Selasa, 17 April 2018

(Drama) Naik Gunung



Cerita ini melupakan "lanjutan" dari pengalaman di sini, tapi lebih tepatnya melengkapi, karena dari urutan waktu adalah bagian awal, seperti babak pertama yang baru diangkat. :)

Saya dan satu teman akhirnya ikut satu acara pendakian gunung, sistem patungan lebih tepatnya. Jadi bukan ikut travel atau tour yang sudah professional dan ternama, tapi lebih kepada mengikuti ajakan yang dilayangkan oleh sebuah kelompok perjalanan. Istilah yang terkenalnya itu share cost, tapi mengingat ini bukan jalan-jalan biasa, jadi memang ditemani oleh orang yang memang sedikit banyak tahu tentang pendakian gunung, berikut segala tetek bengek aturannya. :)

Titik pertemuan kami itu berlokasi di terminal Kampung Rambutan, terus menjelang tengah malam semua anggota sudah berkumpul. Mulai bergerak menuju Puncak dengan bis umum, memejamkan mata sejenak untuk istirahat kilat. Pada waktu subuh sudah sampai di Cipanas, tempat pemberhentian kami. Hingga beberapa mobil angkutan umum dan bak terbuka yang disewa menjemput, untuk mengantar ke gerbang pendakian di Gunung Putri.

Mendekati TKP terjadi kemacetan, hingga banyak pendaki yang turun dan berjalan kaki. Suasana mulai ramai, seiring dengan terbit matahari menerangi sekitar. Bersantai sejenak di sebuah warung, karena kelompok kami menyiapkan konsumsi nasi bungkus dari sana. Mulai bergegas menjelang siang, kira2 pukul sembilan pagi.

Pemberhentian pertama adalah pos jaga dari jalur Gunung Puteri, tempat mengecek bawaan pendaki dari petugas. Mengingat ramainya situasi di sana, mungkin ada kelonggaran dengan hanya mendaftarkan diri. Hal itu karena saya sendiri hanya cukup menunggu, karena untuk konsumsi sudah disiapkan oleh kelompok, terima beres saja. :D

Jalur awal masih berupa ladang penduduk yang terbuka, masih nyaman untuk dijalani. Hingga pada satu titik mengarah ke bawah, dekat dengan aliran sungai kecil, menjadi tempat untuk menambah persediaan air. Karena di sepanjang jalur gunung puteri ini tidak ada lagi curahan air, alias terus menanjak sampai atas yang berakhir di padang terbuka.

Setelah itu barulah kami memasuki pintu rimba, ditandai dengan masuk dalam atap pepohonan, bersamaan dengan turunnya kabut. Sampai bertemu satu tempat lapang berupa gerbang, sebagai pos pertama yang dilalui. Istirahat sejenak hingga hujan turun, serta membuat pendaki berhamburan, mencari tempat teduh di satu bangunan kecil yang mempunyai atap. Sebagian mengenakan jas hujan, atau membuka lembar flysheet untuk berteduh, saling bergurau satu sama lain, ikut nimbrung bersama mereka semua.

Mulai tersadar terpisah dengan teman saya, karena sempat mencari keberadaannya di sana, berkeliling melihat satu per satu dari orang yang berhenti di sana. Mulai berjalan kembali ketika tempat itu mulai lenggang, hanya tinggal beberapa pendaki yang masih diam. Hujan rintik masih terus turun, hingga banyak pendaki melanjutkan dengan balutan jas hujan.

"Itu mana teman loe? Tadi kayaknya juga berteduh di sana" ujar salah seorang peserta, menunjuk tempat pos pertama tadi. Bertemu dengan saya di jalur pendakian dan mulai bertemu pos kedua yang berada di sisi jalan. Sebagian pendaki beristirahat dan mulai membuat minuman hangat, menawari pendaki lain tanpa pandang bulu.

"Tidak tahu Om, tadi sudah dicari sepertinya tidak ada" jawab saya, memastikan yang bersangkutan sudah tidak ada di sana. Sengaja jalan santai hingga akhirnya tiba di pos kedua. Anggota dari kelompok kami sudah mulai terpencar satu sama lain, lagipula saya juga kurang mengingat anggota kami siapa saja.

Dari sini rasa dilema mulai muncul, antara diam menunggu ketua kelompok kami yang jalan paling belakang, atau ikut tetap lanjut seperti pendaki lain. Pada titik inilah saya terpaksa jalan lambat, sekaligus sebagai pilihan jitu yang tetap menjaga kondisi fisik bisa tetap prima. Berjalan santai sambil sesekali menengok ke belakang, berharap teman saya itu nyusul bertemu.

Saya memutuskan tetap lanjut, mengikuti kerumunan pendaki lain. Karena tahu jika diam saja akan membuang waktu, karena pada akhirnya kita harus jalan mendaki, serta pilihan untuk kembali semakin mengecil. Masih tetap jalan santai dan melewati pos ketiga di sebelah jalur pendakian, pada titik jalur berbelok ke kanan. Masih banyak pendaki lain beristirahat di sana.

"Cape Bro, mau?" ujar seorang pendaki lain, seorang yang berhenti dan bersandar di batang pohon. Beristirahat sambil menawarkan biskuit yang sedang dinikmati. Berusaha menghela napas bersama satu temannya, keadaan sekitar cukup ramai dengan teman pendaki lain yang juga naik pada jam tersebut. Kemudian bertanya tentang jumlah kelompok kami.

"Sekitar belasan orang kalau tidak salah" jawab saya mengingat-ingat. Masih tidak mengetahui tata cara yang baik, untuk tergabung dalam kelompok kecil. Ada pula tujuan dari memecah kelompok lebih kecil, yaitu agar satu sama lain bisa saling membantu, serta adanya solidaritas untuk jalan bersama, bukan terpencar-pencar.

"Buset, banyak juga orangnya" jawab pendaki tersebut dengan kaget, seperti mendapat surprise tentang adanya kelompok besar di acara pendakian gunung tersebut. Menawarkan kembali biskuit yang sedang disantap, seperti memberi hiburan tersendiri di tengah perjalanan beramai-ramai.

Kembali melanjutkan jalan dengan tetap santai, masih tetap menoleh ke belakang, tapi teman yang ditunggu tidak kunjung terlihat. Jalan tetap menanjak, menapaki jalur yang dihiasi oleh rambatan akar pohon, sebagai pijakan alami bagi pendaki. Deru napas mulai memburu, tapi tetap berjalan santai. Tanpa disadari ritme langkah sudah sesuai dengan kecepatan yang aman, tidak terlalu cepat hingga bisa berakibat cedera.

Hingga tiba pada suatu tempat yang agak lapang, banyak pendaki yang beristirahat di sana. Meski tidak ada bangunan apapun, tapi mungkin boleh disebut sebagai pos keempat. Ikut beristirahat dengan duduk di sebuah dahan batang poton, mulai menikmati nasi bungkus yang sudah dibagikan di awal.

Pada saat melanjutkan perjalanan, jalur mulai menanjak lebih tajam, hingga selingan berhenti untuk menarik napas lebih sering dilakukan. Langkah kaki saya mulai sedikit lebih cepat, hanya menatap ke depan agar cepat sampai. Memercayakan teman saya kepada ketua kelompok kami, karena yang bersangkutan bertindak sebagai sweeper, anggota yang jalan paling belakang.

Di sela jalan dan berhenti berkali-kali, akhirnya saya bertemu dengan leader kami, yang jalan melambat karena sengaja menemani beberapa anggota kelompok. Pada titik inilah kami saling susul menyusul, tapi hal itu lebih praktis ketimbang semuanya menunggu. Banyak juga pendaki lain hingga suasana masih cukup ramai. Hujan kadang berhenti dan kadang turun rintik-rintik, disertai udara yang semakin dingin. Kedua telapak tangan mulai bereaksi, sebuah sensasi dingin yang memang saya inginkan. :D

Jalan beberapa lama akhirnya melewati beberapa tempat lapang kecil, mungkin sebagai pos lanjutan. Bedanya mulai ada tukang jualan, menjajakan minuman hangat kopi atau yang lainnya, dengan banyaknya sachet minuman rencengan sebagai ciri khas. 

Kemudian jalan yang menanjak mulai datar, sebagai tanda bahwa tujuan sudah dekat. Jalan semakin cepat dan tiba di padang terbuka yang dinamakan alun-alun Surya Kencana. Banyak pendaki yang mendirikan tenda di sana, sampai bersamaan leader yang ikut menemani beberapa anggota, beristirahat dengan duduk melapangkan kaki.

Pada saat sampai, akhirnya saya juga bertemu dengan teman saya. Ternyata dia mengikuti barisan anggota pertama, hingga sampai lebih cepat dan berbeda satu setengah jam dari kedatangan saya. Termasuk waktu yang cukup panjang, karena saya sendiri baru tiba di sana jelang pukul 5 sore, sebuah perjalanan panjang yang tanpa diduga.

Kekuatiran akan teman saya mereda, dan yang bersangkutan juga menanyakan keberadaan saya yang tertinggal jauh. Tidak lama kemudian leader kami mengarahkan untuk lanjut, agar tidak terlalu terlambat sampai tujuan, untuk mendirikan tenda dan bermalam di padang terbuka sana.

Jalan cukup jauh dan menikmati keindahan alam di sana. Tidak melewatkan momentum, dengan mengambil foto dan video di sela perjalanan. Hingga pengalaman yang lebih unik terjadi, karena kami berdua jadi tersesat di tengah keramaian tenda. Waktunya bersamaan dengan petang hari yang berubah cepat, dari matahari tenggelam berganti menjadi langit gelap.

Lebih tepatnya saya tidak mengetahui medan dan kondisi di sana. Awalnya mengira akan menemukan kelompok kami dengan mudah. Tapi keadaan lapangan sangat tidak terduga, karena luasnya tempat dan tidak mengetahui di mana kelompok kami bermalam. Hanya terlihat tenda-tenda menyala dengan jarak berjauhan, hingga sadar terpisah kembali dengan kelompok.

Teman saya mulai gemetar kedinginan, karena saat mendaki kehujanan dan baju dan jas hujannya basah kuyup. Tidak sempat mengganti pakaian, karena memang kurang mengetahui aturan mainnya. Sebuah pengalaman panjang dalam waktu satu jam kurang lebih. Tidak mungkin pula mencari tenda satu per satu, karena luasnya lapangan dan banyaknya tenda.

"Asropi..... Asropi....!" teriak kami berulang-ulang, disambut dengan jawaban jahil dari beberapa pendaki lain. Mengikuti aksi yang dilancarkan oleh pendaki lain, memanggil nama dari kelompoknya. Sebuah pengalaman yang tidak biasa, tersesat dalam tanda kutip di tengah tenda, terpisah dari kelompok perjalanan.

Sebuah usaha yang mau tidak mau dilakukan, berteriak sekuat tenaga berharap didengar oleh orangnya langsung dan ketemu. Mungkin saja teriakan itu (dipastikan) mengganggu beberapa pendaki lain yang sedang beristirahat, tapi rasa sungkan itu diabaikan dalam situsi dan kondisi yang dihadapi.

"Loh? Pada kemana yang lain?" panggil salah satu teman kami, seorang yang sempat menitipkan tas kecil karena ingin kembali karena ada yang tertinggal, pada saat kami jalan di padang terbuka tersebut. Merasa heran karena ikut mencari di mana kelompok kami membuka tenda. Bertambah menjadi tiga kepala yang tersesat di padang terbuka tersebut.

"Lebih baik kita kembali ke warung yang di ujung saja, jadi ada tempat lebih baik untuk bermalam" lanjutnya kembali, setelah mengetahui ikut tersesat dalam tanda kutip. Berpikir lebih jernih dan langsung menemukan solusi yang baik. Mengajak teman saya untuk bergerak, ketimbang berdiam dan badan akan semakin dingin.

Sebuah rencana yang tidak pernah terpikirkan oleh saya, karena pada saat itu sudah ingin menyerah. Awalnya lebih memilih solusi dadakan, karena berencana meminta bantuan tenda lain, untuk menumpang sekedarnya. Tentunya hal itu akan mengganggu mereka, tapi demi keadaan teman saya yang sudah gemetaran menahan dingin, sebelum bertemu dengan teman lain tersebut.

Kami kembali balik arah menuju Alun-Alun timur, tempat di mana jalur pendakian Gunung Putri berujung. Di sebelah sana juga banyak tenda berkumpul, serta adanya warung dadakan yang bisa dimanfaatkan. Berjalan dalam kegelapan dengan sebuah harapan baru, setelah sempat meredup karena tersesat dan tidak menguasai keadaan sekitar.

"Asropi.... Asropi..." teriak saya berulang kali, bergantian dengan suara serupa dari teman saya. Masih tetap berusaha mencari dan bertemu dengan kelompok kami, berjalan di tengah keheningan dan udara yang semakin dingin. Paling tidak sebuah kehangatan mulai terasa, karena diselamatkan oleh teman peserta yang lebih berpengalaman.

Kemungkinan besar kelompok kami tidak akan melipir sendirian, pasti ada seseorang yang menunggu di jalur pendakian tersebut. Mengarahkan setiap peserta dalam kelompok untuk berbelok, pada tempat yang dipilih untuk mendirikan tenda. Fakta itu terlihat karena hanya tiga kepala yang tersesat, sementara yang lain tidak, meski sebagian belum sampai. Beberapa peserta juga baru sampai di lokasi tenda esok harinya.

Masalahnya juga saya tidak terlalu mengingat mereka semua, hingga mungkin terlewatkan saat berjalan, hingga sampai ujung dan jalur pendakian mulai menghilang, berganti menjadi tempat lapang dan banyak tenda berdiri menyebar di sana. Sebuah lokasi di Alun-Alun Barat yang menjadi pintu masuk dari pendakian jalur Sukabumi.

"Asropi.... Asropi...." teriak kami berulang-ulang

"Asropi di sini" sebuah jawaban terdengar, berasal dari sebelah jalur pendakian.

Kami mulai berbelok dan melihat kelompok mereka yang sedang beristirahat di salah satu sudut, bersiap untuk membuka tenda. Hingga emosi teman saya lepas tidak terkendali, berhubung dengan pengalaman yang baru saja dialami. Teman saya menggerutu dan mengemukakan rasa kesalnya, berkaitan dengan kepuasan peserta bergabung dalam satu kelompok perjalanan.

"Saya memang teman si Asropi, tapi beda kelompok, ini saja teman lain juga ada yang terpencar" jawab yang bersangkutan, sambil merakit tenda dengan tenang, seolah memahami keadaan. Sebagai senior sudah lebih berpengalaman, lebih santai menanggapi ucapan yang didengar. Kemudian mempersilakan teman saya untuk masuk ke dalam tenda, untuk sedikit menghangatkan badan yang sudah gemetar kedinginan.

Saya juga ikut masuk sesaat, untuk memastikan teman saya lebih baik keadaannya, hingga keluar kembali untuk menentukan langkah selanjutnya. Berbincang dengan beberapa kelompok pendaki lain tersebut, mereka yang ikut membantu tanpa dipinta, karena langsung memanggil leader dari kelompok kami untuk menjemput. Kemungkinan mereka sudah berkoordinasi terlebih dahulu, tentang posisi untuk bermalam meski berbeda kelompok.

Teman saya berulang kali meminta maaf, karena merasa tidak enak sudah berbicara keras, kemudian salah orang pula. Mungkin keadaan yang sudah tidak enak dirasakannya, hingga emosinya lepas kendali, rasa lapar dan kedinginan yang tidak pernah dibayangkan olehnya sendiri.

Ternyata lokasinya tidak terlalu jauh dari sana, kami berbalik dan bergabung kembali dengan kelompok yang sebenarnya. Sudah ada satu dua tenda yang berdiri, hingga teman saya langsung dimasukkan ke salah satunya. Suasana semakin dingin dengan udara yang berhembus, serta baru terpikir untuk mengganti pakaian.

Menikmati suasana sekitar, dengan menarik napas sedalam-dalamnya, karena udara segar yang sangat nikmat dihirup sampai batas maksimal. Atau mungkin dalam kondisi itulah, paru-paru kita bisa menangkap udara dengan baik, karena kualitas udara yang lebih bersih dan jauh dari polusi. Seperti sedang menghirup satu asap ajaib, sebagai hadiah alam untuk kita semua.

Bersamaan dengan itu beberapa anggota sudah menyiapkan konsumsi, sebagai pengganjal perut. Beberapa potongan roti  tawar dan susu kental manis sudah cukup, untuk mengisi perut yang seperti kehabisan tenaga, karena terlupakan saat rasa panik datang. Kemudian satu dua tenda lain didirikan, hingga beberapa peserta yang belum mendapat tempat ikut masuk untuk beristirahat, sebagian langsung tidur.

Saya juga ikut terlelap bersama peserta lain di dalam tenda, meski kelompok kami sedang memasak untuk santap malam. Mendengar tawaran dari mereka di sela-sela tidur ayam, hingga memilih melanjutkan tidur. Sempat terbangun di waktu subuh untuk buang air kecil, sementara satu teman saya tidur di tenda pertama, karena sejak masuk tidak keluar lagi, dipastikan langsung tepar. :D

Melewatkan malam dan hingga waktu berganti menjadi pagi. Suasana sudah mulai ramai dan melihat sendiri beberapa warga menjual bungkusan nasi uduk, orang-orang setempat yang mencari nafkah menjajakan dagangannya sampai atas. Sebuah cemilan yang menjadi sangat nikmat, di tengah rasa letih dan membutuhkan asupan makanan yang cukup.

Leader kami menemani anggota pertama untuk naik ke puncak di pagi hari, karena mereka akan kembali melalui jalur Gunung Puteri. Anggota pertama itu mereka yang berjalan cepat bersama teman saya, hingga sampai paling pertama di alun-alun kemarin harinya. Sementara sebagian besar dari kami akan mengikuti jadwal semula, turun melalui jalur Cibodas.

"Memang kamu belum tahu kalau jalannya seperti ini?" tanya salah satu peserta, seorang yang penah punya pengalaman unik, ketika dievakuasi saat mendaki gunung Ciremai. Menegaskan bahwa di Gunung Gede lebih enak, karena adanya sumber air yang mengalir.

"Tidak terbayang Om, saya kira jalurnya bagus seperti di Cibodas" jawab saya, masih tidak menyangka dengan keadaan yang baru dilewati. Sebuah pengalaman pertama memang akan mendatangkan kejutan, tentunya harus disongsong dengan baik saat menjalaninya.

Padahal dari cerita yang ada sewaktu pulang, banyak yang lebih suka jalur dari Gunung Putri, karena berupa tanah gembur. Berbeda dengan jalur Cibodas yang sudah campur jalan setapak berbatu, hingga membuat beban pijakan kaki lebih berat.

Menikmati suasana sekitar dengan santai, serta mulai ramainya pendaki yang berlalu-lalang di jalur pendakian. Jarak yang jauh dan agak luas tidak memengaruhi kenyamanan yang ada, hingga peserta pertama kembali dan mulai menikmati santap siang yang dimasak.

Hingga akhirnya kami semua bersiap menjelang tengah hari, bersamaan dengan mendekatnya kabut tebal yang menyelimuti sekitar. Kemudian cerita selanjutnya sudah ditulis lebih dulu di sini, drama-nya tidak kalah.

Efek samping dari teman saya yang sampai lebih cepat mulai terasa, sekaligus membuat saya sedikit kesal, tapi menarik kembali rasa kesal saya yang berlebihan itu, ketika mencoba hiking ke pos Air Panas di sini.
:D