Masih merupakan salah satu tujuan, dalam rangka liburan dua minggu saya bulan yang lalu (Agustus 2012). Melanjutkan cerita sebelumnya Menuju Sempol, maka tujuan Kawah Ijen ini merupakan rencana utama saya yang sudah disiapkan.
Ketika menjelang pukul 4 sore saya akhirnya sampai di Paltuding, menjadi tempat titik awal pendakian ke Gunung Ijen, bergerak dari Sempol menggunakan jasa ojek. Membatalkan pula rencana tambahan melihat beberapa air terjun yang di daerah Blawan, sebuah daerah perkebunan kopi dan sempat melewati percabangan jalan dan gapura selamat datangnya.
Ketika menjelang pukul 4 sore saya akhirnya sampai di Paltuding, menjadi tempat titik awal pendakian ke Gunung Ijen, bergerak dari Sempol menggunakan jasa ojek. Membatalkan pula rencana tambahan melihat beberapa air terjun yang di daerah Blawan, sebuah daerah perkebunan kopi dan sempat melewati percabangan jalan dan gapura selamat datangnya.
Jika melihat cerita Backpacker yang sudah ada, untuk menghemat biaya banyak yang memanfaatkan beberapa pondok rumah panggung, tersedia di kawasan tersebut dekat lapangan terbuka. Atau pilihan lain menunggu di salah satu warung yang terkenal, bernama warung "Bu Im" untuk menumpang sekedarnya. Tapi nampaknya saya tetap butuh kenyamanan dengan bermalam di kamar, kebetulan di sana ada beberapa kamar pondokan yang disewakan, dikelola oleh pemerintah setempat, dalam hal ini seperti Tim Vulkanologis Kawah Ijen.
Saya meminta kamar yang murah 100rb per malam, tetapi kamar tersebut baru saja diisi turis yang datang, sedangkan kamar yang tersisa adalah yang seharga 150rb per malam. Awalnya saya ingin menawar harga agar dapat lebih murah, tapi nampaknya pemerintah setempat seperti tidak kenal kompromi, hingga saya mengambil kamar tersebut untuk beristirahat. :p
Saya meminta kamar yang murah 100rb per malam, tetapi kamar tersebut baru saja diisi turis yang datang, sedangkan kamar yang tersisa adalah yang seharga 150rb per malam. Awalnya saya ingin menawar harga agar dapat lebih murah, tapi nampaknya pemerintah setempat seperti tidak kenal kompromi, hingga saya mengambil kamar tersebut untuk beristirahat. :p
Kamar yang saya ambil berupa rumah sederhana yang terbuat dari papan kayu di bawahnya, seperti rumah adat di banyak daerah. Kantor Vulkanologinya sendiri (Saat itu) saya lihat juga terbuat dari kayu, hingga tidak ada yang mewah di sini. Menjelang malam saya juga baru tahu, jika aliran listrik hanya ada ketika malam saja, saat suara berisik genset generator menghiasi suasana malam di kawasan tersebut.
Malam saya akhirnya keluar untuk mengisi perut, di sana terdapat dua warung yaitu yang terkenal tadi "Bu Im" lebih ramai, serta ada satu warung lagi yang tidak begitu ramai. Memutuskan masuk ke warung yang tidak ramai terlebih dahulu, melahap mi instan goreng dengan nasi. Di sana ada beberapa pemuda yang lalu-lalang, salah satunya memainkan musik secara keras, sepertinya memanfaatkan benar aliran listrik yang tersedia. Di sana sinyal telepon juga sulit (Agustus 2012), hanya ada satu yang tertangkap yaitu Telkomsel tetapi sering hilang.
Jelang pukul 8 malam saya memutuskan beristirahat, karena memang sudah tidak ada apa-apa lagi. Memanfaatkan colokan listrik untuk mengisi penuh baterai handphone dan kamera, karena saat pagi mungkin listrik sudah dimatikan. Di saat yang bersamaan saya melihat beberapa mobil datang, terlihat beberapa orang yang sepertinya akan mendaki malam. Banyak juga turis yang mendaki Ijen dimalam hari, untuk mendapatkan pemandangan api biru "Blue Fire", berasal dari aktifitas penambangan belerang.
Saat tengah malam saya sedikit terbangun dan melihat di sekeliling gelap total, saya pikir genset sudah dimatikan, hingga melanjutkan tidur karena berencana mendaki pada subuh pukul 2-3 pagi. Awalnya supaya dapat melihat secara langsung pemandangan si api biru tersebut, karena pendakian kurang lebih memakan waktu 1 jam. Kemarin harinya bertanya bahwa pemandangan si Api Biru mulai menghilang mendekati pukul 5 pagi, jadinya saya pikir kemungkinan pukul 4 pagi masih terlihat jelas.
Ketika bangun jelang pukul 3 pagi, lampu kembali menyala karena bunyi bising genset mulai terdengar lagi. Saya berkesimpulan bahwa genset hanya menyala pada malam hari , kemudian diistirahatkan pada tengah malam lalu, untuk dinyalakan kembali pada subuh dini hari hingga jelang pagi. Melihat juga sudah ada beberapa mobil tour yang berdatangan mengantar wisatawan.
Mempersiapkan semuanya untuk mendaki, termasuk senter yang dibeli dadakan pagi itu juga. Karena kita akan menelusuri jalan yang gelap total tidak ada penerangan. Mulai berjalan di jalan yang mengarah ke Kawah Ijen, ternyata jalannya lumayan berat karena menanjak, sehingga berpacu dengan nafas yang mulai kehabisan. Beruntungnya diimbangi dengan udara yang dingin hingga keringat yang keluar seperti tertahan.
Mendaki hanya seorang diri, hanya sedikit yang berpapasan dengan saya dari arah yang berlawanan. Menatap kegelapan di depan mata dengan sorot lampu senter. Dari info yang saya ketahui maka jarak 2 km pertama memang menanjak terjal, sedangkan 1 km terakhir jalannya sudah agak melandai.
Ketika sudah sampai di jalan yang agak melandai, maka kita sudah seperti ada di ruang terbuka. Melihat ke arah belakang nampak Gunung Raung berdiri dengan gumpalan awan di bawahnya, sebuah pemandangan yang menjadi favorit saya. Dengan jarak yang lebih dekat, terlihat pula Gunung Meranti juga berdiri dengan pemandangan yang sama, gumpalan awan tebal di bawahnya.
Saya terus berjalan mendekati kawah yang masih gelap, setelah saya lihat waktu memang butuh waktu 1 jam-an lebih sedikit, pukul 4 pagi saya sudah sampai di atas. Melihat satu kolam raksasa dalam gelap, yang tak lain dan tak bukan merupakan Kawah Ijen tersebut. Dari atas saya melihat langsung api biru yang terlihat sangat kecil.
Saat itu para wisatawan tidak dibolehkan turun menuju bibir kawah, karena status yang kembali naik menjadi waspada. Kondisi itu sudah diingatkan oleh petugas dan penambang belerang di sana, tetapi saya melihat ada beberapa wisatawan yang tetap memaksa turun.
Pagi itu saya bersama segerombolan turis asing, Mereka hampir semuanya turun, hanya satu saja yang tinggal dan menunggu. Saya juga ingin mengabadikan pemandangan api biru tersebut, tapi kamera saya tidak cukup untuk menjangkaunya, maklum hanya kamera saku. :p
Karena suasana yang masih gelap, maka saya memutuskan kembali ke jalur pendakian. Titik di mana pemandangan Gunung Meranti dan Raung terlihat jelas, karena saya ingin melihat lautan awan di bawah mata, sekaligus melihat peristiwa matahari terbit, meski hal tersebut cukup sulit karena arah datangnya matahari terhalangi oleh tebing dari Gunung Ijen itu sendiri.
Pukul 5 pagi lewat maka garis matahari sudah mulai nampak, lautan awan yang terus saya nikmati pemandangannya sudah mulai mengeluarkan garis kekuningan. Berulang kali memfoto diri sendiri menggunakan timer, karena wisatawan belum banyak yang lewat, sedangkan beberapa penambang belerang mulai berlalu-lalang di jalur pendakian tersebut.
Ketika sudah semakin terang maka saya kembali mendekati kawah, di mana jalur pendakian tersebut memiliki percabangan pertama, jika ke kiri jalurnya langsung menanjak tajam. Akhirnya saya ingin tahu apa yang dapat dilihat dari jalur tersebut. Setelah naik maka Kawah Ijen yang berwarna hijau mulai terlihat di terangi matahari.
Setelah selesai saya kembali berjalan mendekati kawah, ternyata ada percabangan jalan lagi. Jalur utama masih landai ke arah kiri, sedangkan terdapat jalur menanjak lagi ke arah kanan. Saya memutuskan ke kiri dahulu mendekati kawah lagi, di sana mulai ramai didatangi turis. Seperti yang sudah diketahui turis tidak boleh turun, tetapi jika ingin mengabadikan momen penambangan belerang dari dekat, maka orang di sana bersedia membantu dengan membawa kamera kita ke bawah, hanya 15 menit sudah kembali lagi, tentunya dengan sejumlah imbalan kemungkinan besar.
Ketika jalur utama dipenuhi para wisatawan, mereka yang asyik berfoto dan difoto, bercampur dengan penambang belerang yang bolak-balik di sekitar. Ada satu momen seorang penambang belerang berteriak sangat kencang, hingga membubarkan para wisatawan yang berkumpul menutup jalur, mungkin sudah lama menunggu sabar dengan membawa beban dipundak. Mereka membawa beban 60-80kg sehingga jangan sampai menghalangi jalur mereka.
Ada fakta yang unik mengenai penambang belerang ini, di mana dari info yang saya lihat di internet, mereka hanya mendapat upah 50-80rb per hari, untuk belerang yang diangkut. Info itu membuat banyak yang menaruh simpati terhadap profesi ini. Tetapi saat berbincang dengan seseorang di sana, jumlah itu hanya biaya angkut saja, karena para penambang belerang ini sudah mendapat kontrak dari perusahaan dan tetap menerima gaji pokok. Mungkin uang harian itu dapat diistilahkan uang transport, di samping gaji pokok yang diterima.
Setelah puas berlama-lama di posisi yang paling dekat dengan kawah, saya memutuskan kembali. Bedanya kali ini saya ingin mengetahui, jika mengambil percabangan jalan yang menanjak ke arah kanan. Saat sampai di atas ternyata kita dapat melihat keseluruhan Kawah Ijen hingga ujung, andai tidak terhalangi asap penambang belerang maka seperti mangkuk raksasa berwarna hijau. Di sini saya juga sempatkan update status Foursquare, karena kebetulan sinyal di kawah malah lebih baik, beberapa sinyal operator tertangkap. Daerah Kawah sudah memasuki kabupaten Banyuwangi, sedangkan Paltuding masih masuk kabupaten Bondowoso.
Waktu sudah mendekati pukul 8 pagi, ketika memutuskan turun kembali ke Paltuding. Alasannya terik matahari semakin tajam, di saat yang bersamaan mulai banyak wisatawan berdatangan. Ketika sampai di jalur pendakian, pemandangan gumpalan awan di bawah Gunung Meranti dan Raung mulai meninggi, awalnya ingin berlama-lama lagi melihat pemandangan tersebut, tetapi terik panas matahari juga seperti tidak mau kalah, hingga memutuskan kembali lebih cepat.
Jalan turun ternyata cukup jauh dan perlu berhati-hati, karena menurun cukup tajam, hendak jalan santai tetapi sengatan matahari yang tajam membuat saya tidak ingin berlama-lama berjemur di bawahnya. Dari teorinya jalan menurun harusnya lebih cepat, tapi kita harus memerhatikan langkah untuk menahan laju tubuh. Beberapa kali saya dan pengunjung lain nyaris terpleset, ketika ingin cepat sampai bawah menghindari panas matahari. Pukul 9 pagi saya sudah sampai lagi di Paltuding.
Kembali untuk siap-siap dan mengembalikan kunci penginapan, pagi itu suasana Paltuding sangat ramai dengan mobil tour yang terparkir. Saya sempatkan pula sarapan di warung, kali ini warung "Bu Im" dengan sepiring nasi goreng. Sempat ditawari bakwan oleh Bu Im-nya sendiri, mengacungkan jempolnya memberi tanda jika jajanan itu enak dan renyah. Saya jelaskan pula bahwa saya orang Indonesia dari Jakarta, seketika si Bu Im terbahak-bahak, menjadi orang kesekian yang mengira saya turis asing. :P
Awalnya saya inign turun menumpang truk belerang, tapi salah satu penambangnya menawari saya untuk ikut turun. Satu pilihan yang dapat menyingkat waktu, hingga saya terima tawarannya dengan cepat, tentunya dengan sejumlah biaya.
Berbeda dengan jalur Bondowoso yang merupakan kawasan hutan gersang, maka di jalur ke Banyuwangi ini kondisi hutan-nya lebih menyejukkan mata. Hamparan pepohonan hijau menghiasi jalur (Saat itu) rusak bergelombang. Di sepanjang jalur saya melewati beberapa mobil jeep dari tour yang mungkin juga dari Ijen tadi. Diantarkan hingga memasuki kota di terminal Sasak Perot, di sana sudah ada angkutan umum tersedia.
Awalnya saya hendak menjelajahi kota Banyuwangi terlebih dahulu, tapi niat tersebut diurungkan karena ingin cepat menyebrang ke Bali. Dari sana saya satu kali berganti angkutan di pasar Blimbingan untuk ke Pelabuhan Ketapang, kemudian diturunkan dekat pintu keberangkatan penumpang nampaknya saya mulai memasuki tujuan saya berikutnya, yaitu Bali. Liburan transit di Bali - menyusul