Selasa, 28 April 2015

eksplore Puncak Gede ( Turun Gunung )




Sengaja hanya cerita bagian terakhirnya, alias waktu sesi pulang. Oleh karena hitung2an di atas kertas ternyata harus disesuaikan dengan keadaan. Plus kejadian yang tidak diduga dan sudah diantisipasi akhirnya menimpa kami (saya dan satu teman).

Cerita di mulai saat kami akan pulang dari perkemahan, berlokasi di alun-alun Surya Kencana. Setelah beristirahat dengan cerita yang (lebih) seru dalam tanda kutip, satu hari sebelumnya.

"Di sini ada ojek atau angkutan umum tidak yah? Kalau ada lebih baik bayar saja, sudah cape kalau harus jalan lagi" gerutu satu teman saya, setelah yang bersangkutan mengalami kejadian apes dan belum sepenuhnya recovery di hari itu. Tapi katanya sudah lebih baik ketimbang kemarin sore.

Teman saya itu seperti sudah kelelahan duluan, karena tahu akan kembali trekking menanjak lagi, meski sudah tidak jauh, hanya satu jam saja katanya. Habis itu dari puncak menurut teorinya akan turun cepat di jalur Cibodas, meski jalannya lebih panjang ketimbang tempat kedatangan kami dari Gunung Putri.

"Mana ada ojek di sini, kalau ada enak" jawab saya, tidak bisa menahan tawa.

Mungkin nanti, kalau ada kereta gantung, pas Indonesia ini udah benar2 siap, jadi gak asal2an buat proyek-ny yang penuh dengan motif lain, pikir saya. Sekadar menyimpan harapan untuk satu kemajuan dalam arti sebenarnya, melihat ke depan dan tidak menghindar dengan sejuta alasan. Bukan balik merasa diri eksklusif, hingga tempat2 tertentu hanya bisa didatangi oleh pendaki dalam tanda kutip. :D

Akhirnya kami packing dan siap2 jalan pukul 12 siang, kebetulan kala itu kabut mulai menyelimuti keadaan sekitar, perkiraan hujan sepertinya tidak bisa dihindari. Saya dan satu teman berjalan agak cepat, sesuai teori ingin mengejar waktu, supaya sampai Cibodas pukul 6 sore (Kepedean dan meleset jauh ternyata).


Sampai puncak pukul 2 siang dan hujan turun. Tidak ada pemandangan apa-apa, karena tertutup kabut pekat, kawahnya juga tidak kelihatan. Tapi sebentar saja, panorama Gunung Pangrango terlihat, awan-awan terbuka dan tidak melewatkan momentumnya begitu saja.

Teman saya memutuskan tidak berlama-lama, karena kakinya agak sakit, itu yang dikeluhkannya sejak kemarin. Padahal dia termasuk barisan pertama yang sampai duluan ke tujuan atas kemarin, saya barisan kesekian karena terpisah pasca hujan.



Saya melangkah sampai batas jalan setapak yang ke arah Cibodas, lalu lanjut menuruni jalan yang terjal. Padahal menurut info, jalur dari sana yang landai dan cocok untuk pemula. Tapi itu tidak berlaku dari tempat camp sampai ke puncak.

Saya membayangkan andai naiknya dari Cibodas pasti akan menguras tenaga. Kala itu hujan gerimis masih turun, kombinasi jalan becek tanah harus diterjang, plus keramaian dari banyak pendaki lain, hingga harus antri pada beberapa bagian. Perkiraan waktu mulai jauh meleset, karena jam 4 sore baru sampai di Kandang Badak, tempat camp dari jalur Cibodas.

Teman saya yang kakinya sakit itu jalan lebih lambat, mau tidak mau harus menunggunya, meski tahu masih ada banyak teman lain, serta ketua grup kami yang bertindak sebagai sweeper. Langkah santainya itu terlihat sejak turun dari puncak, lebih berhati-hati melewati jalan setapak yang agak licin tersebut.

Saya berjalan normal lalu menunggu dia sejenak, beberapa kali seperti itu untuk mengatur ritme langkah, serta tidak menjadi penghalang bagi pendaki lainnya. Sejenak mengambil nafas di pemberhentian pertama, memilih antara menunggu atau lanjut. Peluang untuk tidak bertemu dengan kelompok kami juga cukup besar, mengingat ramainya situasi di Kandang Badak.

Banyak pendaki lain yang tetap lanjut, menyusuri jalan lanjutannya. Saya bersama teman memutuskan ngopi dahulu. Waktu tujuan akhirnya diubah, jam 6 sore rencana sampai di pertigaan air terjun. Menyadari keapesan lainnya, karena senter saya hilang. Praktis tidak membawa penerangan pada saat itu, lalu jadi ragu andai terus jalan. Sampai akhirnya memilih lanjut, karena toh akhirnya kami harus sampai di kaki gunung hari itu juga.

"Kenapa gue bisa ada di tempat kaya gini?!" teman saya bergumam, melihat jalan setapak yang sudah lebih baik, tapi masih dipenuhi oleh batu-batuan yang berserakan. Mungkin kakinya sudah tidak bisa diajak kompromi, hingga pikirannya melayang-layang di khayalan, serta sedikit menyesal dengan keputusannya menyetujui ajakan saya untuk ke sana.

Sebetulnya, saya penganut solo trip, jadi jika bisa dijangkau sendiri akan melakukannya seorang diri. Tapi tujuan pendakian Gunung Gede ini tidak bisa begitu. Untuk mendapatkan izinnya, batas orang yang harus mendaftar minimal tiga kepala, itu sudah menjadi penghalang cukup besar. Meski bisa diakal-akali dengan sejuta alasan, tapi lebih baik mengikuti syarat dan ketentuannya. :D

Bayangan saya mengenai jalan yang landai dan santai tidak terbukti, termasuk cerita yang memengaruhi saya, bahwa jalur Cibodas cocok untuk pemula dan bla bla bla. Jadi secara pribadi juga agak sedikit meleset, tapi masih batas wajar, karena jalannya masih manusiawi. Dengan langkah saya yang normal andai melenggang kakung sendiri, mungkin bisa cepat (kayaknya yah, :P).

Kembali melanjutkan perjalanan dengan jalan normal, kemudian berhenti, untuk menunggu teman saya yang lambat. Mengejar teori yang masih diyakini, satu jam untuk sampai di pos Air Panas, tapi sepertinya juga meleset karena "santainya" teman saya. Ulahnya itu membuat saya agak berpacu dengan waktu, karena tidak ingin terjebak dalam gelap dan tidak ada penerangan pula, hingga luput mendokumentasikan jalur tersebut, malas foto-foto atau nge-video.

Kami melewati air terjun yang tidak besar, serta beberapa tempat lapang untuk mendirikan tenda. Sebelum sampai di tempat yang dituju, kembali beristirahat sejenak. Hari masih terang, tapi sudah tidak memerhatikan waktu lagi, rileks sebentar dengan mencelupkan kaki di kolam yang agak hangat. Tidak beberapa lama lanjut lagi menyeberangi tebing yang terkenal itu, curahan air panas di sebelah dinding, serta pengaman tali di batas jurang, berhati-hati melangkah.


Sepertinya waktu saya dan satu teman sampai di Air Panas tadi sudah mendekati pukul 6 sore, karena tidak lama kemudian terang berangsung-angsur surut. Jadilah saya seperti mengamini, sekaligus mengalami kejadian yang pernah saya baca disini, tentang pendakian pemula tanpa penerangan, lalu mau tidak mau minta pertolongan orang lain, kejadiannya sama persis.

Saya sudah lupa berhenti di pos mana saja, yang pasti ketika mulai gelap itu, langkah teman saya jadi agak cepat (magic), menyesuaikan diri dengan keadaan. Jadi saya tidak perlu menunggunya berjalan santai, sebaliknya mengikuti cepat kerumunan pendaki lain dengan penerangannya, sampai berhenti di salah satu pos, entah namanya apa. Keadaan sekitar gelap total, mungkin karena tertutup rimbunnya pepohonan, hingga menghalangi penerangan bulan yang alami.

"Bro, kita ikut rombongan kalian yah, senter yang dibawa hilang soalnya" ujar teman saya, berniat permisi untuk mengikuti penerangan dari mereka. Pada tempat itu, saya bertemu dengan satu dua anggota kelompok kami pada akhirnya, tapi memilih untuk tetap pada kesepakan awal dengan tim yang dimintai tolong sejak awal.

Awalnya kelompok yang kami tumpangi itu juga terpecah menjadi dua, antara yang cepat dan lambat. Saya dan teman hanya mengikuti langkah yang di depan, karena barisannya di pecah lagi, mereka menyelipkan pendatang baru yang butuh pertolongan di tengah. :P

Sampai akhirnya, kami jadi ikut barisan belakang yang lebih santai, karena ada satu orang yang serupa dengan teman saya, kelelahan dan banyak meminta break untuk istirahat. Jalan terus menerus, tanpa tahu kapan akan sampai, tapi jalur itu selalu dilintasi pendaki yang turun, masih cukup ramai meski keadaan sekitar gelap.

Suara gemuruh akhirnya terdengar dan kami sampai di pertigaan air terjun, yang dinamakan pos Panyancangan pukul 8 malam. Keadaan sekitar justru lebih ramai, banyak pendaki yang berteduh dari gerimis, tanpa penerangan secukupnya, mengambil nafas sejenak di sana. Paling tidak peradaban sudah semakin dekat, setelah menempuh jalur hutan yang melelahkan.

Jari-jari kaki saya mulai terasa tidak enak pasca nimbrung ke kelompok dadakan, tapi hanya diam dan ikut berjalan. Sudah tidak ada untungnya juga lagi pula andai mau recovery sejenak. :D

"Grup-nya Asropi yah? Kemarin buka tenda di mana?" tiba-tiba seseorang yang pernah saya jumpai menegur. Sosok yang satu hari sebelumnya saya dahului, ketika jalan mantap seorang diri di jalur Gunung Putri.

Kemarin harinya langkah saya tertahan dan menjadi lambat, oleh karena terpisah dengan satu teman saya setelah hujan lebat. Antara tetap jalan, atau menunggu tim kura-kura dari kelompok kami (julukan yang diangkat oleh mereka sendiri, :p). Merasa khawatir karena teman saya itu mungkin baru pertama, tidak terbiasa jalan jauh. Tapi dugaan itu meleset, karena yang bersangkutan ternyata jadi rombongan pertama yang sampai, tapi efek sampingnya terasa sampai detik itu. Xp

Sosok yang menegur itu ternyata salah satu yang terpisah dari rombongan, untungnya dia bawa tenda sendiri dan bermalam entah di mana. Beberapa juga terpisah karena lambatnya waktu sampai, sebagian menginap di warung beratapkan tenda sederhana. Sementara saya juga nyaris apes, tapi untungnya bisa ketemu rombongan kembali dan bisa beristirahat dengan nyaman.

"Mau barengan tidak? Ayo jalan abis ngaso" ujar saya.

"Saya jalannya lama. Duluan saja" ujar sosok tersebut, mirip dengan perkataannya satu hari sebelumnya, ketika saya mendahuluinya. 

Senang rasanya karena bisa ketemu tim kelompok lagi, tapi mulai egois untuk cepat sampai karena lelah, dan untuk saya sendiri jari-jari kaki mulai sakit. Kemudian lanjut lagi dengan kelompok dadakan kami, jalan jalan jalan ngaso, jalan jalan ngaso, jalan ngaso, sampai akhirnya kembali ke peradaban selepas jam 9 malam.

Berterima kasih dengan kelompok yang memberi penerangan itu, lalu pamit pada jalur awal, tempat dimana leader kami yang jalan di depan menunggu lebih dahulu. Beberapa anggota tim sudah sampai. Lalu lempengin kaki di salah satu sudut bangunan, supaya jari-jari kaki jadi enak lagi, berlanjut dengan masuk  di satu dari dua kedai makanan di sana.

"Kalau kayak begini, lebih baik yang pendek-pendek sajalah, Papandayan atau apa, Cikuray sepertinya masih seperti ini" ujar satu orang yang tergabung dalam kelompok. Berceloteh bersama temannya dan kebetulan telinga saya terpasang. Sosok yang sudah lebih dulu sampai sebelum saya. :D 

Menurut saya kesulitan pendakian itu hanya soal durasinya. Sebelum itu saya sangat menghindari hiking panjang, yang sampai perlu menginap di TKP (malas nyiapin logistik soalnya, biar kata teman lain acara masak2 itu justru salah satu keseruannya). Pandangan itu berubah seiring dengan langkah saya yang ikut di sana hari itu, awal April 2015, hari kedua setelah pintu taman nasional dibuka kembali. Penasaran lebih tepatnya. :D

Kegiatan pendakian gunung memang menarik, teman saya yang ikut itu mengatakan tidak akan ada kedua kalinya. Ini dia orangnya, sempat mengabadikan momen, ketika awan-awan di puncak terbuka sesaat, sebelum tertutup kembali.


Berbeda dengan saya yang tidak menutup kemungkinan untuk kembali. Plus kabar terkini sebelum tulisan ini dibuat, yang bersangkutan akhirnya menarik ucapannya tersebut, mungkin saja kemarin bicaranya masih dipengaruhi emosi. "Bisa melampau batas kemampuan" katanya, seiring dengan pengalamannya kemarin.

Papandayan termasuk masuk dalam tujuan saya, tapi gagal pada rencana awal Februari lalu, karena tiba-tiba ditutup oleh cuaca saat ingin berangkat. Mirip kegagalan Dieng disini, tapi sudah nyantai dan tidak terlalu mengejar lagi, lihat saja nanti bagaimana.

Orang bilang Pendakian Gunung itu harus sukses sampai puncak, kalau saya tidak begitu, pendakian itu akan sempurna, ketika kita juga bisa Turun Gunung (ini sering disepelehkan), lalu kembali pada titik awal kita memulainya. :))

Pada saatnya nanti, setiap orang memang harus "Turun Gunung".