Untuk cerita kali ini sesuai judulnya saja, kita akan mengupas tentang kalimat Gagal Satu Dapat Dua, apa tuh? Jawabannya tentang sebuah keunikan, pastinya masing-masing di antara kita sering mengalami, hanya berbeda di kasusnya saja. Kenapa bisa demikian? Karena rancangan kita memang terlihat baik, tapi ada rancangan lain yang jauh lebih baik, begitu sederhananya.
Andai ada pembahasan, sudah dipastikan akan menggunakan berbagai contoh, agar lebih mudah ditangkap. Seperti biasa saya akan menggunakan gambaran yang sesuai dengan minat, salah satunya tentang berwisata. Jadi bukan dalam bentuk catatan perjalanan harafiah ke tujuan tertentu, tapi dalam bentuk hikmat saja, sepotong cerita yang mengubah semua keadaan. :))
Salah satu cerita yang unik dan teringat adalah ketika bersama teman, tergabung dalam satu kelompok diskusi. Kala itu saya masih ogah kumpul-kumpul, entah apa alasannya, mungkin saja ada alasan yang hanya diketahui sebagian pihak. Tapi pada akhirnya bukan soal kemiripan dari minat kita, tapi seberapa besar niat dari kitanya sendiri.
"Mending makan bareng aja. Jadi gak ribet bisa langsung ke TKP abis bubaran" usul saya. Mencetuskan ide untuk berkumpul dengan kegiatan yang paling sederhana. Di balik rencana yang dilemparkan tentu akan ada rencana lain yang mengikuti.
"Justru kalau makan bareng belum tentu ikut" tambah saya dengan nada bercanda, ketika balik ditanya tentang peluang ikutannya sendiri. Melemparkan sebuah rencana untuk yang lain, tapi kitanya sendiri masih enggan untuk ambil bagian, sebagai cara jitu untuk kabur dalam tanda kutip. :P
"Gimana kalau main bowling?" celetuk salah satu teman. Salah satu yang tidak banyak berbicara, tapi melemparkan ide yang sangat tidak biasa.
Sebuah usul yang cukup bagus, karena untuk sejenak langsung menahan niat untuk tidak ikutan. Sekaligus mulai timbul keinginan buat ikut serta, berikut dengan segala pilihan untuk menuju ke lokasi. Sesuatu yang baru memang akan membangkitkan minat, untuk sebuah pengalaman yang sayang untuk dilewatkan.
Pada akhirnya ketika kembali dari sana, kami tetap ada acara makan bareng. Sekalian saja lebih tepatnya, setelah melakukan kegiatan berupa permainan dalam gerakan tertentu. Menjadi satu rangkaian yang menggambarkan judul, gagal satu dapat dua. Maksudnya itu rencana makan bareng saja dari saya, ternyata terlalu biasa dan tidak diterima kala itu. Penggantinya mendapatkan lebih menjadi dua, bermain bowling dan tetap ada makan bareng setelahnya.
Kemudian ada cerita lain selanjutnya, berkaitan dengan minat saya sendiri yang belum kesampaian. Salah satunya agak telat mengetahui, bahwa fasilitas kereta dalam kota ternyata sudah cukup baik, salah satunya jenis KRL yang banyak melintang di jalanan ibu kota. Jadi ketika alat trasportasi roda besi tersebut akan lewat, maka jalan akan ditutup, kendaraan beroda karet harus menunggu kereta lewat.
Dari beberapa rasa penasaran, ada satu jalur yang agak telat saya jelajahi, di mana tuh? Jawabannya ada di jalur kereta layang, membentang dari Kota sampai Cikini dan Manggarai. Hingga akhirnya rasa penasaran itu terjawab ketika saya berwisata kilat di sana, naik dari stasiun Mangga Besar menuju ke stasiun Jakarta Kota bolak-balik. Kemudian di lain waktu berkesempatan mengulanginya, tentu dengan sedikit perbedaan, karena tidak lagi sendiri.
"Gimana kalau naik kereta? Ke Kota Tua aja keluar sebentar" ujar saya, ketika punya ide yang tidak biasa. Sehabis makan bareng perlu ada gerakan fisik agar makanan tercerna dengan baik. Satu usul yang langsung disetujui teman saya, sekadar keluar malam untuk berjalan-jalan saja, naiknya juga masih sama dari stasiun Mangga Besar.
"Eh kapan-kapan boleh tuh ke Bogor, seru juga tuh" ujar teman saya, saat mengetahui bahwa jalur kereta yang dinaiki mengarah sampai ke sana. Pada malam itu konon menjadi pengalaman pertama pula bagi yang bersangkutan, menaiki kereta jenis KRL tersebut.
Satu usul yang memang masuk dalam rencana, karena mulai ada rasa penasaran ke sana. Sebelumnya beberapa kali sempat lewat stasiun tersebut di luar kota sana. Bahkan beberapa kali jalan bareng teman ke Puncak atau Bogor, mereka saya turunkan di stasiun, karena akan balik ke Jakarta melalui kereta. Tapi kala itu tidak terpikirkan dalam benak untuk menjajal alat transportasi tersebut.
Rencana yang sudah terpikirkan tapi masih urung dilakukan, mungkin saja karena belum waktunya. Hingga akhirnya teman kelompok diskusi ada rencana untuk jalan keluar, memanfaatkan hari libur untuk berwisata sejenak secara kilat. Kota Bogor menjadi pilihan karena tidak jauh dan banyak pilihan wisata tersedia di sana.
Salah satunya usul untuk menaiki KRL menuju sana, sebuah rencana yang mendatangkan antusias tinggi bagi saya. Akhirnya ada momentum yang bisa dimanfaatkan, agar rencana naik KRL ke Bogor bisa dilakukan. Bukan sesuatu yang mewah atau mahal, tapi sederhana dan biasa saja, khususnya bagi mereka yang bolak balik bekerja setiap harinya.
Setelah melewati berbagai diskusi, serta siapa saja yang akan ikut, diputuskan menggunakan kendaraan pribadi saja untuk ke sana. Alias rencana utama bagi saya sendiri gagal, terpaksa ditunda lagi dan memang tidak terlalu mendesak. Kegiatan jalan bareng bersama teman posisinya lebih penting, mendahulukan kepentingan bersama ketimbang mengikuti ego pribadi, sesuatu yang sangat lumrah bukan? :P
"Ini mau ke mana sih? Jauh banget jalannya. Gak salah nih?" tanya saya kepada salah satu teman, ketika kami berjalan kaki di jalan Surya Kencana yang terkenal dengan pusat kulinernya. Masih agak buta kawasan, serta tidak tahu titik-titik mana saja yang jadi favorit pengunjung.
Akhirnya teman yang saya tanya itu menjelaskan, tentang lokasi yang dituju dan banyak beragam kuliner yang tersedia. Hingga pada siang itu "baru" tahu, bahwa memang ada titik lokasi yang jadi pusat keramaian, namanya persimpangan Gang Aut dengan beberapa sajian kuliner. Awalnya saya mengira kulinernya hanya Soto Mie dan Tongseng saja, ternyata ada banyak dan sesuai juga dengan selera lidah. :P
Cerita pertama sudah genap di sini, gagal di rencana menjajal kereta ke lokasi, sudah diganti dengan pengalaman baru menjelajahi titik favorit turis di sana. Satu lokasi yang sebetulnya bisa saja saya datangi sewaktu dulu, tapi memang belum ada minat yang singgah, sebelum niat itu naik ke permukaan atas "bantuan" orang-orang di sekitar kita.
Ada ginian juga di Kebun Raya? Kenapa gue baru tahu sekarang, pikir saya sendiri. Ketika berjalan di dalamnya ke arah utara dari pintu masuk utama. Menunjuk satu danau yang bernama Danau Gunting di dalam kebun.
Kala itu bukan pertama kalinya saya ke Kebun Raya, karena sudah beberapa kali singgah. Tapi tujuan kita memang bisa berbeda satu sama lain. Kalau dulu saya selalu mengincar titik padang rumput terbuka, serta jembatan gantung yang khas berwarna merah, menyeberangi aliran sungai Ciliwung yang membelah kebun.
Lah, istananya itu ini? Gue kira posisi istana itu ada di belakang padang rumput yang dulu, pikir saya berlanjut dengan setengah heran. Pada akhirnya sebuah fakta realitas di depan mata itu lebih penting, ketimbang asumsi yang terbangun selama ini.
Gagal satu dapat dua, sesuai judul berlaku pada pengalaman ini dalam satu momentum. Setelah mendapat ganti satu berupa pengetahuan tentang wisata kuliner. Ternyata ada satu tambahan lain menjadi dua, berupa titik lain yang saya baru ketahui di dalam lokasi wisata, salah keduanya adanya danau, serta istana sebagai salah satu titik penting di dalam kawasan.
Bahkan cerita ini bisa saja dikembangkan lebih lanjut dalam sebuah filosofis, berkaitan dengan minat saya sebelumnya itu. Selain jembatan sebagai penghubung antara titik sini dan sana, saya juga masih doyan ke air terjun, dengan suara gemercik yang khas dan mendamaikan. Antara Jembatan dan Air Terjun (Sungai) sifatnya hanya sebagai penghubung, sebagai satu titik untuk kita menyebarkan sesuatu, sementara ujungnya? Nah ini yang agak terlewatkan di sini.
Danau dan Istana ini justru punya sifat yang berbeda, bukan lagi sebagai penghubung tapi lebih tepat sebagai tujuan akhir dalam tanda kutip. Istana itu idealnya tempat yang tenang bagi seseorang, hingga julukan rumahku istanaku dikenal. Danau adalah wadah tertampungnya aliran sungai dalam ukuran tertentu, jadi tidak hanya numpang lewat sekilas saja. Sebuah perubahan filosofis yang cukup bertolak belakang.
Jadi bagaimana selanjutnya? Tentang yang gagal satu itu? Kegagalan rencana pertama tentang naik KRL ke Bogor, ternyata itu hanya tertunda selama seminggu saja. Karena di minggu berikutnya langsung dilakukan, melancong kilat sampai di sana dan langsung kembali tidak lama kemudian.
Dari rencana yang terlintas sebetulnya tidak ada yang gagal, karena hanya tertunda, tambahan lagi adanya bonus "lain" yang tidak masuk rencana, tapi punya kepentingan yang jauh lebih tinggi. Kegagalan adalah rencana yang tertunda, sebuah pepatah yang sangat baik menggambarkan keadaan tersebut. :P
Gagal Satu dapat Dua
(kalau dibalik)
Gagal Dua dapat Satu
:D
Khusus untuk cerita ini, seketika saya jadi mengingat dongeng serupa yang punya alur serupa. Hanya berbeda di objek wisatanya saja, yang satu ke Puncak di sini, serta yang lain itu ke Bandung di sini. Jika dibandingkan pasti akan terasa di alur mana yang serupa, karena keduanya searah, kemudian tulisan ini justru berbalik arah dengan antiklimaksnya. :P
Pada akhirnya sesungguhnya tidak ada yang gagal, karena semua itu untuk kebaikan kita sendiri. Kalau saja ada yang benar-benar gagal, mungkin saja itu tidak terlalu baik untuk kita, tapi pada akhirnya tetap akan berhasil dengan cara lain, setuju? :D