Pernah mendengar kata idola? Sesuai dengan judul tulisan ini? Pastinya hampir pasti semua dari kita pernah tahu, atau bisa juga pernah mengalami, ketika punya satu sosok yang menjadi idola. Jadi hal inilah yang akan dikupas pada bagian tertentu, hingga cukup menarik juga untuk diangkat.
Idola biasanya sering dijumpai dari dunia hiburan, karena banyak dari kita yang jadi penggemar dari sesuatu, entah itu sosok seseorang, atau sebuah identitas yang di dalamnya terdapat juga orang-orang yang digandrungi. Misalnya artis dan kelompok musik, atau bisa juga tim sepak bola dan atlet tertentu, karena ada jenis olah raga yang sudah masuk industri komersial. Untuk cerita tentang fans (komersial) ini, sudah saya kupas di sini dan sini.
Kenapa industri komersial paling banyak punya basis penggemar? Karena memang produk mereka diarahkan ke sana. Jika memiliki penggemar artinya label mereka sudah dikenal, serta dipercaya oleh banyak orang. Hukum komersial juga tidak berubah, tentunya diawali dengan penawaran, membuat sesuatu yang dibutuhkan, hingga pada akhirnya diinginkan oleh konsumen, sesederhana itu pola sebab akibatnya.
Kemudian apa lagi yang ingin diangkat? Jawabannya adalah sosok yang bukan artis atau atlet, pastinya di zaman ini kita banyak menjumpai mereka-mereka ini. Bukan sosok yang terjun langsung ke dalam industri komersial, tapi memanfaatkan perkembangan teknologi, agar bisa berbuat sesuatu yang berguna, serta bisa memberi dampak pada sekitar. Terdengar seakan-akan mudah sekali? Memang iya, dengan jalur yang namanya internet, siapa saja dapat menjadi apa saja, serta bisa diakses oleh siapa saja, sesuai dengan minat masing-masing.
Tentunya mereka punya kegiatan juga dalam realitas, hingga apa yang dibagikan (ditampilkan) di internet, sedikit banyak mungkin ada hubungan dengan apa yang dikerjakan. Meski sebetulnya bisa pula berlaku sebaliknya, ternyata profesi dan eksistensinya di media internet, justru malah bertolak belakang. Tapi pada intinya mereka membuat sesuatu, hingga apa yang dibuat juga bisa diakses oleh orang lain.
Kemudian apakah yang namanya komersial harus tentang keuntungan saja? Ternyata tidak. Kenapa? Karena bisa saja secara sukarela dan tanpa paksaan, mereka bisa fokus pada hal dengan skala yang lebih besar. Misalnya saja atlet pemain sepak bola yang bergabung di sebuah klub, mereka mendapat kontrak dan gaji. Kemudian bisa saja mereka membela tim nasional (negara), biasanya tanpa ada bayaran, jadinya tidak melulu tentang keuntungan.
Kenapa bisa begitu? Karena bidang kenegaraan itu berlaku khusus, lebih pada kebanggaan seseorang pada nilai nasionalisme. Artinya mereka bangga pada identitas bangsa dan negara, secara ideal di tempat (tanah dan air) mereka dilahirkan ke dunia. Tapi apakah yang namanya negara itu juga berlaku pola sebab akibat tersebut? Nah di sini cukup menarik, sekaligus sebagai gerbang masuk pada bahasan ini. :))
Negara mana saja idealnya juga memaki pola dasar tersebut, utamanya tentang penawaran, tentang apa yang diberikan kepada warga dan rakyat. Hal ini membedakan dengan dunia ekonomi, serta industri komersial yang diangkat di atas. Kenapa? Karena tidak adanya bagian "permintaan" dari konsumen, mereka yang didaulat sebagai "penggemar" dari identitas bangsa dan negara tersebut.
Ada sebuah cerita menarik, tentang seorang rakyat bertanya kepada orang bijak. Kala itu mereka seakan hidup belum merdeka, karena kontrol wilayahnya berada di salah satu identitas kerajaan. Bertanya tentang penguasa tersebut, apa yang harus mereka lakukan. Ternyata jawabannya cukup sederhana dan tajam, ketika diperintahkan untuk melihat alat tukar, alias uang yang mereka gunakan. Di mata uang tersebut ada simbol kerajaan dan pahatan wajah sang kaisar, hingga diarahkan untuk membayar pajak untuk penguasa. Kemudian menghormati sosok yang "mengatur" mereka sendiri, sebuah jawaban sangat bijak dari seorang yang penuh kebajikan. :)
Tandanya apa? Artinya sebuah kedaulatan negara memang sudah ada dari dulu. Mereka yang terlibat di dalamnya tentu ikut "bekerja" dan tidak diam, hanya berbeda di arah saja, karena tidak fokus pada keuntungan saja. Negara bertugas membangun suatu wilayah, hingga pada batas yang menjadi kekuasaannya berlaku. Caranya dengan memungut pajak, sesuai dengan perintah orang bijak di atas. Kemudian selanjutnya uang itu diolah, untuk digunakan untuk kepentingan wilayah tersebut.
Mereka yang terlibat dalam sendi negara, dalam hal ini pihak pemerintah, lambat laun juga bisa "terkenal" dengan jalannya sendiri. Biasanya nama mereka akan dikenang, syarat utama karena mengambil kebijakan berani, tentunya pula mementingkan rakyat. Imbasnya rakyat yang berfungsi sebagai "penggemar" negara ini juga ikut menggaungkan, tentang sosok yang sudah berbuat banyak bagi mereka. Hal itu cukup lumrah dan berlaku alamiah, apa yang ditawarkan, ternyata memang dibutuhkan, hingga menjadi keinginan banyak orang.
Konon pada negara-negara maju, rakyatnya sudah tidak peduli pada sosok pemerintah. Kenapa bisa begitu? Justru karena mereka sudah mengalami hidup yang baik, hingga tidak perlu terlibat secara langsung, bahkan sekadar menjadi pengamat atau penggemar saja dirasa tidak perlu. Hal itu berlaku sebaliknya, tatkala keadaan hidup dirasa sulit, maka banyak dari rakyat yang perlu ikut terlibat di dalam mendukung pemerintahan.
Ada yang bilang semakin banyak rakyat terlibat dan berpartisipasi (ikutan) dalam politik, maka kesadaran warga semakin tinggi. Apakah demikian? Bisa dibilang begitu, karena ingin ikut andil dalam mengubah keadaan bangsa dan negara, tentunya menjadi lebih baik lagi. Untuk saya sendiri terlepas dari merasakan hidup mudah atau sulit, bidang politik ternyata memang cukup menarik minat, pada utamanya sejak negara mengalami krisis ekonomi, kemudian berlanjut pada krisis politik.
Apa hubungannya dengan sang idola? Alias sosok yang kita gemari dengan perhatian tinggi. Tidak lain dan tidak bukan, munculnya sosok politisi, yang kita percaya akan ikut mengubah wajah negara, baik secara keadaan dan pamor di mata negara lain dan dunia. Istilahnya serupa dengan artis komersial, bedanya mereka tidak berfokus langsung untuk kemajuan negara.
Untuk penggemar politik ini, saya ingat ketika ada satu sosok yang digaungkan. Secara nama cukup mendukung sebagai simbol perubahan, secara kebetulan pula punya hubungan darah, menjadi keturunan penguasa dulu di siklus negara yang sama. Tapi rupanya keadaan di lapangan rakyat itu berbeda, jika dibandingkan dengan keadaan di dalam percaturan politik yang sebenarnya. Kemeriahan di kalangan penggemar, belum serta merta menentukan posisi di dalam tingkat "karier" politik.
Kemudian ada satu sosok lain lagi, sepertinya menjanjikan saat mulai dikenal luas. Asal mulanya berangkat dari keadaan victim, alias dikorbankan (dipecat) jadi kursi menteri oleh penguasa. Nah strategi ini ke depan banyak dilakukan oleh politisi, hingga istilah playing victim menjadi terkenal, alias sengaja akting seolah-olah menjadi korban. Harus dibedakan menjadi korban sungguhan, atau sekadar berpura-pura saja jadi korban untuk mengundang simpati rakyat.
Sosok ini ternyata memang dikorbankan karena dipecat, bukan berakting karena sudah dipecat, terlihat cukup menjanjikan sebagai salah satu tokoh yang menjadi terkemuka. Saya ingat juga ada satu teman sekolah yang mendukungnya terang-terangan, beda cara dengan saya yang diam-diam saja. Bahkan berbeda dengan kebanyakan teman lain, ketika mereka mendukung tokoh-tokoh yang berada di pucuk (posisi tinggi) kala itu.
Hingga akhirnya peta percaturan politik berubah, penguasa yang memecatnya jatuh, kemudian digantikan sosok lain (keturunan penguasa) yang naik ke posisi tertinggi. Awalnya sosok idola saya ini langsung masuk kandidat untuk menjadi wakil tertinggi, meski kalah lobi dengan para anggota wakil rakyat yang melakukan voting. Kompromi kebijakan akhirnya mengantarkan sosok ini kembali ke kursi menteri, meski berbeda posisi. Berlanjut pada pecah kongsi dengan pucuk pimpinan, ketika memasuki musim pemilu lima tahunan.
Sosok ini ternyata cukup pintar, karena beraksi sendiri secara individu, hingga nilai-nilainya sebagai pribadi tetap terjaga, tanpa campur tangan dari kepentingan lain. Memilih sendiri siapa wakilnya, hingga sang calon wakil langsung percaya diri untuk sejenak meninggalkan partai, serta membuat sendiri kendaraan (partai) politiknya. Aktif mencari dukungan dan sponsor, bukan sebaliknya didorong oleh penyandang dana. :P
Pada akhirnya sosok ini mengalahkan pemain besar yang lebih difavoritkan, bahkan bisa memegang kekuasaan selama dua periode. Kemudian di babak kedua tetap memilih sendiri siapa wakilnya, bukan "pasrah" menerima siapa saja wakilnya, sebagai bagian dari skenario (tawar-menawar) kendaraan politik.
Hingga saat ini menjadi satu-satunya penguasa yang naik dan turun secara normal, hingga waktu masa jabatan selesai secara paripurna. Bukan jatuh di tengah jalan, atau naik di tengah jalan menjadi pengganti cadangan. Xp
Sosok yang diidolakan, pada akhirnya saya menyadari pula bahwa keteguhan itu tidak mudah berubah. Seperti halnya saya yang sudah mengalami jadi penggemar, hal itu pula dialami orang lain, tatkala menggemari sosok lain yang ikut terjun ke peta percaturan politik.
Idola sendiri maknanya bukan hanya sekedar digemari, tapi lebih dari itu dan tingkatannya hingga kepada dipuja. Nampaknya fakta ini juga dialami oleh sebagian saudara kita, ketika mendukung satu sosok pemimpin. Mereka mendukung secara penuh, tidak ada yang salah pula juga sebenarnya. Tapi menjadi tidak sehat, ketika dukungan itu dilakukan secara berlebihan, bahkan cenderung didewakan sebagai penyelamat. Xp
Fakta itu terjadi ketika ada satu sosok baru yang naik daun. Seakan-akan dianggap sebagai dewa penyelamat, bahkan hingga sekarang ini. Apakah mereka malu untuk menarik dukungan, atau sudah terlanjur cinta buta terhadap idolanya itu, tidak ada yang tahu. Pastinya kesan yang muncul itu seperti memaksa, tidak terjadi secara alamiah, lebih condong pada ilmiah yang dikondisikan.
Kenapa saya tidak bergeming? Atau berpindah kepada sosok baru itu sewaktu dulu? Mungkin saja karena idola saya waktu itu sedang duduk di kursi tertinggi negara. Atau yang pasti kemunculannya itu tidak menarik minat saya, karena seperti sosok yang dikondisikan sedemikian rupa layaknya artis dadakan. Strategi yang dipakai tentunya dengan menjual apa yang jadi kegemaran rakyat. Misalnya saja turun langsung ke lapangan, tidak ragu mengambil peran sebagai tukang parkir atau petugas kebersihan, ibaratnya senasib dengan rakyat. Xp
Bentuk dukungan untuk sosok baru itu sudah semakin mengakar, bagaimana bisa? Dimungkinkan tingkah lakunya yang bisa membaur, atau berlaku sebagai rakyat biasa, meski sudah berada di kursi kekuasaan. Ada yang aneh di sini, karena seperti penguasa yang dulu dan lampau, andai mereka ingin terjun menjadi rakyat biasa, pastinya akan masuk ke tengah rakyat tanpa diketahui, meski sistem pengamanan tetap berlangsung dalam diam. Menurut saya itu baru membaur dalam arti sebenarnya, agar bisa mengetahui keadaan lapangan yang nyata, tanpa ada pasukan pengaman atau kegiatan protokoler.
Sementara sosok baru ini mengambil jalan membaur yang populer. Artinya terjun ke masyarakat dengan identitasnya sebagai penguasa. Tampilan dan gaya memang bisa saja dibuat sederhana, hingga muncul animasi tentang harga pakaian dari atas ke bawah. Alias terjun ke lapangan secara langsung, tampil sederhana, tidak lupa eksis untuk diberitakan. Xp
Pendekatan yang dilakukan bagaimana caranya, tentu tidak masalah, karena itu bagian dari strategi. Bahkan sosok baru ini patut mendapat apresiasi, ketika lawannya di dua kali kesempatan pemilihan berturut-turut, akhirnya diajak masuk ke dalam sendi negara. Tentunya ini menutup mulut atau teriakan penggemar garis keras, karena mereka begitu mendewakan jagoan, serta merendahkan sang lawan sebagai penjahat.
Pastinya dengan masuknya seteru menjadi kawan, akan lebih menegaskan posisi sosok baru itu, bahwa dirinya mementingkan kemajuan negara, bukan kepentingan kelompoknya. Meski secara tidak langsung dengan strategi merangkul semua pihak, posisinya kemungkinan aman tidak diganggu dengan keras dan tajam, seperti babak pertama yang dilewati.
Bagaimana dengan sosok seteru yang menjadi kawan? Apakah dia menjadi tidak penting? Kita sebut saja sebagai sosok lama. Justru sebaliknya, identitas ini justru malang melintang melintas zaman. Bahkan namanya sudah dikenal sebelum nama idola saya naik ke permukaan. Namun sayang nama yang melekat itu cenderung jelek, tapi yang bersangkutan tidak gentar dan tetap maju, selalu hadir di setiap kesempatan pemilihan. Punya jiwa kenegaraan yang tulus seperti merpati, tapi tidak terlalu cerdik seperti ular.
Dengan perkembangan zaman dan pergantian kekuasaan, serta peredaran manusia yang datang dan meninggalkan dunia, pada akhirnya mulai terkuak sebuah fakta. Bahwa sesungguhnya sosok lama itu tidak jelek, tidak juga jahat seperti yang didengungkan. Kenyataannya dia ini hanya korban skenario beberapa pihak, karena terlalu tulus dan kurang cerdik, hingga niat baiknya sering dimanfaatkan, bahkan cenderung disalahkan.
Sosok lama ini jadinya sudah berada di dalam lingkaran kekuasaan, mirip dengan keadaan sewaktu dulu, sebelum menjadi korban skenario. Pastinya dapat menggunakan sumber daya secara maksimal, ketika datang peristiwa genting untuk menyelamatkan negara. Kita tunggu saja bagaimana sepak terjangnya, ketulusan merpati perlu diimbangi dengan kecerdikan ular, hingga dimungkinkan ada sosok di balik layar yang "turun gunung" membantu.
Meski saya kurang suka dengan sosok baru, tapi bukan berarti tidak saya dukung. Kita harus mendukung siapa saja yang jadi pemimpin kita, entah kita sukai atau tidak. Saya percaya bahwa siapa saja yang naik itu sudah ditentukan oleh Alam Raya, sebuah manifestasi yang bisa memakai siapa saja, pihak kita atau bahkan barisan lawan kita untuk tujuan yang lebih mulia. Bahkan lawan kita itu tetap punya penggemar dan kawannya sendiri, jadi hanya soal kesukaan dan ketidaksukaan pribadi manusianya saja.
Ada tiga tokoh utama di dongeng cerita ini. Pertama sosok idola saya, kedua sosok baru yang meroket setelahnya. Ketiga ada sosok lama yang juga sangat penting perannya, khususnya ketika negeri kita akan menyongsong siklus baru.
Sudah mengerti apa yang saya tuliskan ini? Kalau belum yah baca ulang saja perlahan. Kalau masih tidak nyambung juga, yah harap dimaklumi, karena mungkin cerita ini sengaja dibuat agak ilmiah yang tetap masuk di logika, agak menyerempet karena tidak ada yang dibuat perumpamaan. :D