Sabtu, 27 Juni 2015

Bintang Jatuh (Cahaya Kuadrat)

http://stress.lovetoknow.com


Untuk topik ini baru terpikir oleh saya belum lama, sewaktu camping "sendiri" di Telaga Bodas pertengahan bulan ini. Postingan kali ini tidak akan saya bahas mengenai catatan perjalanannya, tapi mengangkat sisi lain yang menemani kala itu, menyesuaikan diri dengan keadaan.

Pertanyaan saya mengenai fenomena Bintang Jatuh itu mengemuka dalam sekejap, saat merasa iseng sendiri. Rasa was-was karena bermalam soliter dalam arti sebenarnya, hingga melihat atap dunia di langit yang luas itu. Titik-titik putih yang bertebaran di angkasa, yang konon katanya merupakan "matahari" dari galaksi lain, terlihat kecil oleh karena jaraknya yang sangat jauh.

Melihat kebesaran dunia di luar sana, rasa gugup karena bermalam sendiri di ujung telaga lenyap juga. Pada utamanya ketika warga di sana sudah tidak berlalu-lalang, karena pada malam itu mereka beraktifitas untuk menikmati permandian air panas, yang posisinya dekat dengan tempat kemah tempat saya mendirikan tenda. Jadi mungkin agak beda dengan turis normal yang pulang pergi tanpa menginap.

Mata saya melihat segala sisi, kalau menyesuaikan arah matahari terbit keesokan harinya itu dari utara ke selatan. Bintang-bintang itu tidak terhitung banyaknya, sebagian seperti nyala redup, sebagian yang lain terang benderang. Menurut cerita ilmiah dalam bahasa sederhana, titik-titik yang terlihat pada hari itu punya perbedaan waktu, mungkin saja sinar cahayanya sudah dari beribu2 tahun yang lalu, waktu yang panjang dalam perjalanan untuk sampai pada tatapan kita, di galaksi matahari tempat bumi kita berdiam.

Akhirnya pengamatan yang berjalan mulai beralih, pada ingatan tentang Bintang Jatuh. Bedanya pada menjelang dini hari itu mulai ada pertanyaan lain, bagaimana fenomena itu bisa terjadi, terlepas dari kepercayaan tentang tradisi "make a wish" yang sudah sangat umum diketahui. Beberapa kali, tangkapan mata saya seperti terdistorsi, karena melihat fenomena itu secara langsung, seperti lalat berwarna putih yang bergerak di atas sana, tentunya kepercayaan umum itu saya lakukan juga, tidak melewatkan momentumnya begitu saja. :))

Cahaya yang bergerak di langit itu cukup mengusik, hingga saya menulis ini dan mencari tahu faktanya. Teori yang paling banyak adalah karena benda langit yang mendekati bumi, tapi tidak bisa lolos dari atmosfer kita sebagai pelindung, hingga terbakar dan cahaya itulah yang kita lihat sebagai bintang jatuh. Disebut dengan Meteor atau Komet dan sangat bisa diterima, karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di luar sana, seperti debu angkasa di film Gravity kemarin, yang menjadi konflik utama yang mengalirkan cerita.

Teori kedua, atau khayalan saya sendiri adalah yang sesuai dengan namanya, bintang dalam arti sebenarnya. Mungkin bukan matahari dari galaksi lain, tapi planet-planet yang "nyangkut" di galaksi kita dengan satelit alaminya. Ingat, kita tidak tahu apa yang terjadi di luar sana, beruntunglah kita bisa merasakan siang dan malam secara teratur, serta musim-musim yang berganti di setiap tahunnya.

Planet-planet lain di galaksi kita, seperti Mars, Venus dan Jupiter, konon dari ahlinya (Baca:N4s4) sana bisa terlihat, tapi cuma setitik di langit. Menurut saya, itu seperti bualan, karena titik-titik di angkasa sangat banyak tidak terhingga dan tidak ada bedanya.

Pernah berpikir tidak? Jika galaksi kita akan kedatangan tamu, planet lain yang mengorbit teratur misalnya beberapa ribu tahun sekali. Mungkin bisa disebut sebagai fenomena alam murni dan luar biasa jika berefek besar, bukan seperti kata para ahli tentang mendekatnya planet lain tapi hanya setitik yang terlihat, cape deh.... karena semua juga sama. Xp

Bumi punya satelit alami bernama Bulan, jumlahnya hanya satu. Beda dengan planet-planet lain Saturnus, Uranus, Mars dll yang punya beberapa bulan sekaligus (Buka buku Geografi). Andai dunia lain itu mendekat ke atmosfer kita (entah dari galaksi mana berandai-andai), mungkin itulah yang sebenarnya dinamakan Bintang Jatuh. Tidak hanya itu, bulan-bulannya juga mengikuti planet tersebut, hingga terlihat seperti jejak, lalu klop deh namanya jadi Bintang Berekor, bukan sekadar jatuh lagi (karena nyatanya cuma bergerak).

Mata manusia itu berlangsung secara "live", alias tidak bisa mengabadikan penglihatan, apalagi menyimpan cahaya yang masuk kedalamnya. Untuk itulah dari penglihatan langsung, kita tidak akan pernah melihat manipulasi cahaya, misalnya angkasa malam dengan bintang-bintang yang membentuk warna lain.

Saya jadi teringat dengan teknik "photoshop"-nya Fotografi, yaitu pencahayaan ganda, atau kalau di matematika bisa kita sebut kuadrat, seperti di judul tulisan ini. Pada kamera SLR baik digital atau analog, bukaan shutter speed-nya bisa diatur sedemikian rupa, kita bisa mengatur seberapa banyak cahaya yang masuk ke sensor, dalam arti mengabadikan momentum dalam sekali, dua kali, atau berkali-kali dalam satu kali "klik".

Kita ambil contoh dalam ruang keadaan gelap gulita, shutter speed kamera kita atur membuka sensor dalam satu menit. Suruh teman kita sebagai modelnya duduk di kursi sebelah kiri, lalu tembak dengan lampu blitz yang nyala sekali. Detik itu kamera sudah merekam keadaan ruangan tersebut. Nah di sini pencahayaan dapat di-edit, lalu dengan segera suruh teman kita itu pindah ke kursi sebelah kanan, tembak lagi dengan lampu blitz. Pada keadaan yang demikian, sensor foto sudah menangkap dua momentum, hingga pada saat waktu shutter speed kamera habis dan menutup sensor, akan ada gambar dua teman kita di sana, kiri dan kanan. Sudah mengerti? :)

Hal itulah yang tidak bisa dilakukan oleh mata kita yang "Live" secara terus menerus. Kita tidak akan bisa melihat "Milky Way" hasil teknologi kamera, yang mengabadikan momentum ganda dengan pantulan cahaya yang merembet dan meluas disekitarnya. Kita bayangkan mlihat ada banyak titik-titik diatas sana dan jaraknya terlihat dekat satu sama lain, andai seluruhnya meleleh dalam bentuk warna, apa yang akan terjadi? Itulah salah satu keunggulan teknologi fotografi yang bisa membuka sensor lebih lama. Pada awalnya hal itu mungkin diciptakan untuk mengakali keadaan kurang cahaya, jadi dipastikan waktu yang tepat untuk bidikan slow speed itu pada malam hari. Kalau pada siang hari membuka lama, fotonya pasti akan kelebihan cahaya dan berwarna putih semua. :D

Lensa penglihatan mata kita tidak ada shutter speed-nya, yang bisa membuka sensor lebih lama, serta mengabadikan pergerakan cahaya dalam beberapa momentum sekaligus. Tapi mata kita berfungsi sebagai viewfinder tanpa batas, selama kita membuka mata sampai menutupnya kembali. Jadi kalah donk? Tidak ada sensornya? Jawabannya sensor mata kita, seperti juga kamera akan tersimpan di film atau memory, alias ingatan kita. :)


Oh iya, ketika menulis alinea ini saya jadi teringat film Now You See Me, tentang tokoh yang membongkar trik pesulap lainnya. Bedanya maksud di film itu memang lain, karena diceritakan adanya iri hati, atau ketidakmampuan dalam berkompetisi di dunia sulap menyulap, hingga pukulan dari belakang yang akhirnya diambil. Sementara pada tulisan ini kita sejajar, sama-sama membuka pengetahuannya saja, sebuah fakta yang belum banyak dijelaskan (mungkin karena terlalu teknis).

Saya sendiri juga terbantu dengan kehadiran teknologi kamera, yang dapat melampaui keterbatasan mata kita sebagai lensa dan sensor paling termuktahir di dunia. Hubungannya jika mata kita sebagai lensa dan sensor alami itu terbatas, mungkin teknologi kamera hadir sebagai jawaban untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Setuju tidak? :)

Jika demikian mungkin tidak jika matahari di galaksi kita itu juga terbatas? Meski keberadaannya dapat memberi kehidupan dan harus kita akui sebagai teknologi Pencipta yang tidak ada duanya. Jawaban saya mungkin saja, karena para ahli dunia kita di bidang angkasa dari Barat sana masih terbatas, planet terdekat kita masa hanya terlihat setitik, sepertinya itu bukan suatu kemajuan dalam teknologi pencahayaan. :P

Mungkin saja galaksi kita perlu bantuan "gerakan" lain dari cahaya yang berbeda, untuk dapat melihat keajaiban alam yang nyata, misalnya planet yang bisa terlihat dengan mata telanjang, sangat besar dan bukan setitik lagi. Apakah itu mungkin? Mungkin saja, karena tidak ada yang tahu.

Siang malam, musim berganti setiap tahun, bagaimana andai terjadi fenomena yang ajaib? Misalnya matahari sekali-kali terbit dari arah Barat? Apakah tidak mungkin? Lalu biasanya di negeri khatulistiwa ini kita melewati malam dalam dua belas jam, dari petang sampai pagi. Mungkin tidak gelap malam kita akan lebih panjang dari biasanya, dua puluh empat jam, satu hari, atau berhari-hari? Jawabannya bisa saja. :)

Iman mampu memindahkan gunung, apakah sekarang bisa? Bisa sekali, karena gunung bisa diratakan kalau mau (resiko-nya sumber mata air hilang), atau laut bisa direklamasi jadi daratan. Apa sih yang tidak bisa sekarang? Manusia kan dituntut memaksimalkan pengetahuannya (tingkatkan), bukan menghindar dan menggali tanah untuk menyimpan ilmu tersebut (membatasi). Xp

Bintang Jatuh pernah saya jadikan judul pada tulisan ini, tapi sepertinya yang itu tidak ada hubungannya karena hanya berupa puisi. Sementara untuk judul ini, sepertinya sudah lebih dekat dengan arti dari bintang tersebut, membahas dalam makna yang sebenarnya. :)