Burung Besi? Apaan tuh?
Lihat saja di bawah.
:D
Untuk cerita kali ini, tema yang agak mirip sudah banyak dituliskan sebelumnya. Bermula dari ini, kemudian ini, hingga ini. Semuanya itu berbicara mengenai keseruan memburu tiket promo, alias mendapatkan harga yang murah. Bahkan yang saya ingat pernah dapat harga tiket di bawah 100rb, untuk pergi dan pulang di beberapa rute. Meski bagi sebagian orang lain ada kekhawatiran, bahwa harga murah berarti tidak aman, tentunya pernyataan itu tidak sepenuhnya benar.
Strategi yang demikian (promo kursi gratis) masih cukup jitu kala itu, karena seluruh maskapai penerbangan bebas bersaing. Agak berbeda dengan situasi sekarang ini, ketika banyak pihak menduga, ada dugaan praktek duopoli (dalam negeri) pihak maskapai. Salah satunya dengan penerapan aturan harga batas atas dan bawah, konon untuk "menjaga" praktek kartel di bisnis penerbangan tersebut. Jadinya karena terbentur aturan itu, maskapai tidak bisa memanfaatkan celah strategi promo, dengan menyediakan beberapa kursi berharga murah sebagai sarana promosi.
Tapi tentunya kita tidak akan membahas carut marut di bisnis penerbangan tersebut. Sebaliknya kita angkat sisi menariknya, meski (kembali lagi) yang diangkat adalah kenangan dari keseruan pengalaman saya sendiri. Hingga secara ideal setiap kita akan punya pengalaman sejenis, terutama bagi mereka yang pernah merasakan naik pesawat, sebagai alat transportasi jalur udara.
Pada satu kesempatan saya juga ikut lomba mendongeng (menulis), diadakan oleh salah satu maskapai, secara kebetulan jadi andalan saya selama ini berwisata di berbagai periode. Menjadi kesempatan resmi untuk "mendukung" mereka, dengan iming-iming hadiah terbang ke atap dunia di negara Nepal sana, ceritanya ada di sini.
Jadi cerita bermula dari sini, ketika pertama kalinya saya merasakan transportasi jenis ini. Menggunakan pesawat dari maskapai andalan dalam negeri Garuda Indonesia, menuju pulau Dewata bersama keluarga. Di tengah perjalanan mendapat jatah makan sekali, cukup nikmat juga selama perjalanan satu jam dan tiga puluh menit di sana.
Berhubung kala itu saya masih gaptek (gagap teknologi) dokumentasi, maka tidak banyak kenang-kenangan yang dibuat di perjalanan itu. Hanya ada sekali-kali eksis di tempat tujuan, dengan latar belakang wisata unggulan.
Sejak itu juga mulai dikenal kelas penerbangan murah, atau punya julukan low cost carrier (LCC) untuk menyediakan layanan yang dibutuhkan saja. Contoh untuk Air Asia itu para penumpang tidak mendapat makanan, serta awalnya tidak mendapat jatah bagasi, karena hanya boleh bawa barang ke kabin saja. Penyesuaian ini membuat tarif dapat dipangkas, termasuk lembar tiket yang bisa dicetak sendiri. Perlu makanan dan bagasi? Bisa pesan terpisah.
Kemudian cerita berlanjut pada perjalanan pribadi, pertama kalinya itu bareng teman, tapi seterusnya melakukan solo trip ke beberapa tujuan. Salah satunya ada dokumentasi di bawah ini, ketika menuju ke Bali bersama teman, sempat pula mengabadikan daratan yang dilewati, gunung Raung yang kala itu terlihat jelas dari jendela pesawat.
Jika berpergian dengan pesawat terbang, serta punya kesempatan untuk duduk di sisi jendela, pastinya tangan gatal untuk tidak mengambil foto. Terlebih jika pemandangannya cantik, gumpalan atau pasukan awan yang menghiasi langit di sana. Sebagai cara yang paling mudah untuk kita berada pada posisi di atas awan. :P
Ada juga cerita bahwa perjalanan pesawat itu mirip kendaraan di darat. Alat transportasi roda karet kadang melewati jalan bergelombang, hingga ada bunyi atau gajlukan tipis. Hal yang sama juga berlaku untuk kendaraan burung besi ini, andai menembus awan maka di dalam pesawat akan terasa getaran tipis. Akan ada sedikit bunyi, oleh karena menabrak "fisik" awan ini, meski akan mudah ditembus dalam hitungan detik saja. Sebaliknya jika awan dan angin yang dilewati itu termasuk "kelas berat", maka dikenal istilah turbulensi.
Perjalanan menggunakan pesawat terbang idealnya dilakukan PP, alias pergi dan pulang dari lokasi yang sama, itu jika ingin praktis dan tujuan hanya di satu titik. Tapi jika tujuannya banyak, bisa jadi kita akan pergi dan pulang dari titik yang berbeda. Bahkan bisa saja penerbangan kita itu transit di satu tempat, jika demikian kita akan mendarat dulu sebelum terbang kembali, tapi data kita sebagai penumpang cukup satu kali laporan (check-in) saja.
Untuk pengalaman ini terjadi pada trip mancanegara perdana saya, berangkat dari Jakarta ke Penang, hingga di titik itulah saya menginjakan kaki perdana di luar negeri. Penerbangan berikutnya berlanjut saat di Phuket untuk menuju Kuala Lumpur, sebelum lanjut berwisata di sana. Hingga akhirnya pulang kembali ke Jakarta dari bandara Kuala Lumpur sana.
Cerita selanjutnya ada pengalaman saya menaiki penerbangan transit. Kala itu mengikuti wisata rohani ke Israel bersama kelompok perjalanan. Berangkat dari Jakarta menuju Kuala Lumpur, transit di sana selama delapan jam. Cukup lama juga menghabiskan waktu di sana, dari jelang siang hingga selepas petang.
Kemudian baru lanjut terbang pada malamnya ke Mesir dengan pesawat berbeda, untuk transit (lagi) di Bangkok, tapi tetap akan melanjutkan perjalanan dengan pesawat yang sama. Turun hanya untuk melapor ulang ke otoritas bandara sana, karena barang bawaan ditinggal di bagasi kabin pesawat. Hingga kepulangan ke Jakarta, dengan transit di bandara Abu Dhabi, setelah bertolak dari kota Amman.
Cerita yang cukup seru selanjutnya ada di trip berikutnya, dalam edisi Bangkok Krabi dan Langkawi, kebetulan catatan perjalanannya memang belum dituliskan (dua-duanya). Kala itu saya berangkat dari Jakarta ke Kuala Lumpur di jam pagi, berwisata kilat di kota seharian, sebelum kembali ke bandara untuk penerbangan berikutnya ke Bangkok menjelang tengah malam.
Pada trip yang sama dari Bangkok ada terbang ke Krabi selang dua hari, berwisata di sana untuk bermalam di pulau Phi Phi. Ada selingan transportasi laut di sini, ketika menyeberang pergi dan pulang ke pulau. Hingga selesai dari sana lanjut perjalanan darat ke kawasan Satun, bermalam di sana, untuk esoknya menyeberang (lagi) ke pulau Langkawi dan berwisata di sana.
Penerbangan berikutnya berada di pulau Langkawi ini, untuk kembali ke Kuala Lumpur di jam tengah malam, sebelum esok paginya dari sana kembali ke Jakarta. Menjadi satu perjalanan dengan penerbangan terbanyak, karena ada lima jadwal penerbangan dijalankan. :P
Setelah itu saya sudah merasa cukup puas, tidak lagi mengejar obsesi untuk berwisata. Andai sudah kenyang untuk apa ditambah lagi? Betul tidak? Kemudian baru ada wisata (lagi) kala memang dibutuhkan, untuk refreshing sejenak dalam rangka liburan.
Kenapa saya tiba-tiba ada ide untuk menulis tema ini? Karena saya menjumpai satu konten di media sosial. Konon ada penumpang awam yang menolak terbang, oleh karena mendengar gerakan suara mesin pesawat, atau karena melihat asap keluar dari sana. Meski pramugari sudah menjelaskan bahwa hal itu normal, tapi ada sebagian penumpang yang tetap eksis merekam kejadian tersebut, lengkapnya itu di bawah ini.
Jadinya karena keunikan dari protes para penumpang tersebut, saya justru malah mengingat kenangan saat berpergian dengan pesawat ini. Semoga saja persaingan usaha dari maskapai ini dibuka kembali, hingga kita bisa "rebutan" tiket murah seperti yang diceritakan di atas. :D
Maskapai yang saya angkat di atas, identitas yang saya manfaatkan untuk terbang, tentu punya slogan tersendiri. Awalnya punya semboyan Now Everyone Can Fly, berubah menjadi For Everyone sebagai pengembangan layanan bisnisnya sendiri. Disertai pula dengan perubahan logo menjadi kekinian, pada intinya siapa saja (asal bayar) bisa terbang ke mana saja. :P
Untuk bergerak ke daerah lain, terlebih yang berbeda pulau, sudah pasti menggunakan pesawat akan lebih cepat. Kecepatan mesin Jet sudah tidak perlu diragukan lagi, sebagai alat transportasi massal untuk khayalak ramai. Meski ada pula jenis mesin pesawat lainnya yang menggunakan baling-baling, tapi berukuran lebih kecil dan pastinya kapasitas terbatas.
Mesin Jet cara kerjanya bisa mengangkat badan pesawat, hingga istilah burung besi dilekatkan pada kendaraan yang bisa terbang ini. Andai posisi sayap dibalik ke bawah, maka mesin jet itu akan menancap ke daratan, itu berlaku pada kendaraan Jet Darat, identik dengan mobil balap F1, cara kerjanya sayap jet yang dibalik ke darat.
Untuk pesawat sendiri baru ditemukan di abad 20 lalu, alias sudah di tahun 1900 ke atas. Jadi berbahagilah kita yang hidup di zaman itu sampai sekarang. Karena bisa bergerak dengan cepat dari satu ke lokasi lain, sebagai penemuan teknologi untuk kemajuan kita semua.
Burung besi itu pesawat
Mirip helikopter yang seperti Balon Besi.
Setuju?
Seperti maskapai Air Asia yang bisa memancing impian saya sendiri, bagaimana dengan yang lain? Atau dari sejarah penemuan pesawat terbang, impian itu dipancing oleh penemunya Wright bersaudara. Bagaimana dengan kita? Jawabannya bebas dan bermacam-macam.
Pastinya kita akan (atau sudah) menemukan satu titik (atau sosok), sebagai penyulut impian untuk naik ke permukaan. :))