Senin, 08 Juni 2015

Jalan dan "Jalan"




Kalau dihitung-hitung dari durasi, belum genap lima tahun saya mulai suka jalan-jalan. Sudah cukup lama tapi waktu bersihnya tidak sepanjang itu, karena jumlah nett hari yang dihabiskan untuk trip, mungkin hanya beberapa bulan saja. :D

Awalnya juga bukan karena langsung coba untuk jalan, tapi menyiapkan karpet merah untuk kegiatan jalan-jalan tersebut disini, dalam hal itu tiket pesawat. Dalam bayangan saya, untuk trip harus yang cukup jauh, luar kota, luar pulau, atau luar negeri. Belakangan keadaannya berbalik, saya jadi malas jalan jauh, karena jarak dekat juga ada tujuan lain yang tidak kalah menarik. :)

Niat untuk jalan hanya untuk sekadar iseng-iseng saja awalnya, hingga berubah jadi sebuah obsesi di tengah, sampai akhirnya balik lagi jadi iseng-iseng. Ingin merasakan, apa yah enaknya traveling? Plus dengar kata-kata orang lain yang melakukannya, merasa puas, bangga. Atau bisa terjebak pada sebuah slogan semu, bahwa traveling itu menyenangkan tanpa batas. Jadi berpikir, ini orang tidak ada puasnya atau seleranya begitu-begitu saja? Alias mandek. :D

Tujuan pertama adalah tempat singgah populer dasar, seperti Bali, Bromo, Singapura dkk, masih tujuan wisata pada umumnya. Sampai pada satu waktu, saya melihat gambar yang cukup unik (saat masih berburu tiket), hingga membangkitkan minat saya untuk datang ke daerahnya, kota Kinabalu di negeri seberang.
airasia.com

Satu gambar yang langsung membangkitkan minat lain, untuk merasakan keadaan sekitar di tempat lain dalam tanda kutip. Bukan lagi sekadar jalan-jalan belaka, yang datang foto-foto terus pulang. Tapi mulai mengarahkan tujuan, untuk mendatangi tempat yang tidak akan kita temukan di daerah sendiri.

Saya percaya diri untuk datang ke sana, mungkin semudah kita naik ke Tangkuban Perahu. Kala itu belum terpikir ada jalur skyway, atau wisata pendakian gunung, dikarenakan pengetahuannya belum sampai ke sana. :P

Traveling sebagai pembuka jalan, lalu mendapati spot-spot tertentu yang lebih berdaya menggerakkan langkah. Sampai akhirnya menemukan satu link video dengan capture di bawah ini, yang langsung menyihir saya untuk segera ke sana, berhasil menyelak jadi yang terdepan diantara jadwal lainnya. Tidak perlu jauh-jauh ke Kinabalu, karena negeri di atas awan itu ada di pulau sendiri, (kemudian baru mulai mengenal dunia pendakian gunung). Xp

Kombinasi traveling dan mencapai tujuan mengantarkan saya ke beberapa tempat lain. Niatan backpacker juga tidak sembarangan ditentukan, salah satu kuncinya harus ada keunikan, di tengah keterbatasan wisata alam yang ada.

Seperempat Jalur Emas di titik Asean sudah di jelajahi, Jakarta-Singapura-KL-Bangkok. Mau ke mana lagi? Sepertinya sudah agak malas cari tujuan baru, soalnya sudah dapat apa yang ingin dicapai, apa itu? Sesuatu yang hanya bisa dialami secara pribadi, bukan sebagai titik keberhasilan yang harus didengungkan kepada orang-orang.

Dengan kata lain, idealnya kita menjemput pengalaman sendiri selama traveling. Bukan melakukan apa yang dijejak orang, seperti rencana menyalin seluruh pengalaman "orang lain", bahkan budget-nya secara bersamaan. Kalau begitu untuk apa kita melakukan perjalanan, sekadar menjadi pengikut dalam tanda kutip.

"Mas, ada nomor handphone ojek yang waktu itu ke Bromo tidak? Saya mau ke sana" ujar seseorang yang tidak saya kenal, tapi tertarik dengan sebagian info yang dibeberkan dalam cerita.

Pertanyaan yang sengaja saya hindari jawabannya, karena tiap-tiap orang rasanya tidak perlu menyalin pengalaman saya. Kalaupun kenal, saya akan menganjurkan yang bersangkutan mencarinya sendiri di TKP. Terkecuali tempat yang dituju itu memang terpencil, alias bukan tempat wisata, pastinya informasi mengenai transportasi sangat diperlukan.

"Kalau begitu, kamu sombong tidak ingin membantu mereka, bisa juga jadi menutup jalan orang. Mungkin saja yang bertanya padamu itu sumber rezeki tukang ojek yang kamu gunakan jasanya. Atau kamu jadi sumber informasi dari pejalan itu dan memudahkan yang bersangkutan" ujar seseorang, yang kurang setuju dengan tindakan saya.

"Itu kan katamu, kalau menurutku beda. Tidak salah mencari kemudahan, tapi mungkin saja dia akan mendapatkan pengalaman yang lebih baik dariku. Demikian juga dengan tukang ojeknya, pasti dia akan mencari calon pelanggannya di TKP. Jalan ada banyak, jangan dibutakan hanya kepada satu arah saja" balasku.

Tidak salah memang menyalin pengalaman orang lain, dari catatan perjalanan untuk memudahkan, hingga pada tingkat tertentu bertindak seperti buku manual. Segala biaya dijelaskan secara rinci, syukur2 menu makanan yang harus disantap juga tidak didikte, atau andai mau foto, sudut pengambilan gambarnya harus sama dengan spot favorit sejuta turis. Xp

"Yakin kamu bisa begitu? Tidak butuh referensi sama sekali?"

"Bukan tidak butuh sama sekali, tapi yang penting cari informasi dasarnya saja, perintilannya sudah lain urusan. Idealnya pengalamanku harus lebih menyenangkan, ketimbang catatan perjalanan dari sumber yang kubaca" elakku, memercayai bahwa jalan-jalan tiap orang tidak sama.

Jadi ingat pepatah, kalau mau beruntung, lebih baik dapat pancingan dan kail, bukan sekadar mendapatkan ikan. Hal yang dipandang tidak baik bagi yang merasa tersaingi, karena mereka pasti akan memberi ikannya, supaya orang lain tidak tahu cara memancing yang benar.

"Kalau begitu, orang-orang akan tahu bang, jadi tersaingi nantinya".

"Bukan begitu masalahnya, tapi siapa yang kita hadapi. Kalau takut tersaingi artinya orang yang kikir itu berharap, mereka hanya minta ikan terus menerus dan tidak berusaha memancing, itu berbeda denganku. Andai jadi mereka, bukan tidak mungkin aku akan bertanya caranya memancing. Jika ditolak oleh yang bersangkutan apakah aku jadi berhenti? Tidak! Aku akan diajarkan oleh orang lain yang mau. Kalau sudah begitu, aku tidak akan takut berbagi dengan yang lain" ucapku dengan santai.

Pepatah itu berlaku untuk refensi yang diburu, pada utamanya di ranah internet yang sangat membantu generasi ini. Ketimbang ikut-ikutan jalur ikan teri, lebih baik cari umpan sendiri, siapa tahu dapat ikan kakap atau paus yang akan menjungkirbalikkan pancingan awal (bukan sekadar ala2 bergetar). :D
 
Kemana lagi bang? Jawabannya sudah tidak kemana-mana, tidak ada tujuan lain lagi yang membuatku berhasrat seperti dulu. Sampai tulisan disini keluar, tentang menemukan titik balik, serta sudah menemukan apa yang dicari dan berlaku secara pribadi. Tidak perlu waktu lama, hanya beberapa kali saja, karena kita tahu apa yang dituju, normalnya bisa puas. Tiga kali pukulan langsung selesai, tentu lebih baik dari pada berpuluh-puluh kali pukul tanpa bisa selesai. :D

Ketika sudah menyandang status "pensiunan traveler", bukan serta merta menyurutkan niat untuk itu, tapi lebih kepada usaha yang berubah. Tidak lagi menggebu-gebu (obsesi pemula), tapi jadi nothing to lose, karena toh tempat tujuan yang diincar tidak akan lari kemana-mana. Bahkan tujuan "wisata" lain semakin menggeliat, seakan menuntut lebih untuk mengisi waktu di luar ruangan, seperti tinggal lebih lama di TKP melewati malam, tidak hanya sekadar sightseeing pulang pergi di satu hari.

"Mau ikut gak bang? Ayo liburan bersama sekali-kali, ke Singapura atau KL yang ramai saja. Atau mau yang jauhan sedikit? China atau Eropa? Tapi biayanya juga tidak bisa bohong" ajak teman saya.

"Ah malas, sudah pernah. Kalau yang jauh juga tidak pengaruh, bukan tujuanku ke sana. Belum ada lagi yang benar-benar ingin kudatangi, yang hasratnya setara dengan rasa ngebet ke Dieng dahulu, atau setara dengan naksir sama Papandayan dan niat mengulang hiking Gunung Gede kemarin" jawab saya, tidak lagi memedulikan nama terkenal sebagai tujuan wisata. Keindahannya seakan memudar dalam pandangan, karena sudah tidak ada lagi yang dicari. :D



"Ah payah kamu bang? Masa sekarang begitu? Tujuan jalanmu itu semakin tidak beres, ke tempat-tempat tidak jelas. Seperti orang-orang harusnya, senang dan puas seperti itu, trendy dan terkenal" seru teman lain, yang masih mencari-cari dalam waktunya. Mungkin saja tiap-tiap orang akan mengalami, mendapati berbagai persimpangan sebelum menemukan jalannya.

"Sok tahu sekali. Mungkin tujuan jalanmu untuk traveling sudah bukan level-ku" guyonku, tidak terpengaruh dengan pendapatnya, karena minat yang mulai mengakar. "Senang dan puas seperti ini, apa yang kita mau dan tidak tergantung orang-orang" tutup saya, memahami sebagai bagian dari luasnya pengertian, tidak bisa dicondongkan kepada salah satu sudut.

Sesuatu yang abstrak dan kaya seharusnya tetap demikian, tidak perlu dipaksakan untuk masuk dalam satu ukuran. Jika sampai seperti itu, abstrak yang kaya itu sudah berubah jadi miskin dalam keterbatasan ukuran, untungnya hal itu berlaku relatif dan ada pada isi kepala tiap-tiap orang. :D

Melakukan perjalanan dan puas? Memangnya batasan puas itu seperti apa? Sekadar haha hehe dan diabadikan, lalu dipamerkan? Atau sekadar mengambil jalan lain, sok menghindar dan sembunyi dalam jalan sunyi, itu artinya sengaja dibatasi. Puas menurutku itu tidak dapat dijelaskan dan diukur, biarlah itu menjadi suatu yang tidak jelas, tapi dapat dinikmati. :) 

Untuk Jalan pertama, mungkin saja kita dipengaruhi dengan keadaan dari luar. Perkataan orang lain bisa jadi pengaruh utama. Sampai kapan? Tidak ada yang tahu dan tidak ada batasannya, seperti yang saya sebutkan kepuasan abstrak itu biarlah tetap demikian. Tapi mungkin penopangnya yang sudah beda, yaitu ketika Jalan kedua dalam tanda kutip, saat keadaan dari luar menjadi tidak penting lagi, karena jalan kita bukan orang lain yang melakukannya.  

Jalan dan "Jalan" memang tidak bisa disamakan, meski serupa.

Jadi bagaimana akhir jalannya? Tergantung kita maunya seperti apa, itu lebih menarik kan? Tidak akan ada akhir, sampai benar-benar berakhir. :)