Minggu, 30 Desember 2018

Naik-Naik ke (Puncak) Gunung



"Naik-Naik ke (Puncak) Gunung.... Tinggi-Tinggi sekali...."

Masih ingat tidak sepenggal lirik lagu di atas? Pastinya sebagian besar dari kita tahu, apalagi jika pernah melewati masa kecil pada zaman yang pas. :D

Setiap daerah pasti memiliki ciri khas masing-masing. Salah satunya daerah pegunungan dengan gundukan tanah yang lebih tinggi. Iman bisa memindahkan gunung? Sepertinya itu bukan sekadar isapan jempol, karena banyak pula bukit-bukit yang diratakan atau "dihilangkan", meski hal itu dilakukan dalam ketinggian yang terbatas.

Sebaliknya, bisa tidak tanah rata dibuat tinggi menjadi gunung? Jawabannya mungkin bisa saja. Kita ambil contoh pulau reklamasi, di mana awalnya hanya berupa lautan biasa, tapi bisa dibentuk sebuah pulau buatan dengan mengumpulkan segala material batu-batuan di satu titik. Secara ilmiah gunung bisa saja dibuat, tapi sangat sulit jika ketinggian dan luasnya juga besar.

Bagaimana kalau gunung dihilangkan? Pastinya segala resiko akan mengikuti. Contoh yang paling terlihat adalah hilangnya sumber mata air. Setiap daerah menggantungkan dahaga masing-masing kepada aliran sungai sebagai kehidupan. Apa jadinya jika satu daerah tidak punya sungai sama sekali? Pastinya akan menjadi gersang dan kering kerontang. Jadi sungai yang mengalir dari hulu tersebut sesungguhnya sebuah anugerah, atau "hadiah" dari tempat dataran tinggi, meski kadang bisa menjadi "musuh" bersama andai berlebihan.

Kota Jakarta sebagai tempat tinggal penulis, adalah sebuah daerah dataran rendah di pinggir laut. Dari sana terdapat dua pegunungan utama di daerah selatan, terlihat cukup jelas dari Jakarta jika cuaca cerah. Gunung Salak di sebelah kanan, serta Gunung Gede Pangrango di sebelah kiri, sementara di tengah-tengahnya terdapat jalan raya utama menuju Sukabumi. Beruntung kawasan pegunungan itu tidak susah kita nikmati, karena sudah tersedianya jalan pegunungan yang "membelah" bukit di sepanjang kebun teh sana, terkenal dengan sebutan Puncak Cisarua dan Cipanas. 


Sejak kecil saya selalu punya anggapan, bahwa kawasan Puncak yang benar-benar asli itu dimulai dari Gunung Mas hingga Puncak Pass. Ciri khasnya adalah jalan meliuk-liuk di antara bukit, serta pemandangan kebun teh di kedua sisi jalan. Dari kriteria tersebut jadinya daerah Cisarua dan Cipanas bukan Puncak yang sebenarnya, karena menurut saya sudah bukan lagi titik daerah tertinggi yang bisa dijangkau jalan.

Sewaktu kecil saya juga pernah beberapa kali menginap, sewaktu tanggalan masih berada di abad yang kedua puluh. Secara kebetulan semua lokasi Villa-nya itu di daerah Ciloto, titik terdekat yang masih satu kelurahan dengan lokasi Puncak Pass. Kemudian sempat lama juga tidak kembali ke sana. Andai berlibur bersama keluarga, biasanya hanya ke Taman Safari, alias tidak 100% mencicipi kawasan "Puncak"-nya, mungkin juga karena antrian macet yang tidak pernah selesai.

Kemacetan daerah Puncak Bogor yang hanya punya satu jalan mulai berimbas, karena ada lokasi persinggahan baru sebagai alternatif pilihan lain. Namanya adalah kawasan Lembang, daerah yang juga mudah diakses dari kota Bandung atau Cimahi. Jadinya andai ada liburan keluarga, pasti yang dipilih itu kawasan Lembang, dengan lokasi bernama Parongpong sebagai tempat menginap, di belakang Gunung Tangkuban Perahu.

Ceritanya lain pula jika saya pergi ke Puncak bersama teman, mereka yang tidak masalah jika harus melewati kemacetan yang panjang. Tapi lokasi yang dituju tetap tidak sejalan, karena rute tujuan dipegang oleh banyak suara dan teman yang membawa kendaraan. Biasanya hanya sekadar singgah di toko-toko, atau satu dua komplek Villa terkenal, Green Apple atau Kota Bunga.


Plus selama beberapa kali, hobby salah satu teman yang dimaksud cukup aneh, jalan naik ke Puncak ketika malam, kemudian esoknya turun lagi ketika pagi. Satu rangkaian trip singkat yang saya rasa hanya buang-buang waktu, karena untuk apa jalan jauh dan tidak bisa melihat pemandangan. Tapi belakangan jalan model singkat itu juga sering saya lakukan. Alasannya sudah tidak lagi mengejar tujuan lokasi wisata, tapi hanya ingin menikmati suasana saja, dengan jenis wisata berupa perjalanan itu sendiri.


Karena berbagai alasan yang tidak satu tujuan ketika jalan bersama, dengan teman atau keluarga, akhirnya saya lebih memilih untuk jalan ke sana secara soliter. Pengalaman pertama ke lokasi Puncak dengan motoran pernah saya ceritakan di sini. Kala itu untuk pertama kalinya saya datang mengunjungi air terjun Cibodas, karena "baru" mengetahui kawasan tersebut sebagai salah satu titik tertinggi di sana.

Tujuan lokasi wisata alam di sana cukup terbatas, karena hanya ada di pinggir zona hutan atau kebun yang ada di sana. Andai sudah sampai atas yang masuk dalam kabupaten Cianjur, ada Air Terjun Cibeureum dan Kebun Raya Cibodas di satu kawasan, atau bisa juga mendaki Gunung Gede Pangrango dan itu sudah saya ceritakan di sini.

Sementara bagian lainnya ada di kabupaten Bogor, pada titik sebelum resto Rindu Alam. Pilihannya ada Telaga Warna, Riung Gunung, serta jalur jalan raya di sepanjang Kebun Teh Puncak sampai Gunung Mas di bawah. Kemudian ada pula Air terjun di kawasan perbukitan Megamendung, Curug Panjang dan Curug Cilember.
Batas Kabupaten Bogor (di kiri) dan Kabupaten Cianjur (Di kanan)

Satu dua tujuan lain yang "baru" dan belum saya singgahi adalah kawasan ujung Puncak. Sebuah nama arah dari hasil pemikiran saya sendiri, karena berlokasi di tengah-tengah Kebun Teh belakang Telaga Warna, menjauhi jalan raya dan masuk di jalan berbatu. Namanya adalah Gunung Kencana dan Gunung Luhur, puncaknya lebih menyerupai sebuah bukit, karena berbatasan langsung dengan hutan di sebelah kiri jalan raya Puncak. Daerah di sebelah kiri jalan itu ada yang menyebut perbukitan Paseban, sementara di sebelah kanan jalan raya Puncak juga ada hutan, bahkan sudah punya identitas dengan nama Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.



Pengalaman saya awalnya hanya datang sekali-kali, karena lebih fokus dengan objek dan lokasi wisata yang dikunjungi. Kemudian lambat laun karena semua sudah didatangi, jadinya tidak ada yang baru lagi. Tapi selalu ada keinginan untuk kembali ke sana, untuk sekedar menikmati suasana, alias sudah nyaman dengan situasi dan kondisi di sana. Udara yang lebih sejuk dan dingin, berbanding terbalik dengan lokasi tempat tinggi di dataran rendah.

Kemudian yang namanya jalur alternatif ke Puncak juga sudah saya tempuh, meski pernah mendengar bahwa jalan lain tersebut banyak pengganggu.

"Tidak usah lewat jalan alternatif lah. Dulu gue pernah sama bokap, banyak Pak Ogah di tiap tikungan, jadi harus siapin banyak receh" ujar salah satu teman saya. Memilih antri di dalam kemacetan di jalan utama, ketimbang mengikuti arahan dari pemuda setempat untuk berbelok, pada jalan keluar Tol menuju simpang Gadog, sebagai pertigaan utama menuju Puncak.

Jalan alternatif lainnya terdapat di arah lain simpang Gadog, pada jalan raya umum dari Ciawi. Di sana terdapat dua tikungan jalan alternatif dengan arah yang berbeda. Jika jalan dari pasar Ciawi, maka yang pertama terlihat adalah pertigaan Tapos yang mengarah ke Sukabumi, beberapa ratus meter dari sana juga ada yang mengarah ke jalur Puncak, dengan petunjuk arah ke arah Taman Safari.


Jalan alternatif tersebut punya banyak percabangan jalan. Umumnya akan keluar di sepanjang jalur Puncak sisi sebelah kanan, kemudian titik terjauhnya keluar di jalan yang sudah dekat menuju Taman Safari, tanpa harus melalui jalan raya Puncak.

Sebaliknya jika dari sebelah kiri jalan raya Puncak hanya ada satu jalan tembus di daerah Cibogo, setelah jembatan yang menyeberangi sungai Ciliwung. Akses dari sana berasal dari kawasan Sentul dan Cikeas. Pada tempat itu ketika tulisan ini dibuat, sedang dibangun bendungan Ciawi, mungkin sebagai "lampu lalu lintas" untuk mengatur jalannya debit air dari hulu ke muara.

Awalnya saya mengira yang namanya jalur alternatif itu sebagai jalan kedua, untuk sampai tembus di jalan Puncak Kebun Teh yang berliku-liku. Ternyata semua jalan itu hanya tembus di jalan raya utama yang mengarah ke sana. Hingga akhirnya saya juga mengetahui "jalan alternatif" yang sesuai dengan kriteria saya, karena tembusnya sudah di daerah atas Cipanas.

Saya pernah juga menulis catatan perjalanan ke sana itu di sini, meski hanya sampai Curug Ciherang dan Curug Cipamingkis sebagai titik tertinggi. Kemudian baru pada kesempatan lain menyusuri jalan lanjutan, hingga sampai di jalan menuju Kota Bunga.

Nama jalan itu terkenal dengan sebutan Puncak Dua, atau istilah saya itu namanya Puncak Belakang. Alasannya jalur itu berada di balik perbukit Paseban, tempat berdirinya gunung Kencana dan gunung Luhur yang saya sebutkan di atas. Di sana juga terdapat objek wisata air terjun, dimulai dari Curug Ciherang, Curug Cipamingkis, Curug Cisarua, Curug Arca dan Curug Cibeet. Uniknya seluruh objek wisata air terjun tersebut berada di kabupaten Bogor.


Pemandangan di jalan Puncak Dua tersebut mulai berubah, saat sampai di tugu perbatasan kabupaten Cianjur, menjadi perkebunan aneka ragam cocok tanam dari warga. Jalan tersebut awalnya diperuntukkan untuk warga yang membawa hasil tanamnya ke jalan utama. Meski belakangan bisa disebut sebagai jalur alternatif terbaik, karena berbeda arah untuk sampai langsung di Puncak Kebun Teh.

Bahkan satu atau dua tahun lalu saya pernah melakukan trip kilat, dalam rangka libur di tanggal merah tahun baru. Naik dari jalur Puncak Belakang dari kawasan Sukamakmur, setelah sebelumnya main air terjun sejenak di Curug Ciherang, hingga tiba di perbukitan dekat Kota Bunga. Perjalanan hanya berhenti sebentar di sekitar resto Rindu Alam, kemudian langsung turun kembali ke arah Bogor di jalan utama. Benang-benar hanya ingin jalan dan menikmati suasana.
Perbatasan Jalur Puncak Dua (Arah Cianjur)

Perbatasan Jalur Puncak Dua (Arah Bogor)

"Kalau musim kemarau gini memang banyak debu Mas. Kalau mau seru datang lagi ketika musim hujan, ban motor kita kencangkan, siap-siap bertualang ngesot kanan-kiri" ujar salah satu warga dengan mantap, ketika berbincang dengan saya yang sedang mengemil jajanan siomay. Menunjuk jalan yang tidak terlalu mulus di depan mata, pada kawasan yang sudah masuk daerah Cianjur.

"Saya lewat sini kalau lagi iseng saja Pak" jawab saya dengan tertawa. Pada kesempatan itu sudah ketiga atau keempat kalinya melewati jalan tersebut. Pastinya tantangan akan lebih tinggi, karena kecepatan tidak bisa dipacu maksimal, karena harus menghindari lubang dan mencari bebatuan yang lebih rata.

Andai jalan Puncak Dua tersebut punya aspal atau beton yang bagus, tentu bisa menjadi pilihan lain tanpa harus berpikir dua kali, sebagai sayap kedua untuk menuju Puncak Kebun Teh.

Salah satu perubahan sikap dari perjalanan singkat saya adalah mulai ingin bersantai ria. Pada awalnya punya kebiasaan hanya pergi ke sana dalam satu hari, datang pada waktu pagi dan pulang di malam hari. Kondisinya agak berbeda dengan belakangan ini, ketika saya lebih memilih bermalam dan menginap. Tujuannya ingin menikmati dan tidak ingin melewatkan suasana, baik tidur di dalam tenda atau hotel, villa sejauh ini belum. (Pilihan jitu kalau masih single/duo fighter) :P

Pastinya saya merasakan benar kebebasan roda dua di sana, karena beberapa kali melewati jalan satu arah naik atau turun, kendaraan motor seperti bebas dari peraturan one way yang berlaku. Bahkan jalannya jadi lebih asyik jika melawan arah. Misalnya jalur puncak hanya satu arah untuk turun, tapi motor bisa tetap jalan naik di sisi pinggir jalan. Kondisi itu membuat laju jadi sangat lancar, karena tidak ada hambatan apapun di depan. :D

"Buset, ke Puncak lagi?!" seru salah satu teman saya.

"Yoi, lagian Puncak mah udah biasa, jadi kaya taman belakang aja, jauhnya mulai kaga berasa juga" timpal saya dengan bangga. Mulai terbiasa dan menganggap jalan ke Puncak itu jadi tidak terlalu jauh.