"Ah sudah pernah ke sana, untuk apa lagi?"
"Menang pernah, tapi di sana menarik"
Kali ini ceritanya sesuai judul, akan mengangkat tentang Percobaan Kedua dalam tanda kutip. Kembali lagi contoh yang digunakan adalah perjalanan wisata, karena memang tema ini yang paling mudah, serta sering dilakukan oleh penulisnya sendiri. Tentunya tidak mutlak harus kegiatan liburan, karena tiap-tiap orang punya kegemaran masing-masing yang berbeda-beda.
Memang apaan tuh yang mau dibahas? Jawabannya adalah sebuah pengalaman yang ingin kita rasakan. Pastinya sebagian besar dari kita akan punya rencana-rencana, meski dapat berbeda satu sama lain. Khusus untuk tema perjalanan wisata ini, ada yang hanya ingin mendatangi negara atau kotanya saja, atau mampir di satu titik kawasan, entah ingin coba kedai makanan dan sejenisnya, atau hal-hal lainnya yang menarik. Hingga secara ideal selera setiap orang akan berlaku relatif dan berbeda-beda pula.
Jadi untuk kali ini diangkat dari pengalaman wisata yang baru dilakukan. Belum lama ini saya liburan (lagi) ke Dieng, tapi tidak terlalu ada tempat incaran seperti sebelumnya. Sekadar ingin mencari suasana lain dan melepas penat saja. Hingga mungkin rencana yang terlintas itu cukup ringan, hanya mendatangi tempat yang selama ini belum dikunjungi, karena memang tidak semuanya bisa didatangi pada waktu dulu. Kemudian mendatangi (lagi) tempat yang jadi favorit dari saya sendiri.
Salah satu tempat unggulannya adalah Bukit Sikunir, sebagai tempat untuk melihat matahari terbit, serta adanya penampakan Gunung Sindoro sebagai pemandangan utama. Wisata populer ini akhirnya jadi satu tujuan saya, bukan lagi sekadar selingan karena adanya tujuan lain yang lebih diutamakan. Tambahan lagi ada sedikit perubahan dalam gaya berwisata, ingin santai saja dan tidak lagi berburu tempat baru untuk didatangi.
Harapan yang muncul adalah tentang mendapat pemandangan yang cantik, sesuai dengan julukan tempatnya sebagai negeri di atas awan. Sebelum keberangkatan beberapa kali memeriksa media sosial, tentang tempat tersebut serta bagaimana pemandangan yang didapat turis yang eksis tersebut. Rata-rata memang biasa saja, hanya satu dua foto yang cukup sesuai dengan khayalan saya ke sana.
Hingga akhirnya keraguan dan enggan perlu disingkirkan, lagipula situasi yang saya inginkan itu memang dinamis. Alam tidak bisa ditebak secara pasti, karena hanya bisa diperkirakan saja gerakannya. Jadi tidak ada jaminan kita akan mendapatkan pemandangan yang diinginkan dalam bayangan.
"Tergantung alamnya saja bagaimana" ujar salah seorang di sana sewaktu dulu.
Sampai di sana pada sore hari dan besok subuhnya bersiap untuk berangkat. Dari Dieng menuju ke bukit Sikunir berjarak beberapa kilometer. Dalam keheningan subuh melaju dengan motor sewaan, serta dengan kondisi tubuh menahan dingin. Bibir dan gigi yang gemetar kedinginan disuarakan agar lebih seru, terdengar erangan "Grgrgrgrgr" berulang kali. :P
Nyatanya sampai atas pemandangannya "bersih" tanpa awan. Alias hanya terlihat gunungnya saja. Bukan komposisi ideal dalam bayangan saya sendiri. Tujuan utama saya ke sana bukan melihat gunung atau matahari terbit, tapi menyaksikan lautan awan di bawah gunung. Pagi itu posisi awan sudah lebih tinggi di atas, jadi di depan mata bisa melihat daratan di bawah dengan jelas tanpa polusi.
"Hari ini di atas kosong tidak ada awan? Kalau kemarin tertutup awan semua di bawah" ujar penjaga gerbang desa, mendapat tugas untuk menarik tiket dari pengunjung saat hari sudah terang.
Kemarin itu saya berniat untuk mendatangi Curug Sikarim, tapi karena jalannya menurun tajam mengurungkan niat ke sana jalan sendiri. Berjaga-jaga tentu lebih baik, karena tidak tahu kondisi jalannya bagaimana. Berganti dengan pilihan menggunakan jasa ojek saja, tidak masalah keluar biaya sedikit demi keamanan.
Pagi itu sengaja berlama-lama di parkiran wisata Sikunir, siapa yang tahu ada tukang ojek yang mangkal. Hingga menanyakan perihal tersebut pada penjaga parkir, bahkan sampai dibantu untuk dicarikan, tapi tidak ada ojek yang datang. Hingga akhirnya bergegas jalan dari sana, serta mencari lagi melalui penjaga karcis di gerbang desa, hingga dibantu (lagi) untuk dicarikan jasa ojek yang mengantar.
"Sebetulnya bisa di cek di dekat gerbang desa tadi. Andai di bawah sini ada awan, di Sikunir juga ada, biasanya begitu" ujar tukang Ojek, menunjuk kondisi sekitar jalan yang cerah. Memberitahu cara termudah untuk memperkirakan kondisi cuaca di tempat wisata.
Sebuah informasi yang sangat berguna, artinya dengan adanya perkiraan pastinya kita bisa menebak apakah akan mendapat pemandangan yang sesuai atau tidak. Tambahan lagi kondisi alam itu tidak dapat ditebak dengan pasti, hingga tinggal berharap saja mendapat cuaca baik. Masalahnya pula waktu kita terbatas di sana, rata-rata para turis hanya menginap satu atau dua malam saja, hanya di kesempatan kunjungan sekali itu saja dengan hasil apa adanya dari wisata alam tersebut.
"Ah tidak jaminan juga Pak, dulu pernah saya lihat ke lembah ini awannya ada di bawah. Tapi di Sikunirnya malah tertutup awan, tidak kelihatan apa-apa" balas saya kemudian, hingga ditanggapi memang tidak ada yang bisa memastikan kondisi alam bagaimana.
Pada awalnya ada rasa malas menghinggapi, karena memang belum pernah saya mendatangi tempat dengan mengulang di kesempatan yang sama. Misalnya ada berlibur ke satu kawasan dalam satu periode beberapa hari, tidak pernah saya datang ke tempat ini, kemudian esok atau lusanya kembali lagi ke tempat ini (lagi). Andai kembali ke sana, pasti dilakukan pada periode tanggal berbeda di liburan lain.
Tapi mengingat rasa mujur itu tidak saya dapat di hari kemarin, terlebih mengetahui cuaca dua hari lalu yang justru sesuai dengan keinginan, timbul harapan bahwa pada subuh itu mungkin keberuntungan itu bisa didapat. Pada awalnya berniat keluar agak telat, saat hari sudah mulai terang, tidak seperti kemarin harinya jam 4 subuh sudah keluar. Nyatanya pagi itu tetap keluar saat gelap, tapi saat sudah mendekati pukul 5 pagi.
Ketika saya mengecek lembah dari dekat gerbang desa, terlihat awan putih di kegelapan subuh di bawah sana. Rasa antusias muncul seketika, langsung bergerak dengan semangat ke arah tempat wisata. Langsung naik dan cakrawala langit mulai sedikit menampakkan terang. Mungkin saja rasa mujur alias keberuntungan itu saya dapatkan hari itu. Andai tidak dapat lautan awan yah tidak masalah pula, hitung-hitung olahraga jalan pagi saja.
Tempat wisata Bukit Sikunir ini sebetulnya cukup mudah, karena kita hanya mendaki kurang dari setengah jam saja. Kondisi sekarang sudah lebih baik berbentuk tangga batu, berbeda dengan dulu yang masih jalur tanah berbatuan dan menanjak. Ada tempat pertama untuk melihat pemandangan, serta ada tempat lainnya di puncak bukit berjarak beberapa ratus meter saja menanjak (lagi).
Pada saat sampai di puncak pertama, pemandangan yang terlihat mengundang decak kagum, sesuai dengan harapan melihat gumpalan awan di bawah garis mata kita. Keadaan di sana cukup ramai, tapi tidak terlalu penuh seperti kemarin harinya.
Langsung bergegas menuju puncak agar pemandangan lebih jelas, tidak ada lagi pepohonan yang menghalangi pandangan. Satu kondisi alam yang langsung memuaskan dahaga indera penglihatan, karena disaksikan mata sendiri, bukan lagi sekadar foto-foto di internet. Mengalami langsung, bukan sekadar menonton saja. B)
Pastinya saya langsung mengabadikan momentum tersebut, serta mengambil foto gambar diri, beberapa kali di titik berbeda meminta bantuan pengunjung lain. Pemandangan cantik di lokasi itu baru saya dapatkan pagi itu, kemarin harinya hanya gunung saja tanpa ada hiasan awan.
"Gara-gara kemarin hujan mungkin, jadi embun pada naik deh jadi awan tebal" ujar pengunjung lain. Ketika berbincang sejenak dengan saya, serta cukup kaget saat tahu saya dua hari berturut-turut datang ke sana.
Kemudian saya berlama-lama di sana, pada pukul 7 pagi lautan awan yang terlihat mulai pecah, karena terkena terpaan sinar matahari atau tertiup angin. Jadinya semakin terik dengan matahari yang semakin tinggi. Hingga untuk sesaat awan kembali berkumpul dan menggumpal di bawah gunung. Pemandangan cantik kembali terlihat, tapi dengan komposisi awan yang sudah acak. Kembali dari sana selepas pukul 8 pagi, serta mulai merekam beberapa titik lain di sana untuk dokumentasi.
Akhirnya saya tahu juga bahwa kondisi lautan awan itu berubah-ubah, tergantung cuaca yang sangat dipengaruhi pergerakan angin. Andai pada jam tertentu kita melihat pemandangan awan yang bagus, bisa saja posisinya berubah satu jam kemudian, bahkan dalam hitungan menit yang lebih cepat. Serupa dengan lokasi kita di mana saja, ketika melihat awan yang selalu berubah di atas kepala kita.
Praktis pada liburan kali ini, serta baru pada percobaan kedua (mengulang), saya baru mendapatkan pemandangan cantik yang sesuai selera. Ceritanya mungkin berbeda jika pada hari ketiga saya tidak bergegas "nambah" jatah wisata Sikunir, entah dengan berbagai alasan yang menyertai. Mencoba lagi di tengah kesempatan terbatas, artinya kita perlu memaksimalkan waktu yang tersedia, setuju?
Bahkan kemarin ini menjadi yang paling memuaskan, di antara beberapa periode kunjungan ke sana. Hanya bisa diimbangi pada di kunjungan pertama (2011), bedanya awan putih yang berada di bawah gunung kala itu tipis, sekilas lebih masuk kategori kabut ketimbang awan. Contohnya foto eksis di bawah ini, plus masih sepi pula tempat wisatanya, hanya ada satu dan dua turis lain di pagi hari kala itu.
Sementara kesempatan selanjutnya tidak terlalu memuaskan di tempat itu. Tahun (2013) pemandangannya "bersih" hanya gunung saja, meski bagi orang sana artinya cuaca sedang bagus, karena tidak tertutup kabut. Tapi kalau hanya melihat gunung saja kurang memuaskan, contoh foto eksisnya ada di bawah ini.
Kemudian pada tahun (2021) justru berkabut, tidak terlihat apa-apa, karena memang bukan tujuan utama saya ke sana kala itu. Naiknya juga selepas siang dan tidak ada siapa-siapa di sana. Menepi dalam teduh dalam hawa yang sejuk, serta kabut yang menutupi kawasan tersebut. Bahkan pada lembah dekat gerbang desa Sembungan yang tadi disebutkan, lautan awan justru terlihat di sana.
Jika bicara tentang percobaan kedua tersebut, itu juga berkaitan dengan kesempatan, serta situasi dan kondisi kita sendiri. Secara kebetulan andai berwisata ke Dieng sana, saya selalu mengambil waktu menginap dua malam agar lebih memuaskan. Pada kunjungan pertama di tahun (2011), karena sudah mendapat pemandangan cantik di hari pertama, maka hari kedua saya tidak perlu lagi untuk mengulangi datang ke tempat wisata tersebut.
Contoh berikutnya di kunjungan kedua (2013), kala itu memang tidak ada waktunya. Dua hari berturut-turut ada agenda wisata, pagi pertama adalah mendaki Gunung Prau, sementara di pagi kedua baru mampir (lagi) di Bukit Sikunir tersebut. Pemandangan yang tersaji sebetulnya kurang memuaskan hanya gunung saja, tapi tidak bisa diulang, karena setelah dari sana langsung kembali.
Cerita di kunjungan ketiga tahun (2021) lebih unik lagi. Saya iseng2 datang ke Sikunir itu di siang hari selepas hujan rintik, karena pada pagi harinya agenda wisatanya itu mendaki Gunung Bismo. Naik pada kondisi yang sudah sepi dan tidak ada siapa-siapa sepanjang jalur. Meski masih menginap satu malam (lagi) dan bisa dilakukan pada esok paginya, tapi masih ada rasa enggan, alias tidak terlalu berburu "lautan awan" tersebut.
Periode kunjungan ketiga ini gagal mendapat pemandangan, dengan penampakan Gunung Sindoro yang khas dari wisata Dieng. Tapi pada saat sampai kemarin harinya, pemandangan serupa sudah saya dapatkan lebih dulu, ada di tempat lain agak bawah. Kala itu berwisata kilat menuju Bukit Cinta, atau posisinya berada di perbukitan Seroja, dari sana pemandangan gunung berpadu dengan danau telaga yang terlihat di bawahnya.
Jadi tentang wisata pemandangan lautan awan ini berlaku relatif, tidak semua wisatawan punya tujuan serupa. Paling tidak bagi saya sendiri ada sebuah suasana baru dan lain, untuk sebuah kesegaran yang jarang terjadi. Awan yang biasanya ada di langit dan di atas kepala kita, ternyata bisa saja "turun" dan berada di bawah pandangan garis mata kita. Tentunya jika ingin begitu, posisi kita harus berdiri di tempat yang tinggi.
Untuk sesaat saya jadi menyadari bahwa tipikal awan ini layaknya emosi kita. Agak berbeda dengan tipikal gunung yang sifatnya diam. Awan selalu bergerak dipengaruhi pergerakan angin, itulah bentuk emosi yang sesungguhnya juga dinamis berubah-ubah sesuai keadaan. Sementara gunung itu akan tetap pada tempatnya, itulah bentuk pendirian (sikap kita) yang menaungi bagaimana emosi bekerja. Ternyata ada sebuah kalimat cocoklogi di sini bisa dikembangkan. :))
Jika mengambil contoh wisata di atas, memang tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap kehidupan masing-masing kita. Tapi tetap berlaku pada rentetan peristiwanya, ketika kita akan selalu "mengulang" hari dan pengalaman yang sama, oleh karena sudah memilih sebuah tempat untuk kita tinggal. Untuk contoh kawasan Dieng sendiri, berlaku pada orang-orang sana yang sudah tinggal menetap sebagai warga.
Artinya secara momentum, kita tidak lagi menjadi turis yang hanya tinggal sementara beberapa hari. Tapi kita menjadi warga di sebuah tempat, serta akan menetap lama di sana. Pada saat itulah sebuah pemandangan (tetap) akan menjadi rutinitas kita sehari-hari. Sejajar dengan kita yang akan selalu pulang ke rumah masing-masing. Di sana menjadi tempat menetap kita dalam arti sebenarnya, serta betah tinggal di sana, setuju?
Lautan awan yang dipuitiskan sebagai lautan emosi, tentu tidak lebih penting ketimbang gunung, satu dataran yang kuat menancap dan dipuitiskan sebagai pendirian sikap. Memang bisa saja melakukan percobaan tanpa batas, bahkan hingga menguras (lautan awan) emosi kita. Tapi pada akhirnya kembali pada keadaan kita, apakah sudah sekuat (gunung) sikap pendirian yang diambil. B)
"Kemarin dan esoknya juga? Tidak bosan?"
"Mungkin karena suka, jadi tidak kenal bosan"
Xp