Cerita kali ini, kita hanya akan sedikit membahas tentang hal yang ringan. Sesuatu yang sudah lumrah ada di sekitar kita, dilakukan oleh banyak orang, baik muda dan tua, bahkan oleh orang kedua yang punya kepentingan untuk mengabadikan suasana. Sudah bisa menebak kegiatan apa? Jika membaca judul pastinya sudah tahu, tapi bukan sekadar foto biasa.
Jawabannya adalah dunia eksis, alias kita mengabadikan diri dan berani tampil kemudian. Keduanya jadi kegiatan yang berbeda, tapi berhubungan secara berurutan. Misalnya kegiatan berfoto diri, baik secara selfi atau yang lain, hasilnya adalah dokumentasi gambaran kita sendiri. Kegiatan selanjutnya bisa kita lakukan, misalnya menampilkan hasilnya itu kepada khayalak ramai, secara umum disebut sebagai kanal media sosial, atau bisa juga kanal lain yang pada intinya melempar foto kita itu ke dunia internet, serta bisa dilihat oleh orang lain.
Bahkan jargon kekinian sudah menjadi bahan ledekan. Bahwa jika seseorang berlibur atau berkegiatan khusus, ada yang bilang tujuan utamanya itu untuk eksis. Alias yang penting itu upload konten di media sosial, jika sudah selesai yah pulang. Berlibur untuk eksis saja, dengan beberapa jepretan foto atau rekaman video, tidak peduli dengan acara liburan keseluruhan, apakah benar demikian?
Beruntungnya tentu tidak semuanya akan begitu, mendewakan kegiatan eksis sebagai satu-satunya tujuan. Menurut saya memang ada beberapa orang yang begitu, tapi jumlahnya tidak sebanding dengan keseluruhan. Istilah yang umum, mungkin mereka hanya oknum pemuja konten saja. :P
Misalnya jika kita jumpai satu acara keramaian, atau konser musik dari artis terkenal, pasti hampir seluruhnya akan mengabadikan momentum itu. Melakukan kegiatan yang menyenangkan tanpa direkam atau difoto, sepertinya ada yang kurang. Memang zaman sudah berubah, kebiasaan baru untuk melibatkan aktifitas handphone sudah lumrah, di sela agenda utama yang dianggap penting dan menarik.
Bagi saya sendiri andai berlibur atau yang lain, kegiatan keseluruhan tetap yang utama. Urusan mau eksis atau tidak sudah lain cerita. Ada yang memang sangat update, hingga setiap saat selalu unggah konten, ada juga yang punya jadwal tertentu buat eksis, atau ada juga yang sekadar mengambil dokumentasi pendek, dan yang lain-lain. Semuanya bebas-bebas saja, karena mereka punya jalurnya sendiri dan tidak ada larangan pula. Xp
Salah satu yang menarik itu adalah kegiatan mengabadikan diri, alias kita berfoto dengan gambar wujud kita sendiri. Jadi bukan soal mengambil kenang-kenangan di situasi dan kondisi sekitar, tapi kitanya sendiri ikut masuk, ke dalam bidikan foto kamera. Tentu kegiatan ini sebagai bukti nyata, bahwa kita pernah ada di sana (dalam foto), sebagai kenang-kenangan sekaligus untuk eksistensi diri.
Sejak kapan semua itu bermula? Pastinya itu dimulai ketika teknologi kamera berkembang pesat. Dari awalnya berupa kamera film, hingga berbentuk digital. Untuk dongeng tentang kamera ini sudah diceritakan di sini. Kemudian berlanjut dengan tekonologi kamera yang tertanam di handphone. Menjadi satu penemuan yang akan mengubah banyak kebiasaan dari pengguna, bahkan pengaruhnya berlangsung hingga sekarang ini.
Pada zaman dulu itu beruntungnya alat untuk dokumentasi juga tersedia, untuk saya jajal sendiri, ada yang dibelikan dan ada yang beli sendiri. Misalnya kamera handphone generasi awal, tentu hasil gambarnya sudah yang terbaik (pada zaman itu), meski jika dibandingkan dengan sekarang sangat jauh kualitasnya. Selain dari pada alat yang digunakan, penggunanya juga punya pengaruh, karena ajang berekspresi masih dalam tahap adaptasi, belum menjadi suatu kebiasaan.
Tambahan pada era itu teknologi kamera masih sangat terbatas. Resolusi kameranya seingat saya masih VGA, hanya di handphone kelas atas saja yang sudah menyentuh hitungan satu megapixel. Jadinya baik hasil foto dan video, serta tampilan dari layar hapenya sendiri tidak sebagus sekarang, masih buram tampilannya.
Pada kala itu saya masih belum terlalu percaya diri, hingga foto-foto diri yang tersimpan masih sangat sedikit. Andai ada dokumentasi foto pose atau wajah, itu karena hanya agak terpaksa saja, karena tetap harus menunjukan "identitas" dalam bentuk tampilan fisik. Periode itu seiringan dengan maraknya pengguna Friendster, serta berlanjut Facebook di internet, kalau tidak salah ingat.
Baru pada saat berkuliah, akhirnya perlu adaptasi untuk mengurangi demam panggung. Hingga mulai berani berfoto, latihan awal untuk sebuah jalan kepercayaan diri. Berpose di depan kamera rasanya agak canggung, tapi memang harus dibiasakan, hingga nanti jadi terbiasa. Salah satu batasan yang mulai diterapkan, saya hanya mau berfoto di tempat wisata saja, selain itu tidak perlu dan tidak penting.
Plus teknologi kamera mulai berkembang, resolusinya mulai naik menjadi berukuran 2.0 megapixel. Hingga kualitas di banyak hape mulai seragam dan lebih bagus, serta dengan hasil foto yang lebih tajam dan jernih.
Batasan konyol berfoto hanya di tempat wisata tetap berlaku, hingga baru menyadarinya sekarang. Karena belum lama ini mencari-cari foto lama, sewaktu masih berkuliah. Ternyata foto saya selama di sana sangat sedikit, alias bisa dihitung jari. Berbeda dengan sebagian teman lain, mereka yang fotonya aman tersimpan dalam folder berjudul kampus. Kenang-kenangan mereka dengan latar belakang kampus ternyata lebih banyak, baru sadar ke mana saja saya selama itu? Penyesalan memang datang belakangan. Xp
Untuk itulah kegiatan berfoto (diri sendiri), alias mengabadikan momentum, untuk menjadi kenang-kenangan nanti itu cukup penting. Beruntungnya di beberapa tahun terakhir aturan main berubah, tidak lagi membatasi hanya di tempat wisata saja, tapi bisa di mana saja, asal punya tampilan yang menarik. Hal itu beriringan dengan kegiatan berinternet pula, misalnya kanal Instagram yang (masih) eksis di periode ini.
Banyak cara yang dilakukan untuk kegiatan berfoto ini, secara umum pasti adanya bantuan dari juru foto, orang yang mengambil gambar kita melalui kamera. Atau bisa juga dari tangan kita sendiri, tapi kelemahannya jarak kamera ke tubuh kita itu jadi pendek, hingga tidak bisa menjangkau gambar yang lebih luas. Jika memakai teknik selfi, pasti penampakan kita orangnya akan lebih besar, karena mendominasi hampir seluruh ruang bidik kamera normal.
Untuk mengakali kegiatan berfoto selfi ini, akhirnya ditemukan solusi jitu. Adalah penggunakan tongsis, alias tongkat eksis. Fungsinya cukup sederhana, karena bisa membingkai alat kamera, serta panjang tongkat bisa bertambah, hingga ruang bidik kamera menjauh dan meluas dengan sendirinya. Kita bisa mengambil foto diri dengan tangan, melalui tongkat yang dipanjangkan, hingga seluruh tubuh kita satu badan bisa diabadikan lensa kamera normal.
Kegiatan berfoto pakai alat bantu juga pernah saya lakukan, karena memang di TKP itu sepi dan jarang orang berlalu lalang di sana. Pada percobaan pertama hanya pakai timer kamera, untuk mendapatkan tampilan lebih luas, dengan latar belakang pemandangan indahnya.
Kemudian di kesempatan berikutnya baru pakai tongsis. Ingin merasakan pengambilan gambar secara selfi juga di sana. Situasi di sana masih sama, selama beberapa lama di sana, tidak ada orang lain yang bisa dimintai tolong, untuk membantu jepret foto.
Dua momentum di atas tadi, di TKP yang sama tapi di waktu berbeda, ternyata masih menganut sistem lama. Artinya berfoto eksis di tempat wisata khusus, atau punya pemandangan alam yang menarik. Karena di titik saya mengambil foto itu bukan tempat wisata, melainkan hanya jalan berbatu di tengah perkebunan teh saja.
Lambat laun bisa berfoto di mana saja, asal ada penampakan menarik, tidak harus di tempat bernuasa wisata saja. Karena pemandangan alam terbuka sepertinya sudah sering, incaran dialihkan kepada hal yang baru. Wisata dalam kota akhirnya menarik perhatian, jadi tidak harus melulu di luar kota (tempat tinggal).
Kemudian kegiatan berfoto ini mulai punya tandem yang menarik, berangkat dari kegiatan eksis yang jadi pembahasan kali ini. Adalah eksistensi kita kepada khayalak ramai, atau mengabarkan kegiatan berfoto kita kepada orang lain, umumnya sudah pasti di dunia internet, melalui beragam kanal yang tersedia. Mengabadikan momentum, kemudian memamerkannya untuk bisa dilihat banyak orang, begitulah kebiasaan terkini dari pengguna handphone di sekeliling kita.
Itu juga berlaku untuk saya sendiri, dari beberapa momentum yang diabadikan, ada secuil yang dipilih untuk dibagikan. Tentunya kegiatan yang lebih tepat itu berekspresi, untuk "mengeluarkan" sebagian kenangan, untuk dimasukan ke bagian "etalase" jalur eksis kita. Mengenai eksis ini secara keseluruhan juga sudah ditulis di sini, tulisan yang mengangkat konten eksis, tapi bukan hanya soal foto dan video saja. Xp
Bahkan untuk contoh di tulisan ini, ada empat foto eksis diri di atas, diambil juga dari kanal Instagram. Tujuan awalnya agar tanggal penayangan juga bisa dikabarkan, sebagai urutan waktu yang penting bagi saya sendiri. Kemudian dua di antara empat foto tersebut, ternyata berlatar belakang biasa saja, bukan tempat wisata, tapi ada kedekatan khusus dari modelnya sendiri.
Karena sudah tidak ada batasan, jadinya niat untuk eksis di tempat menarik jadi banyak pilihan. Salah satunya di ruang publik, alias tempat umum yang banyak dikunjungi orang lain. Andai demikian kita sebagai modelnya harus bener-benar percaya diri, karena mengabadikan kenangan di antara orang banyak. Hal itu berlaku unik, karena berbeda dengan tempat wisata sungguhan, justru di sana orang-orang akan antri berfoto di banyak titik menarik.
Kita juga harus tahu batasannya saat eksis di ruang umum, jangan sampai menggangu orang lain. Hanya karena berfoto dan selfi sudah dianggap biasa, bukan berarti bisa sesuka-sukanya. Mengabadikan suasana sekitar, atau dengan tambahan pose diri kita sendiri di depan kamera, hal itu sudah wajar saja sekarang ini.
Jadi untuk saat sekarang kebebasan berekspresi juga ada baiknya, meski justru terus mengubah kebiasaan nantinya. Paling tidak hal itu dapat dijadikan tahapan dari perkembangan zaman, serta untuk perkembangan kita sendiri sebagai pribadi.
Contohnya saya sendiri, dari awalnya ogah berfoto diri, karena belum percaya diri. Lambat laun ternyata bisa berubah, tentunya berawal dari adanya kemauan terlebih dahulu. Hal itu sendiri berlaku di segala bidang, meski untuk yang diangkat ini temanya tentang ekspresi foto diri dan eksis setelahnya.
Mungkin serupa juga dengan cerita Percaya Diri di sini, bedanya di sana lebih menekankan untuk kita punya pendirian sendiri. Semuanya memang berawal dari yang kita pikirkan, untuk selanjutnya dilakukan dalam tindakan. Karena ada pepatah lama berlaku, keyakinan tanpa perbuatan pada hakekatnya adanya mati.
Jadi foto hari ini, yah untuk dikenal nanti.
:))