2011 vs 2019
Apa ini tahun pertandingan?
Sepertinya bisa saja begitu.
Cerita ini sebetulnya untuk sebuah perbandingan, bukan pertandingan seperti judul di atas. Serupa tapi tidak sama bukan? Saya ingin mendongeng tentang cerita jalan-jalan (lagi). :D
Dulu saya pernah mengatakan bahwa jalan-jalan adalah hobi yang asyik, tapi ternyata hobi itu perlu modal. Beda cerita dengan orang yang pekerjaannya memang jalan-jalan, atau memang punya sesuatu yang bisa ditukar dengan biaya perjalanan tadi. Untungnya saja saya bukan tipe-tipe yang mengagungkan hobi. :P
Untuk jalan-jalan keluar negeri, cukup menjajal di dua kesempatan saja sudah selesai. Alias hanya dua kali berpergian ke luar Indonesia. Secara kebetulan juga saya tidak mau menyia-nyiakan waktu, hingga kesempatan dua kali tersebut saya maksimalkan dengan baik, bisa jalan ke beberapa tempat sekaligus di tahun 2011 dan 2013 saja. Pengecualian saat saya ikut dalam tour ziarah ke tanah perjanjian Israel sana juga di tahun 2013.
Kata orang jalan itu komplitnya harus keliling dunia. Kita si Asia tenggara, rutenya harus ke Asia Timur, kemudian bergerak ke ujung Asia yang disebut Eropa. Atau kalau mau tidak mainstream mampir ke Benua Afrika di bawahnya. Kemudian disempurnakan dengan bergerak ke Pulau Seberang yang bernama Amerika, hingga mengarungi lautan luas, untuk singgah di Benua "Kecil" Austalia, sebelum pulang ke salah satu tanah Nusantara.
Yang paling dekat dengan Indonesia, tentu negara tetangga kita, yaitu Singapura, Malaysia dan Thailand. Atau kalau mau jauh sedikit bisa sampai Myanmar, Laos, Kamboja dan Vietnam. Atau menyeberangi pulau di sebelah atas Philipina. Kebetulan cerita jalan-jalan saya hanya di setengah lingkaran Asia Tenggara, alias yang paling jauh cuma sampai Bangkok. :P
Sebetulnya masih ada dua incaran jalan-jalan saya, yaitu kawasan Triangel di Chiang Rai Thailand, atau kawasan Ha Long Bay Vietnam. Tapi keduanya diurungkan belakangan, alasannya pemandangan dan suasana serupa sudah saya dapatkan di tempat lain. Sensasi berada di perbatasan tiga negara Thailand Myanmar Laos di Sungai Mekong, sudah saya dapatkan di kawasan Laut Merah, saat berada tidak jauh dari perbatasan empat negara, meski tetap hanya tiga perbatasan yang bisa didapat dalam satu pandangan.
Pertama ketika menginap di Mesir, dari tepi pantai yang indah di halaman hotel. Dari sana tepat di seberang lautan sudah merupakan negara Yordania, sementara di titik yang sama dengan menengok sedikit ke arah selatan, bisa kita lihat negara Arab Saudi dengan kota terdekatnya, kala itu mulai dihiasi penerangan lampu di kejauhan selepas sore.
Kedua saat esoknya bergerak saat masih berada di perbatasan Mesir. Sejauh mata memandang di seberang lautan masih terdapat negara Yordania dengan tanda benderanya yang berkibar. Sementara di balik bukit yang akan dilalui, merupakan kawasan Israel. Suasana berada di tiga atau lebih perbatasan negara inilah yang akhirnya mengurungkan niat saya ke Chiang Rai. :D
Untuk Ha Long Bay sendiri, hanya berupa pemandangan Goa dan isinya yang merupakan batu-batuan stagnalit alami. Pandangan serupa sudah saya dapatkan di rumah sendiri, pulau yang ditinggali bernama Jawa, dengan daerah Pacitan yang dikenal sebagai tempat wisata seribu satu goa. Bedanya mungkin ada perbedaan dalam pengolahannya, semakin baik tentu akan semakin nyaman.
Nah itu tadi merupakan cerita awalan yang panjang, sebagai jembatan tentang perbandingan jalan-jalan saya antara dua ribu sebelas dan dua ribu sembilan belas. Kenapa harus dibandingkan? Karena menurut saya ini juga penting, sebagai gambaran perkembangan yang memang saya inginkan dengan cara saya sendiri. :D
Singapura Malaysia Thailand sudah, harusnya cari lagi tujuan lain yang belum pernah. Idealnya memang begitu, tapi ternyata hukum tujuan "baru" itu tidak berlaku bagi saya. Jepang, Korea, China atau Hongkong adalah tujuan favorit di Asia Timur, tapi itu tidak membuat ketertarikan saya datang. Sebaliknya ketimbang datang ke tempat baru tersebut, saya malah ingin kembali mengulangi perjalanan yang sudah saya lakukan dulu, dengan tambahan beberapa tujuan.
"Lah? Ngapain ke sana lagi? Bukannya sudah pernah Singapura Malaysia Thailand?"
"Memang sudah pernah, tapi belum puas, jadi memang ingin puas-puasin lagi."
Sewaktu tahun 2011 dulu, saya jalan selama sembilan hari, dengan tujuan Penang - Phuket - Genting - Singapura - KL. Semuanya serba mepet karena memang mengejar waktu, pengalaman pertama pula keluar negeri. Saya lebih fokus pada tujuan (kuantitas), bukan nyamannya sebuah tujuan (kualitas).
Bedanya di tahun 2019 ini mulai ada jarak yang lebih dilonggarkan. Itu juga terjadi tanpa disengaja, karena rencana yang juga berubah. Pada awalnya ada niat untuk menyelipkan jadwal menyeberang Batam di tengah jadwal. Tapi waktu jadi serba mepet (lagi), jadi niat itu dibatalkan. Lebih baik nanti ada trip tersendiri ke Batam (saja) di lain waktu.
Jadi tujuan utamanya itu adalah Phuket-Singapura-Genting-KL. Meski rutenya juga masih cenderung bolak-balik kaya seterikaan kalau kata teman saya, tapi sudah lebih dari cukup untuk sekadar bersantai ria. Total hari yang dihabiskan itu 13 hari, dengan waktu bersihnya 11 hari, karena hari pertama dan terakhir itu hanya untuk "transit", kepergian kepulangan di jam malam dan pagi.
Jadi tujuan utamanya itu adalah Phuket-Singapura-Genting-KL. Meski rutenya juga masih cenderung bolak-balik kaya seterikaan kalau kata teman saya, tapi sudah lebih dari cukup untuk sekadar bersantai ria. Total hari yang dihabiskan itu 13 hari, dengan waktu bersihnya 11 hari, karena hari pertama dan terakhir itu hanya untuk "transit", kepergian kepulangan di jam malam dan pagi.
Cerita diawali dengan kepergian saya di Bandara Soekarno Hatta di jam malam, untuk sampai di KLIA2 pada tengah malam. Transit di sana untuk terbang ke Phuket esok paginya. Bandara baru itu menyatu dengan Mal di depannya. Bahkan jika ditelisik lebih jauh sudah mengikuti standart kekinian, bahwa bandara bisa saja dibuat sebagai area yang lebih komesial. Dengan ada Mal di sekelilingnya, bandara bukan hanya didatangi oleh warga yang hendak terbang, tapi bisa sebagai tujuan baru sebagai alternatif wisata. Tapi menjadi masalah pula andai untuk menuju bandara saja harus bermacet ria. :D
Total hari yang dihabiskan di Phuket itu 4 hari bersih, berbeda dengan versi 2011 yang hanya punya waktu 2,5 hari saja. Rute tujuan juga dibuat sesantai mungkin, hari pertama sewa motor keliling pulau Phuket, hari kedua mengambil tour James Bond, hari ketiga hanya bermain pantai saja. Hari terakhir kembali keliling naik motor, hingga menjelang malam sudah bersiap ke bandara, karena akan kembali ke KL esok paginya.
Pada saat kembali ke KL, barulah saya memasuki kota. Menginap semalam di daerah Chinatown, kemudian esoknya jalan-jalan di KL Eco Park dan kawasan Masjid Jamek. Baru pada malamnya kembali ke bandara untuk terbang ke Singapura. Kata orang sana kenapa tidak melalui darat saja? Karena hanya empat jam. Jawaban saya karena memang ingin menjajal bandara Changi, karena di perjalanan versi 2011, saya masuk dan keluar Singapura via darat lewat Johor.
Saya sampai di Singapura jelang tengah malam di T4 Changi, kemudian bergerak ke T2 dan jalan ke T3 untuk bermalam di sana. Hanya dua hari saja waktu saya di sana, tapi cenderung lebih santai dan lebih menikmati susana sekitar. Tujuan pertama ke Botani Garden, kemudian Faber Park hingga check-in beristirahat di penginapan, sorenya hingga malam keluar lagi ke Chinatown, Marina Garden Bay dan Raffles Place. Tapi sayang patung Singa Merlion utama sedang masuk kandang, alias sedang direnovasi.
Hari kedua sudah check-out pagi dan menitipkan tas di kawasan Clarke Quay, mampir di Bugis, lalu kembali ke Sentosa. Menghabiskan waktu di sana, hingga menikmati suasana malam di Orchadz. Menikmati kembali suasana malam di Clarke Quay sebelum kembali. Saya baru bertolak keluar dari Singapura itu menjelang pukul 10 malam, berbeda dengan versi 2011 ketika jam 7 malam saya sudah ngacir keluar.
Akhirnya saya sampai di Terminal Larkin Johor menjelang tengah malam. Satu perbedaan yang saya jumpai, semua perusahaan penyedia jasa bis di sana sudah berkoordinasi dan memakai sistem terintegrasi. Jadi setiap pengguna hanya tinggal memasukan jam keberangkatan, sementara waktunya sudah diatur sedemikian rupa agar semua operator dapat penumpang merata, sesuai jam keberangkatan.
Esoknya menjelang subuh saya sudah sampai di KL, dengan lokasi Terminal Bersepadu Selatan. Kemudian langsung menuju KL Sentral dengan kereta sejenis KRL. Saya ingat sewaktu versi 2011 KRL di sana menggunakan KRL yang sekarang kita jumpai di Jabodetabek. Sementara sekarang ini KRL di KL sana sudah menggunakan gerbong yang serupa dengan Kereta Railink yang khusus menuju Bandara Soekarno Hatta. Mungkin saja mereka memang selangkah lebih maju, tapi tidak masalah dari pada kita tertinggal jauh, bukankah begitu?
Pada pagi itu saya langsung membeli tiket bis yang menuju Genting, karena saya akan bermalam di sana hari itu. Siangnya langsung keluar untuk menuju kuil Chin Swee, karena ada shuttle bis yang memang disediakan pengelola Genting dengan gratis. Menikmati suasana sampai kembali ke KL esok harinya, untuk menginap di kawasan Bukit Bintang, di ujung Jalan Alor sebagai satu titik keramaian.
Hari terakhir saya check-out dan membuang waktu cukup lama di KL Sentral, karena awalnya ingin mendatangi Batu Caves (lagi), tapi tidak kesampaian karena ternyata KRL di jalur Batu Caves sedang tidak beroperasi penuh, karena hanya sampai di stasiun tertentu. Gantinya diarahkan naik bis terlebih dahulu, untuk sampai di stasiun terdekat yang dilayani oleh KRL tujuan Batu Caves tersebut. Tapi karena waktunya sudah semakin sore, akhirnya saya mengurungkan niat tersebut, lagipula saya sudah pernah ke sana. :D
Jadinya saya mendatangi Kebun Raya Perdana KL, posisinya tidak jauh dan hanya berjarak satu stasiun dari KL Sentral. Menikmati suasana hijau di sana, meski tidak serimbun dan seteduh Kebun Raya Bogor dengan pohon-pohon yang tinggi menjulang.
"Tujuan lu di KL dan Spore itu ke situ dan sana? Wisata alam banget donk elu brarti yah."
"Yoi, kaya baru tau aja luh."
Pada saat kembali ke KL Sentral, harusnya saya masih ada acara bermalam di hotel dekat KL Sentral sana, rencana awalnya hendak berangkat subuh ke bandara untuk penerbangan pulang di jam pagi. Tapi beberapa hari sebelumnya saya sengaja membatalkan reservasi yang memang bisa di-cancel. Secara kebetulan pada detik itu saya sudah mulai tidak betah, dan ingin segera pulang. (Lebih tepatnya semua tujuan sudah habis didatangi). :D
Uniknya beberapa tujuan utama, yang jadi cover video perjalanan saya di trip versi 2011, pada kesempatan 2019 tidak bisa saya ulangi kembali. Contohnya Vidper Phuket di sini memajang view Maya Bay, dari awal memang tidak ada tujuan ke sana. Kemudian Vidper Spore di sini yang memajang icon Singa Merlion, pada kali ini malah dikandangkan alias sedang renovasi. Terakhir Vidper KL yang memajang tangga Batu Caves di sini, kali ini tidak berhasil saya datangi, meski ada rencana mampir sebentar ke sana.
Tentunya ada alasan tersendiri, ketika saya tidak bisa mengulangi yang seharusnya tidak boleh diulang. Benar tidak? Pada intinya kesan versi 2011 memang berbeda dengan 2019. Bagusnya tidak lebih buruk, tapi justru lebih enjoy dan asyik.
Bagaimana perbandingannya? Semuanya oke, tapi justru kita lebih meng-oke-kan yang sudah oke.
:P