Untuk cerita kali ini, awalnya berasal dari obrolan bersama satu teman. Sepertinya menarik juga bahasan ini diangkat, karena menyangkut dan berlaku untuk kita semua. Pada utamanya ketika sedang mengerjakan sesuatu, entah itu pekerjaan, karier, hubungan atau dari hobi kita sendiri, bisa juga diterapkan pada banyak hal lainnya.
Apaan tuh obrolannya? Jawabannya adalah tentang bagaimana reaksi kita, ketika dihadapkan pada sesuatu yang harus kita lakukan. Terutama tentang kesediaan kita, tanpa paksaan secara langsung, untuk melakukan sesuatu hal dan sesungguhnya lumrah dan tidak ada beda.
Kita pisahkan pula sejak awal, bahwa ada dua jenis kondisi yang berlaku untuk kita semua. Keduanya bernama Hak dan Kewajiban, pastinya kita sering mendengar kedua kata ini, jadi sudah sangat umum berlaku di sekeliling kita. Kepercayaan umum yang banyak didengungkan, bahwa kita harus mendahulukan kewajiban ketimbang hak, apakah itu benar? Jawabannya tergantung.
Antara keduanya sudah terlanjur identik dengan satu jenis kegiatan, misalnya hak itu berkaitan dengan waktu bersenang-senang seseorang, entah itu liburan atau istirahat. Sementara kewajiban itu identik dengan jadwal kerja, harus datang ke kantor atau mengikuti perintah dari atasan di sana. Jika demikian artinya kita menganggap berat sebelah, bahwa sebuah hak itu lebih istimewa ketimbang kewajiban, apakah itu benar?
Menurut saya justru sebaliknya, hak tidak melulu hal-hal yang menyenangkan, demikian juga kewajiban tidak selalu harus yang membosankan. Keduanya merupakan satu kesatuan, antara langkah pertama dan langkah lanjutan. Pada saat kita memilih pertama kali, itu adalah hak kita untuk menentukan, selanjutnya menjadi kewajiban kita melakukan bagian dari hak tersebut.
Misalnya saja dalam bekerja, seseorang bisa punya hak atau pilihan, untuk menentukan akan bekerja di mana. Kemudian ketika sudah resmi bersedia masuk dalam ruang lingkup tersebut, artinya orang itu harus bekerja, sebagai kewajiban menjadi pekerja di sana. Hak adalah sebuah pilihan khusus, untuk kita mengambil tanggung jawab sebagai kewajibannya, jadi terdengar lebih nyambung bukan? Artinya keduanya berhubungan, bukan yang satu lebih baik dari yang lain. :P
Nah dalam tema bahasan ini, obrolan bersama teman itu adalah tentang menjalankan kewajiban. Artinya sebuah tahapan lanjutan yang harus dilakukan, karena telah memilih jalan tersebut sebagai hak pada awalnya. Ada sebuah kata yang menjadi panutan, tapi sebetulnya punya kondisi yang berbeda bagi para pelakunya, apa tuh?
Kata itu namanya Rela Berkorban, pasti kita sering mendengar bentuk sikap ini. Sebuah kata yang dinilai baik, karena artinya kita bersedia melakukan sesuatu, secara sukarela dan tanpa paksaan dari pihak lain. Bahkan menurut saya pada awalnya memang sikap ini terbaik, karena kita bisa melakukan kewajiban dengan total.
"Jangan rela berkorban, kalau begitu artinya jadinya agak terpaksa" ujar teman saya. Mengemukakan pandangan menarik, hingga dapat memantik rasa penasaran saya, untuk bagaimana mencari sikap yang lebih baik.
Hingga saya semakin ingin tahu, untuk menemukan lawan katanya. Tujuannya menemukan posisi yang lebih ideal, agar kita tidak dalam kondisi terpaksa melakukan sesuatu. Setelah melakukan utak-atik kata, hingga dicari artinya melalui Google Translate, akhirnya ditemukan sebuah kata yang mumpuni di bawah ini.
Jadi apa jawabannya? Ternyata cukup sederhana. Itu semua kembali lagi pada kitanya sendiri, apakah kita memilih untuk rela berkorban? Atau senang bersemangat? Jika rela dan berkorban, artinya kita perlu sedikit "pasrah" untuk melakukan sesuatu yang tidak kita suka, namanya saja berkorban. Sebaliknya jika senang dan bersemangat, pastinya kita sangat menyukai apa yang dilakukan. Sudah menangkap perbedaannya?
Kemudian secara fakta situasi sekeliling kita sebetulnya berlaku netral. Misalnya suasana kerja, lingkaran pertemanan, atau ciri khas keluarga dan yang lainnya. Sekeliling memang punya pengaruh, tapi yang menentukan pengaruh itu ada di kita sendiri, ketika menentukan sikap dan bereaksi di sana.
"Kalau begitu yang pas itu happy excited. Kalau kaya gini pasti lebih enak" balas saya kemudian, ketika berhasil menemukan formula yang lebih ideal.
Pada akhirnya saya juga mengingat sebuah kutipan sederhana, tapi punya kekuatan yang sangat besar dalam perubahan, andai kita merasa tidak dalam kondisi yang menyenangkan. Neraka di rumah kita yang tentukan, Surga di rumah juga kita yang tentukan. Artinya kembali pada kita sendiri, ingin membangun suasana yang bagaimana di rumah kita, setuju?