Pagi itu, satu hari di dekade terakhir abad 20, kami yang tergolong masih bocah bergembira riang.
Karena sekolah mengadakan karyawisata ke kawasan utara Ibu kota Jakarta, tempat yang menjadi
tujuan hiburan masyarakat. Hal yang menarik adalah dibukanya suatu akuarium
raksasa kala itu, mendapat julukan seperti sedang menyelami lautan.
Rasa antusias kami tentu sangat tinggi, hingga datang sesuai
waktunya sekitar pukul tujuh pagi. Para guru sudah memperhitungkan jamnya.
Meski mereka sedikit menipu jam keberangkatannya supaya anak-anak didiknya
datang seluruhnya. Lebih baik menunggu karena lebih dahulu datang, ketimbang
tertinggal karena terlambat.
Sekitar dua jam menunggu pada akhirnya jam keberangkatan
tiba. Seluruh teman dari beberapa kelas diarahkan ke jalan raya disebelah
depan. Barisan bus telah menepi dan menunggu untuk mengantar penumpang ciliknya
ke tujuan yang sudah disepakati
“Busnya penuh dan ramai sekali” ujar satu temanku, melihat
nomor kendaraan yang akan dinaiki. Suara gaduh dan teman yang lain seakan
menandakan, bahwa kursi yang tersedia sudah penuh. Dirinya lantas melihat bus
lain disebelah depan yang lebih lenggang.
Guru kami belum terlihat, aku sempat menaiki bus yang memang
penuh. Banyak teman yang merasa kegerahan karena ramai. Kursi yang kosong tidak
dapat kutemui, hingga beberapa teman kembali keluar dari kendaraan yang masih
berisik tersebut.
“Naik bus yang depan saja kalau penuh” ujar Guru lain yang
mendengarkan keluhan kami.
Teman yang sedari awal mengincar bus lain itu sigap
mengajak. Kondisinya jauh lebih lenggang, beberapa kursi masih kosong dan
suasananya pun terbilang lebih tenang. Seluruh penumpangnya merupakan anak-anak
dari kelas lain, satu tingkat diatas kami. Hal itu karena bus tersebut memang
diperuntukkan bagi mereka.
Aku ditarik dengan dua orang yang sudah kukenal. Sementara
beberapa teman kelasku yang “nyasar” disana sudah nyaman dengan kursinya.
Suasana yang terasa agak asing bagiku, meski idealnya jika memang
menghendakinya akan terbiasa dengan keadaan sekitar.
“Kamu kok disini? Ini bus untuk kelas lima, bus kalian
dibelakang” tanya satu Guru yang menangani kelas tersebut, beliau sedang memeriksa dan memastikan anak asuhnya tidak ada yang tertinggal, sambil menunggu anak-anak lain yang belum naik.
Masuknya mereka yang baru datang memaksa kami, yang nyasar untuk angkat kaki dari sana. Kursi yang cukup nyaman tidak jadi ditempati. Ada sedikit kelegaan, bahwa akhirnya lepas dari tempat yang sebetulnya bukan menjadi hak, karena memang begitulah keadaaannya. Kembali pada bus yang memang diperuntukkan untuk kami meski sudah penuh.
"Ngapain lu bolak-balik?" tanya salah satu teman yang cukup dekat, menarik tasku yang sedang berjalan pada lorong tengah, mengarahkan untuk duduk disampingnya, kursi yang tanpa sengaja dikosongkannya.
Ada rasa yang lain ketika mendapat tempat pada suasananya yang sudah dipersiapkan. Dalam hal ini pada bus yang sesuai dengan kelas kami sendiri. Keadaannya memang berisik saat pertama hingga beberapa saat bus berjalan.
Setiap kelas idealnya sudah diperhitungkan sesuai jumlah murid, seluruhnya dipastikan mendapat kursi. Guru kelas kami agak kerepotan dan tidak sempat memeriksa anak-anaknya
satu per satu dikarenakan ada tugas lain yang harus diembannya,
memercayakan bahwa kami semua dapat teratur dengan cara kami sendiri. Pastinya mereka sudah mengetahui benar bahwa setiap anak didiknya akan mendapat tempat.
Seperti itulah ceritanya kala setiap kita berusaha mendapat kursi, atau "kursi-kursi" lainnya. Ingin mendapat sesuai pada tempatnya dengan tepat, atau bagaimana cepatnya kita mendapatkannya. keduanya berjalan beriringan satu sama lain.
"Apakah kalau begitu tidak perlu cepat?'
"Cepat itu perlu, tapi jika tidak tepat yah artinya salah kursi duduknya, hitung-hitung tambah pengalaman saja".
"Jadinya harus cepat atau tepat?"
"Tergantung, tiap orang kan beda-beda kecepatannya, jalannya juga pasti beda, itulah uniknya manusia, bukan robot yang bisa diatur seragam seluruhnya, jangan sampai dibuat terbalik. Ujungnya pasti tepat."
:)