuan saya yang agak norak.
Setelah itu kalau tidak salah saya mengunjungi kota tersebut tiga kali lagi, masuk ke dalam "Factory Outlet" sepanjang jalan Dago dan Riau, berbelanja pula di salah satu kesempatan. Berikut salah satu brand image "Rumah Mode" di dekat Setiabudi juga menjadi tujuan, meski sebetulnya terlihat biasa-biasa saja, hanya berupa toko dengan ciri khas tertentu saja.
"Si Anto noraknya sama persis kaya lu Bang, waktu pertama kali ke sini" ujar si Brandon, ketika kembali ke Paris Van Java di lain waktu. Mengomentari kelakukan teman yang lain, karena ingin mengambil foto diri dan benar-benar menikmati suasana sekitar.
Kesempatan selanjutnya hanya kami berempat ke Bandung via Puncak, tapi perjalanan kali itu sepertinya lama dan tidak sampai2. Berbeda dengan kesempatan pertama yang cepat dan cukup antusias menikmati perjalanan.
Gaya di hotel
Kesempatan yang lain adalah saat saya mengikuti acara Gathering. Mengunjungi Bandung Selatan alias kembali ke Ciwidey dengan berhenti di Danau Situ Patenggang dan permandian air panas Cimanggu pada tahun (2010).
Kawasan Bandung Utara juga tidak terlewatkan, mengunjungi daerah Lembang Ciater dengan permandian air panas Sariater, serta gunung Tangkuban Perahu sebagai tujuan wisata.
Tangkuban Perahu (2009)
Sari Ater (2011)