Selasa, 30 April 2013

Jalan ke Mana Lagi?

 


Jalan ke Mana Lagi?

Bagi para pejalan umumnya akan berupaya atau sekedar bermimpi untuk ke berbagai tempat impian yang diinginkan. Bermacam-macam tentunya minat dari masing-masing orang, tergantung hobi dan kesenangannya sendiri.


Dulu saya pernah menyebut, jika berpergian minat saya lebih ke wisata alam, sesuatu yang tidak dapat dijumpai pada kandang sendiri di Jakarta sebagai pusat kota. Kemudian melebar ke sejarah yang berkaitan erat dengan budaya. Yang pasti untuk wisata rasa dari penggiat rasa masih belum sukses menembus minat saya (mungkin nanti). Xp

Sampai sekarang juga demikian, kalau datang ke satu tujuan tidak hanya asal mengunjungi saja. Tetapi apa yang dapat kita lihat hingga berencana datang ke sana.

Teman saya pernah berujar, keinginannya untuk ke suatu tempat atau propinsi atau luar negeri. Menyarankan saya yang kebetulan saat itu sedang gemar jalan, untuk mengunjungi tempat baru, tetapi diakhir kalimat yang menjadi pertanyaan saya adalah.... "Ada apa di sana?"

Kalau menurut pendapat pribadi,  satu tempat harus memiliki keunikan tersendiri. Hingga kita mau repot untuk datang jauh-jauh. Kalau umumnya sama saja untuk apa. Contoh yang paling umum adalah perbatasan antara daratan dan laut yang disebut pantai. Hampir seluruh pantai di dunia ini tentu memiliki persamaan dasar, yaitu garis pantai sebagai perbatasan. 

Untuk apa jauh2 melintasi perbedaan zona waktu, hanya untuk melihat sesuatu yang sama, bahkan serupa tidak ada bedanya. Terkecuali memang ingin mengetahui keadaan sekitar di luar objek wisata yang serupa tersebut. Mungkin daya pesona sebuah nama ikut berpengaruh, tentang sebuah tempat yang mendadak jadi hits.

Mengutip salah satu teman twittter yang saya follow @takdos.  Sombong travelling adalah kesombongan yang elegan kepada orang lain (2013). Ada benarnya juga memang.

Kebanggaan saat melakukan perjalanan kemana pun tempatnya, itu yang banyak dikejar orang, entah apapun alasannya. Sangat baik jika ditempatkan di tempat yang seharusnya, agar kebanggaan tidak sia-sia, yang pada akhirnya berujung pada pertanyaan...... "Hanya itu?"  

Bagi saya yang lebih tepat mungkin lain cerita, hingga akhirnya sanggup mengutip kalimat setelah ini. Travelling adalah kerendahan hati bagi diri sendiri (2013). Jadi utamanya bukan berdasarkan orang lain lagi. :)

Karena esensi perjalanan akan terkorupsi, jika dilakukan atas dasar orang lain sebagai alasan. Lain ceritanya jika perjalanan dilakukan atas tuntutan skenario dari orang lain, dengan kepentingan lain yang ikut serta, itu memang sudah beda koridor. :p

Pada akhirnya kita harus mendapat sesuatu dari perjalanan, yang kemungkinan besar akan bertemu dengan satu titik yang bernama pulang. Pada saat itulah kita merasa sangat puas dan cukup, mampu melihat hal-hal lain yang lebih dari pada yang lainnya. :)