Kali ini saya ingin mendongeng tentang sebuah bentuk hiburan, pasti banyak di antara kita sering menikmati hiburan jenis ini. Apa tuh? Jika berkaitan dengan judul Imajinasi Film? Jawabannya adalah kegiatan menonton film di bioskop, tapi bukan sekadar menonton biasa, karena ada hal lain yang bisa jadi bahasan.
Imajinasi Film selain dari kata film, ada kata imajinasi yang arti mudahnya itu membayangkan. Jadi untuk bahasan kali ini lebih kepada bayangan atau gambaran dari film, bukan sekadar bayangan tentang akan bagaimana jalan cerita yang tersaji. Hingga di dalam sebuah karya film, ada sinematografi (gambar) dan storyline (cerita).
"Awas ada spoiler" itu adalah kata-kata yang sering kita jumpai pada zaman sekarang. Tujuannya tentang bagaimana cerita dalam film diberitahu, atau dibocorkan oleh penonton sebelumnya. Bagi penikmat yang ingin totalitas dalam menonton, pastinya akan menghindari informasi yang bersifat spoiler ini. Alasannya bisa bermacam-macam, salah satunya mungkin akan mengurangi nilai kejutan, ketika menyaksikan film tersebut berjalan.
Untuk film-film internasional yang mendominasi pasar Indonesia, menurut data masih dipegang oleh grup Marvel Cinematic Universe (MCU), karena memang mereka sangat pintar merancang dunianya sendiri, didukung dengan teknologi "ilusi" greenscreen. Mungkin saja ceritanya diadopsi dari komik yang sudah beredar, atau muncul secara berbarengan.
Khusus untuk film Avengers, merupakan gabungan dari semua pahlawan, mereka bertemu dalam satu cerita, serta berada dalam satu semesta yang sama (masih masuk akal). Agak berbeda dengan konsep terbaru multiverse, diceritakan bahwa ada semesta lain berdampingan, hingga setiap tokoh punya nasib yang berbeda di setiap semesta yang berbeda. Menurut saya sebuah konsep memang tidak terbatas, tapi idealnya tetap dalam koridor logika yang pasti. Jika tidak ber-logika hasilnya mungkin akan terlihat jomplang, layaknya sebuah imajinasi yang kebablasan (di luar akal), hal itu mungkin yang dialami konsep multiverse ala Marvel. :P
Hingga saat ini grup Marvel masih memegang peringkat teratas, untuk daftar film terlaris di Indonesia.
Kali ini kita lupakan sejenak tentang gegap gempita film-film Hollywood, sebagai pusat barometer sinema dunia. Bergeser pada pasar dalam negeri, sesuatu yang sesungguhnya tidak kalah. Bahkan ada satu filmnya yang menjadi bahasan saya dalam tulisan, tentang membandingkan film yang beredar, dengan buku novel yang sudah eksis lebih dulu, ceritanya sudah ditulis di sini.
Memang untuk dukungan teknologi, ternyata film-film lokal masih kalah. Alasannya itu teknologi animasi CGI masih terbatas, atau greenscreen yang digunakan. Bahkan untuk studio yah masih belum cukup tersedia. Beda dengan Hollywood yang punya berbagai studio, hingga keperluan syuting untuk beberapa adegan, bisa "diakalin" di dalam ruangan studio. :P
Nah untuk film Indonesia, karena masih terbatasnya teknologi, maka syuting akan dilakukan di lokasi asli. Seperti misalnya film 5cm yang pernah dituliskan di sini. Konon semua pengambilan gambar dilakukan secara langsung di gunung, tanpa campur tangan teknologi. Bahkan para pemainnya mendaki gunungnya secara langsung, tidak pakai transport khusus seperti helikopter dsb, itu jargon yang digunakan kru film.
Untuk tulisan ini juga masih berbicara tentang perbandingan, antara karya tulisan dan karya gambar bergerak yang ditampilkan. Ada satu film lagi yang membuat saya penasaran. Nama film yang menjadi fokus di sini adalah KKN di Desa Penari, mulai digarap tidak lama setelah ceritanya booming tiga tahun yang lalu (2019). Awalnya saya juga tidak terlalu memerhatikan, hingga akhirnya penasaran juga dan ikut membaca.
Cerita aslinya yang diracik oleh @simpleman, alurnya berjalan sangat baik mengalir. Saya langsung bisa membayangkan bagaimana latar tempatnya dalam imajinasi. Cerita lengkapnya ada 2 versi bisa dilihat di sini. Tapi kembali lagi, di sini akan ada adu kuat antara pembuat dan pembaca cerita, karena "gambaran" atau latar belakang cerita, berkaitan erat dengan daya khayal masing-masing, alias imajinasi yang dikembangkan. Agak berbeda jika cerita tulisan dibandingkan dengan film, karena untuk film gambarannya sudah tersaji di depan mata. Selain itu juga terdapat buku "resmi" yang diluncurkan, tapi saya belum membacanya.
Filmnya sendiri siap tayang di tahun berikutnya (2020), tapi karena pandemi akhirnya ditunda selama dua tahun. Bahkan beberapa kali siap ditayangkan perdana, beberapa kali itu pula terhalang dengan sikon pandemi yang naik turun.
Pertama kali tayang, saya sudah cukup yakin akan ramai, meski sebagian pihak (nyinyir) berkata bahwa masa viralnya sudah lewat. Tapi untuk saya sendiri masih tetap ingin menonton, pilihan jatuh di minggu kedua yang mungkin sudah agak lenggang, serta tidak terlalu ramai. Hingga akhirnya muncul update di tulisan yang tadi disinggung, sekaligus ada penambahan sedikit informasi di konten tersebut, lengkapnya di sini. :P
Konon peluncuran filmnya sangat tepat guna, karena berbarengan dengan libur lebaran, serta adanya libur panjang di minggu berikutnya. Sekaligus belum ada pesaing film lain, hingga bisa meraup penonton dalam jumlah yang signifikan. Pada saat ingin membeli, beberapa tempat dan studio selalu penuh, hingga mengundang rasa penasaran yang lebih tinggi. :P
Hingga akhirnya halangan untuk mengajak teman langsung terselesaikan, caranya? Yah nonton sendiri saja. Satu kegiatan yang baru saya lakukan pertama kali, wisata nonton bersama pengunjung lain, tapi datang ke sana sendiri dan tidak bareng siapa-siapa. Sebuah "prestasi" yang cukup membuat saya sendiri berdecak kagum, bahkan berlanjut di minggu berikutnya, "prestasi" lain ketika nonton film yang sama untuk kedua kalinya. Xp
Gambaran yang disajikan para kreator, dari penulis hingga produser sutradara dan pemain film, ternyata memang berbeda dengan bayangan saya sendiri. Tapi justru apa yang ditampilkan melebihi ekspetasi saya sendiri, alias cukup sesuai dengan suasananya, hanya beda di bentuk fisik penampakan saja. Bahkan bagi sebagian pihak justru berlaku sebaliknya, ternyata tidak sesuai dengan ekspetasi mereka dan itu wajar2 saja.
"Katanya tidak terlalu seram yah? Gak seru donk kalo gitu" ujar teman saya, salah satu yang awalnya saya ajak. Tapi karena berhalangan dari segi waktu, terpaksa ditinggalkan karena saya ingin nonton lebih dulu.
"Cuma bikin kaget aja, gak gitu serem. Penampakan seremnya cuma satu kali doank" jawab saya, mengemukakan pendapat dari apa yang terlihat. Tidak terlalu fokus dengan seram atau tidak, karena yang saya cari itu penggambaran, dari jalan cerita yang tersaji, alias akhirnya bagaimana sudah tahu. Xp
Desa dengan gerbang tugu candi, budaya tarian yang ditampilkan, lokasinya yang teduh di bawah pepohonan hutan. Seluruhnya sesuai dengan bidang yang jadi interest saya, terlepas dari sajian horor yang jadi andalan mereka. Beberapa banyak yang bilang lebih mirip film azab ketimbang horor, tapi pada akhirnya memang sebuah cerita idealnya akan ada pesan yang tersampaikan.
Kemudian yang paling penting justru tema besar di dalam sebuah cerita. Untuk KKN Desa Penari ini, selain kegiatan praktek kerja mahasiswa, ada sebuah budaya yang diangkat, yaitu seni tari yang diiringi lantunan gamelan. Mungkin jenis film ini memang sesuai, berkaitan dengan minat saya sebagai penikmat karya musik. Xp
Pertunjukan Tarian - Bedugul Bali 2012
Jalan cerita yang ditampilkan cenderung loncat-loncat, hingga penonton baru mungkin akan kesulitan mencernanya. Berbeda dengan yang sudah membaca ceritanya di dua versi pemainnya, di sana lebih lengkap bagaimana kronologinya secara utuh. Alur filmnya mengikuti hampir sebagaian besar detail cerita penting, serta ada beberapa adegan tambahan yang tidak ada di cerita.
Jadi untuk film ini saya sudah tahu cerita utuhnya, karena saya bukan tipe yang menghindari spoiler, untuk sebuah cerita yang memang sudah dirangkai sedemikian rupa, oleh si pembuat cerita. Xp
"Tidak seram, tapi ceritanya bagus. Justru kalau seremnya kaya film itu dan itu, gue malah ogah nonton" ujar saya dengan tertawa, ketika mendengar perbandingan tingkar horor dengan film lain. Mengemukakan bahwa ternyata saya punya selera horor yang berbeda, tidak melulu harus seram dan tegang. Xp
Ketika menonton dua kali, serta mengetahui bahwa film ini masih tetap laris di minggu ketiga, ternyata ada sebuah pencapaian yang tidak terlalu jadi fokus, apaan tuh? Jadi film Indonesia yang menempati urutan pertama, alias terlaris dari segi penjualan tiket bioskop dalam negeri. Memecahkan rekor film sebelumnya yang dibuat film Warkop Reborn di tahun 2016, bahkan angkanya masih akan terus bertambah hingga turun layar.
Kemudian dengan angka 8,3 juta penonton (posisi terakhir di sini saat tulisan ini dibuat & ditayangkan) juga sudah dianggap berhasil, masuk dalam tiga besar film terlaris di seluruh film bioskop (termasuk film Hollywood). Sebuah pencapaian yang patut mendapat apresiasi, karena film garapan dalam negeri tidak kalah berkualitas, tentunya diperlukan tema besar yang menarik. :D
Bahkan sebelum mencapai angka 8 jutaan, pihak pembuat film masih sempat mengumumkan angka cantik dalam jumlah tiket yang terjual. Berupa angka "sempurna" tujuh, susunannya berupa Sapta Tujuh, alias angka tujuh ada tujuh kali, dalam bilangan tujuh juta tujuh ratus tujuh puluh tujuh ribu tujuh ratus tujuh puluh tujuh.
"Ini pasti jadi banyak gara-gara ada yang nonton berkali-kali neh" ujar teman yang lain, melihat sebuah fenomena yang tidak biasa. Apalagi mengetahui info yang datang, ketika saya memberi kabar sudah nonton kedua kalinya, sebagai bahan candaan untuk sekadar keisengan belaka pada awalnya.
Perhitungan jumlah penonton masih berdasarkan tiket yang terjual. Belum ada parameter lain yang digunakan, misalnya rentang usia penonton, dari daerah mana saja, atau apakah ada orang yang menonton berkali-kali, alias membeli lebih dari satu tiket. Termasuk juga terjaringnya penonton liar, mereka yang mengetahui ini dari keramaian dan sekadar ikut2an saja. Tapi perhitungan ini masih dinilai cukup jitu, sebagai perhitungan akhir berhubungan dengan profit pembuat film.
Update peringkat film bioskop seluruh film.
Pada akhirnya akan kembali lagi, film adalah sebuah foto atau gambar, kemudian tampilannya itu bisa bergerak. Dari media tersebut kita dapat menampilkan sebuah karya, kemudian dari karya itu akan ada sesuatu yang bisa disampaikan. Tentang cerita juga bisa menggunakan berbagai macam tema, sebuah fakta yang tidak terbatas dikulik oleh pembuat karya seni, setuju?
Khusus untuk tulisan ini berkaitan dengan imajinasi tiap-tiap penonton, karena sebagian dari mereka sudah membaca cerita dari media tulisan. Otomatis apa yang diceritakan tergambar di dalam bayangan pikiran, hingga istilah theater of mind dikenal sebagai panggung layar di dalam kepala kita, termasuk saya sendiri. :D
Update turun layar :