Selasa, 17 April 2018

Lambat (Asal) Aman


Cerita ini masih ada hubungannya dengan pengalaman di sini.

Waktu itu saya menganggap seorang teman sebagai pengganggu, karena jalan lebih lama. Menunggu dan menemani teman yang kakinya sakit. Jadi mau tidak mau berjalan santai, hingga menyimpan rasa penasaran yang tinggi untuk kembali ke sana (Jalur Pendakian Gunung Gede), ingin melaju cepat sendirian sesuai dengan rencana awal. :)

Beberapa kali sudah mencoba untuk pergi, tapi beberapa kali pula gagal. Salah satunya dengan adanya aturan, bahwa pendaki dalam kelompok harus minimal berjumlah tiga orang. Karena jika hanya berdua atau sendiri tidak akan mendapat izin, mungkin kebijakan itu untuk menjaga safety dari pengunjungnya sendiri. 

Usaha terakhir untuk mendaki sendiri juga berujung dengan kegagalan, karena mengakali formulir dengan mengisi data tiga peserta dengan nama yang sama, saya semua. Xp

Balik diarahkan untuk bergabung di kelompok lain. Hingga sempat bincang-bincang dengan petugas di sana, bahwa mereka tidak ingin menanggung resiko, karena hanya menjalankan (SOP) syarat dan ketentuan yang berlaku. Jadi niat untuk jalan sendiri urung dilakukan.

"Dari pada nanti ada pengunjung kenapa-kenapa, bisa-bisa Pak Menteri nyalahin kita semua kaya waktu dulu" ucap petugas dengan santai, ketika itu beliau sambil menikmati makan siang di pos jaga.

Benar juga, apalah arti memenuhi ego pribadi, andai berpotensi merepotkan banyak orang nantinya, pikir saya menyetujui. Mulai bisa untuk menyerah dalam tanda kutip. Tapi sebuah rencana yang cukup membuat penasaran tidak akan hilang begitu saja.

Akhirnya saya mengubah rencana dengan sekadar uji kemampuan, tidak lagi berniat mendaki gunung, tapi hanya menyusuri sebagian jalur pendakian sampai batas tertentu (Jalur Cibodas), berhubungan dengan pengalaman lalu. Sebuah keadaan yang akhirnya memaksa saya, untuk harus menarik lagi ucapan terdahulu.

Menuju Cibodas pada waktu kemarin di tahun lalu, untuk sekadar jalan refreshing, hiking santai tapi cepat. Sekalian mengolah raga di tempat wisata alam tersebut. Ketika semua tempat terasa sama saja, idealnya ada beberapa tujuan yang siap disinggahi kembali.

"Mau ke Air panas? Bukan Air terjun? Wah lumayan jauh juga itu" ujar Juru Parkir yang menjaga tempat penitipan kendaraan.

"Betul Pak, maka dari itu saya sengaja naik dari pagi, jadi sebelum sore sudah kembali lagi" jawab saya. Melihat jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi, setelah meluncur dari Jakarta selang tiga jam berlalu.

Salah satu pertimbangan saya melakukan wisata belum berubah, saya tidak ingin repot mengunjungi sesuatu yang biasa2 saja. Niatan mendaki gunung memang sudah mereda, tapi sensasi udara pegunungan senantiasa melambai-lambai, hingga tetap menjadi salah satu tujuan favorit. :P

Jadi untuk rencana perjalanan hari itu, sengaja hanya sampai di Air Panas, atau lanjut sedikit ke Air Terjun Panca Weuleuh sebagai batas terjauh. Pertimbangannya sehabis itu sudah tidak ada objek wisata lagi, karena hanya ada ruang terbuka Kandang Badak untuk camping, serta Puncak Gunung Gede atau Pangrango sebagai titik akhir jalur.

Saya jalan normal dari bawah sampai pertigaan Air Terjun, hanya butuh waktu kurang dari satu jam. Stamina masih oke untuk segera menuntaskan langkah. Jalurnya kemudian sedikit lebih menanjak. Tidak memedulikan kemampuan fisik, karena deru napas yang semakin memburu membuat saya terpacu, untuk lebih cepat sampai.

Saya hanya mengejar waktu dan mengatur ritme langkah dan napas, hingga luput memerhatikan fisik pada bagian lain. Dalam benak ternyata memang bisa jalan lebih cepat, hingga asumsi menyalahkan teman (sewaktu dulu) sebagai pengganggu rasanya tidak salah. Pada saat asyik berjalan sendiri di rimbunnya atap pepohonan, mulai terasa satu denyut yang menjadi perhatian khusus.

Kebetulan suasana kala itu cukup sepi, karena hanya ada satu dua kelompok yang melintas. Memang sengaja saya mengambil waktu weekday, hingga bisa menikmati tempat yang lebih steril dan teduh, serta tenang ketimbang akhir pekan. :D

Ingatan tentang teman yang kakinya kesakitan mulai terbayang, saya alami sendiri untuk menjawab segala pertanyaan dan rasa penasaran. Waktu dulu teman saya itu jalan cepat sampai atas, tapi kesakitan ketika turun. Dari sana mulai terjawab masalah yang dialami teman saya, sakit yang dinamakan keram. Ritme langkah yang terlalu cepat tanpa diimbangi dengan gerakan fisik yang baik, tentu bisa jadi bermasalah.

Betis kaki mulai terasa nyut-nyutan ketika sedikit lagi sampai di Air Panas, dan secara sadar mulai melambatkan langkah. Memang hanya butuh waktu satu jam sesuai rencana, jadi cukup dua jam dari gerbang parkir, berjalan kaki sejauh enam kilometer lebih, dengan jalur yang lambat laun semakin menanjak.


Saya tetap refreshing dan melewatkan waktu singkat di sana, menikmati nasi bungkus yang dibeli dari bawah. Merasakan bahwa betis akhirnya benar-benar keram, mulai berhati-hati ketika turun kembali. Perjuangan untuk melawan rasa sakit kembali terbayang, bahwa pengalaman itu yang mungkin dirasakan teman saya dulu.


Mengetahui bahwa sewaktu dulu itu saya mengalami kemujuran, tentang stamina fisik naik dan turun yang prima. Salah satu alasannya karena saya jadi terpaksa lambat oleh keadaan, dengan teman sebagai sasaran "pengganggu". Jadi pada kala itu menarik kembali asumsi yang sudah terbangun, bahwa kecepatan seseorang itu memang berbeda dan ada batasnya.

Saya turun dengan lebih hati-hati, serta lebih lambat dari pada naiknya. Keram kaki tidak semakin reda, karena bertambah jadi kanan dan kiri, alias komplit jadi sepasang kaki. Mungkin rasa bangga yang tidak perlu mulai dihancurkan kala itu, seiring dengan pengalaman yang berjalan dalam realitas. :P

Menurut pendaki yang lebih berpengalaman, jalan santai mutlak diperlukan ketika naik gunung, hingga kita bisa lebih rileks, serta tidak membuang banyak tenaga. Hal itulah yang saya lakukan sewaktu dulu, karena terpaksa oleh karena keberadaan teman saya. Atau pilihan lainnya berjalan dengan teknik yang benar, yaitu melangkah dengan menggunakan dengkul dan paha sebagai tumpuan, bukan betis, agar terhindar dari cedera keram. 

Dengan susah payah, akhirnya saya sampai di pertigaan Air Terjun, serta membuka sepatu dan merasakan keram yang keluar setelah ditahan-tahan. Betis dan telapak kaki mengalami kesemutan berulang, berlomba-lomba di antara kaki kanan dan kiri, hingga akhirnya mereda dengan sendirinya, tapi tetap saja rasa sakitnya belum hilang.

"Jadi bagaimana Dek? Tadi sampai Air Panas?" tanya sang Juru Parkir.


"Sampai kok Pak ke Air Panas, tapi memang ada sedikit masalah tadi" jawab saya, sambil mengelus dengkul betis dan kaki yang masih agak tegang. Waktu menjadi agak panjang karena adanya tambahan pelajaran dari keadaan, hingga siap pulang dari sana dengan pandangan berbeda.

"Saya jadi nebak-nebak tadi kamu sampai apa tidak, soalnya sudah hampir sore begini belum kembali" jawabnya dengan tersenyum. Mengetahui tentang hambatan yang terjadi dan tidak memedulikannya, karena tamu yang menitipkan kendaraan sudah kembali dengan selamat.

Sebuah pertanyaan yang terjawab, sesuai tidaknya dengan keinginan sudah lain urusan.