Untuk perjalanan kali ini kejadiannya sudah cukup lama, sekitar delapan tahun yang lalu (2015). Kali ini baru mendapat giliran untuk didongengkan. Menjadi perjalanan "tentpacker" satu2nya yang dilakukan secara solo trip, karena akan menginap di dalam tenda saja, tidak ada variasi bermalam di tempat penginapan.
Niat awal untuk ke sana sudah tinggi, meski sempat batal dan diundur, oleh karena status gunung yang sedang tidak aman. Salah satu keseruannya adalah dengan bertenda, karena selama itu saya belum pernah punya kegiatan berkemah. Jadi sebagai pengganti sementara, pengalaman bertenda justru lebih dulu dijalankan di trip ini, ketika mendaki Gunung Gede bersama kelompok perjalanan terbuka (open trip).
Pada hari pertama saya langsung menuju Lebak Bulus menggunakan bis Transjakarta. Menjadi pengalaman pertama pula untuk saya, menggunakan jenis transportasi umum ini dan sudah ada dongengnya di sini. Ternyata cukup nyaman juga, karena bis melaju di jalurnya sendiri, serta pada pagi itu tidak terlalu padat suasana lalu lintasnya. Sesampainya di halte Lebak Bulus menuju perempatan lampu merah, tidak jauh dan jalan kaki saja.
Dari info yang saya kantongi, naik bis umum Primajasa rute Garut bisa dari persimpangan itu. Menunggu dan tidak lama kemudian bis datang. Secara teori dan jarak, perkiraan awalnya itu sekitar jam istirahat siang akan sampai, ternyata kepadatan lalu lintas sangat tinggi. Jalan tol JORR dan Cikampek, bahkan hingga tol Bandung kondisinya ramai. Keluar dari jalan tol Cileunyi juga masih tetap ramai, hingga sampai di Garut itu sudah menjelang sore.
Rencana awal akan langsung ke Papandayan di hari itu. Tapi karena sampainya sudah sore, ada perubahan dadakan dengan menukar jadwal. Pada sore itu langsung mengambil angkutan umum arah Wanaraja, karena akan kemping di Telaga Bodas lebih dulu. Berhenti di pertigaan untuk menuju lokasi wisata. Membeli cemilan dan santap malam yang dibungkus, kemudian mencari ojek untuk mengantar ke sana.
Sampai di lokasi itu sudah menjelang petang, dari pintu masuk loket wisata menuju telaga berjarak satu kilometer. Kemudian untuk titik kemping ada di sebelah ujung, berdekatan dengan kolam permandian air hangat. Ketika tiba di sana saya langsung merakit tenda, tidak membuang waktu karena hari masih terang. Kemudian tukang ojek yang mengantar akhirnya kembali, bersama dengan para pengunjung lainnya.
Nah pengalaman bertenda sendirian ini cukup unik, hingga cerita khususnya disenggol lebih dulu di sini. Kebanggaan saya yang bisa melakukan sesuatu dengan sendiri seperti diuji, hingga diberi kesempatan untuk berwisata sendirian dan tidak ada orang lain pula. Sebuah tantangan yang cukup menarik, meski rasa awas muncul juga di tengah kepercayaan diri saya. Tentang bertenda sendirian ini juga dibahas (lagi) lebih spesifik di tulisan lain di sini. Xp
Pada malam hari kolam permandian air hangat dikunjungi oleh warga lokal, karena mereka memanfaatkan suasana lenggang dan sudah tahu situasi di sana. Awalnya saya juga bisa tidur sekedarnya, meski diselingi terbangun beberapa kali, oleh karena mendengar teriakan mereka, warga lokal yang kadang bernyanyi bersama.
Suasana hening selepas tengah malam justru lebih istimewa, ketika tidak ada lagi suara-suara dari warga di sana. Hingga waktu beristirahat seharusnya lebih tenang dan maksimal. Tapi justru tidur saya jadi kurang nyeyak, bahkan saat jam subuh mata seperti jadi segar, hingga menatap lautan bintang di langit malam yang bersih, sebagai inspirasi tentang cerita khusus tadi tentang bermalam sendirian.
Selepas jam subuh pada akhirnya saya hanya berjalan-jalan saja di sana, hingga langit mulai terang kembali, serta ada beberapa warga lain datang untuk berendam. Hingga matahari terbit dan langsung mengabadikan suasana, serta sudah "puas" berwisata di sana. Ciri khas Telaga Bodas itu seperti kawah putih Ciwidey, meski saya belum pernah ke sana, danau berwarna putih oleh karena pengaruh belerang.
Pada saat hari semakin terang saya langsung membongkar tenda dan kembali. Jalan kaki dari titik kemping hingga di tikungan awal Telaga Bodas ini bermula. Hingga saat mendekat ke pintu loket wisata, ternyata ada turis lain yang sudah bersiap naik. Mereka sekelompok beberapa orang dan akan kemping di sana sampai esok. Kemudian kembali ke kota Garut dan sampai di sana jelang siang hari.
Pada saat kembali ke kota, ada rencana untuk mampir di daerah Cipanas, dengan latar belakang pemandangan Gunung Guntur. Mengira akan ada kolam permandian alamiah, karena andalan wisatanya berupa sumber air panas. Meski banyak menemukan wisata permandian, ternyata bentuknya itu sudah seperti kolam renang. Ada berbagai macam kelas permandian dari yang mewah hingga yang biasa-biasa saja.
Tujuan utama awalnya di lokasi paling ujung, yang paling dekat dengan kaki gunung. Ternyata di sana jadi tempat yang paling umum, segala kalangan dan usia pada berwisata di sana. Banyak anak-anak bocah bermain di permandian berbentuk kolam renang tersebut. Tidak ada sesuatu yang menarik bagi saya, alias tidak ada pemandangan alam yang bisa diabadikan, hingga memutuskan langsung lanjut saja ke tujuan berikutnya.
Dari kota langsung mengambil angkutan umum ke arah Cikajang, kemudian berhenti di titik Cisurupan sebagai pertigaan utama menuju Papandayan. Menggunakan jasa ojek yang mengantar sampai di pintu masuk, tapi di tengah rute mampir sebentar di warung nasi, untuk bungkus bekal makanan untuk sore harinya agar praktis.
Sampai di lokasi wisata masih cukup terik selepas siang, hingga langsung mendaki saja ke arah titik kemping di lokasi tersebut. Pada awalnya kita akan melewati titik kawah, kemudian berbelok dan jalan sedikit menanjak. Meski secara teori jaraknya tidak jauh, ternyata cukup berasa juga jalannya hingga satu dua jam.
Sampai di Pondok Seladah sebagai lokasi kemping, suasana di sana ramai dengan pendaki lain. Saya langsung berputar-putar di sana, sambil mencari posisi yang enak untuk mendirikan tenda. Pilihan jatuh di titik ujung, sebagai jalur bagi yang akan menuju Hutan Mati di seberangnya atau Tegal Alun, sebagai titik andalan wisata lainnya.
Ketika tenda selesai berdiri dan beristirahat sejenak di dalamnya, ternyata hari masih cukup terik. Hingga langsung punya rencana untuk menuju Hutan Mati di sore itu juga. Membawa tas selempang dan kamera untuk mengabadikan suasana. Berjalan hingga menuju ujung tebing, hingga menemukan ciri khas tebing tersebut, pemandangan yang tidak saya temukan di foto Google. Xp
Pada titik tertentu saya ingin berpose dengan bertapa, tapi karena tidak ada pengunjung lain sampai ke titik ujung tersebut, hingga akhirnya memakai timer di kamera. Mengabadikan suasana di sana, Hutan Mati yang hanya tersisa dahan-dahan pohon tanpa dedaunan. Berada di sana hingga langit petang datang, kemudian mulai kembali di lokasi kemping yang jaraknya tidak jauh. Pada titik yang sama banyak pendaki yang turun dari atas, kemungkinan dari lokasi Tegal Alun sebagai kebun bunga edelweiss yang luas.
Praktis pada petang itu tujuan wisata saya sudah selesai, karena sudah cukup puas mengabadikan suasana di sana. Rencana untuk naik lagi mendaki ke Tegal Alun mulai diurungkan, karena kalau hanya melihat bunga edelweiss, di lokasi kemping juga sudah ada, meski tidak lebat seperti di Tegal Alun. Jadinya tinggal menikmati suasana malam di sana saja, dengan udara yang segar dihirup dan jauh dari polusi.
Untuk toilet di sana (kala itu) sangat terbatas dan antriannya sangat panjang. Bahkan pada keesokannya sebelum kembali, saya juga terpaksa membuang hajat di sela-sela hutan yang agak menjauh dan lebih naik. Beberapa pengunjung lain juga pakai cara yang sama, tapi tentunya memilih titik yang berjauhan, merasakan sensasi buang hajat di alam terbuka secara langsung. Xp
"Ih jangan diintip dong, jagain yah, jangan lihat-lihat" ujar salah satu pengunjung perempuan dengan nada bercanda, mengarah ke beberapa teman lainnya yang menunggu dalam jarak tertentu. Pada titik lokasi yang berbeda dan saya tidak melihat mereka, tapi karena jaraknya tidak jauh suaranya jadi terdengar.
Pada malam hari itu udara semakin dingin, hingga beberapa pengunjung berkumpul di titik perapian yang dinyalakan di beberapa titik. Suasana antrian toilet masih panjang, kemudian diselingi hiruk pikuk pendaki yang bermalam dengan berbagai aktifitas, dari bernyanyi bersama dan lain-lain. Hingga menikmati santap malam beli matang di warung, mi instan siap saji, kemudian berisirahat sejenak tertidur dalam tenda.
Pada tengah malam menjelang subuh, saya terbangun dan mengisi penuh botol air di sumber aliran air. Suasana sudah lenggang, bahkan toilet juga sudah tidak ada antrian. Tentunya saya manfaatkan untuk menghabiskan "urusan" di sana, dengan udara dingin yang membuat tubuh gemetaran. Kembali ke tenda dan melanjutkan tidur di dalam selimut hangat.
Pada pagi harinya sudah terbangun, kemudian melihat (lagi) antrian panjang di toilet, sebagai bentuk hiburan pertunjukan kesabaran, untuk pemenuhan kebutuhan di tengah keterbatasan fasilitas. Berlanjut menuntaskan "panggilan" alam secara darurat di sebelah ujung, naik ke hutan, hingga perut mulai enak lagi. Kemudian santap pagi di warung (lagi), nasi siap saji agar ada tenaga lanjutan. Berada di sana hingga kira-kira pukul 8 saja, untuk kemudian membongkar tenda dan bersiap kembali.
"Sudah mau balik? Sendirian aja ke sini?!" sapa pendaki lain, sebagai salam lestari sesama penikmat wisata alam. Semua pengunjung di sana tentunya menjadi satu keluarga, meski tidak mengenal satu sama lain, tapi punya satu tujuan kemping bermalam di sana.
Lokasi pendaki yang menyapa itu berseberangan dengan tenda saya. Sejak awal seperti memerhatikan sepak terjang saya. Bermula dari kedatangan saya yang telat di jelang sore hari, hingga kepulangan lebih awal dari mereka di pagi hari. Tetap percaya diri merakit tenda dan membongkar sendiri, tidak harus sampai merepotkan yang lain dengan meminta bantuan.
Saat turun ini saya baru mulai mengabadikan titik-titik menarik di sepanjang jalur. Seperti papan petunjuk dan lain-lain, termasuk pemandangan Gunung Cikuray dan lautan awannya di perbukitan seberang. Tidak sampai siang hari sudah kembali ke bawah, kemudian ingin segera pulang lebih cepat.
Menuju ke kota Garut kembali, kemudian mengambil bis Primajasa untuk arah pulang menjelang siang di perempatan Tarogong. Hingga sampai di kota Jakarta itu menjelang petang, oleh karena melewati kepadatan lalu lintas di sepanjang jalur. Berakhir pula perjalanan saya untuk wisata Garut ini.