Kamis, 28 Mei 2015

(titik) Batas Jalan


Kata yang dijadikan judul ini cukup unik, karena keberadaannya antara diinginkan atau tidak. Bagi pasukan optimis, kata batas itu harus dilewati, bahasa kerennya harus melampaui titik tersebut. Tidak salah memang, karena pada dasarnya manusia dituntut demikian, untuk mengalahkan "batas" palsu dalam dirinya, untuk sampai kepada batasan alami yang lebih benar, kalau tidak pernah mencoba bagaimana akan tahu?

Untuk batasan kali ini, saya akan membuka titik tersebut, bukan dalam arti dapat dilewati dengan berani, melainkan menjadi "putar balik" dalam arahnya, alias berhenti. Dikaitkan dengan perjalanan yang (masih) punya banyak cerita, pada beberapa tempat di waktu yang berbeda. :D

Pertama itu sebetulnya sudah jadi pembuka dalam cerita niatan mendaki disini, saat selesai melakukan pendakian singkat ke gunung Batur di Bali sewaktu Maret 2012 dulu. Bedanya kala itu saya baru mengetahuinya keadaan ketika mau turun, melihat jalurnya cukup ekstrim. Jadi mau tidak mau harus jalan, karena sudah naik dan untuk pulang tidak ada jalan lain kecuali turun. Andai sudah tahu jalannya seperti itu, mungkin saya akan berpikir dua kali untuk naik.  :D


Jadi batasan itu sudah saya ketahui dari pendakian tersebut, dari pemandangan, sampai apa yang akan kita dapat di akhir, tujuan harus jelas, karena perjalanan tanpa tujuan itu = buang-buang waktu, beda dengan yang punya waktu lebih banyak. :D

Kedua itu sewaktu trip panjang di Jawa Timur, salah satunya ke kawasan Bromo. Mencoba datang ke salah satu tujuan yang tidak biasa, yaitu goa Widodaren, menyisir sebelah timur kaldera. Tapi tanjakannya cukup ektrim berpasir, jalurnya juga sempit seukuran lebar badan. Kalau mau nekat naiknya mudah, tapi saya juga memikirkan cara turunnya, pasti akan lebih sulit. Jadinya baru setengah perjalannya berhenti dan balik kanan, mungkin akan sangat lucu andai berani naik tapi takut untuk turun. :)

Ketiga itu masih di kawasan dan hari yang sama, di kaldera pegunungan Tengger. Punya susunan jadwal lanjutan untuk menjejakkan kaki di lautan pasir atas, yang dinamakan Segara Wedi. Untuk mencapainya perlu mendaki sisi bukit yang mengelilinginya, atau cara yang mudah memutari bibir kawah Bromo, karena posisinya itu ada di belakang gunung. Melihat jalur memutar cukup ekstrim, tidak ada pengaman yang memadai, serta pasir tebal di sekelilingnya (selepas bererupsi di tahun 2012). Ruang gerak saya jadi terbatas, terkunci di dekat tangga dan mengurungkan niat ke sana untuk melangkah lebih jauh, untung naiknya jelang petang, tidak ramai dan cenderung sepi.

Kalau dari capture video yang diambil dari udara oleh Red Bull ini, lautan pasir atas yang di sebelah kanan atas, sebelah kirinya kawah Bromo, sementara yang kiri bawah itu gunung Batok yang jadi tetangga Bromo.

Keempat itu sewaktu saya mengunjungi Curug Cilember di Puncak, ketika hendak nanjak sedikit ke Curug Dua dengan jalurnya yang cukup terjal. Niat untuk ke sana diurungkan dan mulai dipengaruhi hal lainnya, bahwa yang dilihat hanya air terjun, kurang lebih tidak akan berbeda jauh dengan yang di bawah. Melihat jalurnya sudah lelah duluan, antara mampu dan malas, hingga selentingan penakut atau kurang berani tidak akan berlaku untuk saya secara pribadi. :P

Pada titik ini hasrat untuk melampaui batas sudah bertemu titik jenuh, tidak ada lagi obsesi berlebihan, tapi bukan berarti yang namanya batas itu harus dijauhi. :)

Terakhir yang saya ingat belum lama ini, saat iseng2 mau ke Gunung Munara di Rumpin Parung, tapi datang tanpa persiapan dan salah perkiraan tentang jalurnya. Saya salah "kostum" karena memakai sandal karet yang sudah botak, hingga kepayahan melangkah dan memutuskan berhenti setelah tidak lama jalan dari bawah. Cuaca kala itu sehabis hujan, jadi jalur tanahnya licin dan idealnya harus dilewati dengan bersepatu.

Karena ribet sama jalurnya yang buat celana dan kaki jadi dekil bin kotor, jadinya malas keluarin kamera. :P

Jadi batasan itu seperti apa? Apakah yang sukses itu saya harus berani dan melampauinya? Jika iya, mungkin "batas" itu sudah berubah menjadi objek semata, sebagai pemuas obsesi manusianya sendiri. Belakangan saya menyimpulkan, barisan orang-orang pemburu batas ini tidak salah, karena merasa benar dalam pandangannya sendiri.

Lain halnya ketika "batas" itu hadir dalam bentuk lain sebagai pengingat, untuk mengetahui batasan dari kemampuan kita sendiri. Yang seperti ini biasanya dihindari oleh banyak orang, karena menganggap "berhenti" itu sebagai kegagalan, apakah seperti itu? Menurut saya tidak. :)

Batas sendiri bermakna pemisah, pada setiap perbatasan akan ada hal lain di luar atau setelahnya. Andai berhasil melampuinya, maka batasan lain sudah menunggu nan jauh di sana, jadi tidak pernah ada sesuatu yang berhasil dilampui, karena setiap langkah idealnya memang tidak berbatas.

Idealnya tiap manusia punya batasannya sendiri, andai jika telah tiba waktunya batasan awal itu akan dilewati dan menantikan batasan lainnya. Bagaimana jika belum waktunya, tapi batasan itu coba dilewati? Andai terlewat memang sudah waktunya, kalau belum jadi bagaimana?

Untuk mencapai batas diri sendiri, mungkin pepatah yg tepat adalah yang harus dilampaui tidak akan melebihi batas kemampuan.

Sementara ada pepatah "cobaan" untuk melampaui batasannya sendiri. Coba saja, pasti bisa, kalau gagal pasti ada jalan keluarnya. Tidak masalah kalau ada jalan, kalau tidak?

Jadi sampai mana batasanmu itu? 
;)