Pada bulan Agustus ini saya mendapat kesempatan untuk "berlibur" selama dua minggu. Sebagian besar menyusuri kawasan Jawa Timur, di antaranya satu tujuan yang membutuhkan waktu untuk mencapainya. Uniknya hanya ada satu objek wisata alam yang di tuju selama di sana, yaitu kawah Ijen pada tanggal 10-11 Agustus 2012.
Babak wisata alam kawah Ijen ini dimulai pada tanggal 09 Agustus 2012 jelang siang hari, ketika saya sampai di terminal bus Probolinggo, setelah turun dari kawasan Bromo pada pagi harinya. Saat diturunkan di sana, saya banyak dihampiri oleh pemilik travel untuk menggunakan jasanya. Umumnya rute wisata akan bergerak ke daerah selanjutnya yaitu Ijen. Banyak wisatawan asing yang mengikuti tour travel yang demikian, setelah dari Bromo maka akan melanjutkan ke Ijen, bisa juga sebaliknya.
Nampaknya cara demikian (ikut travel) memanng praktis, tetapi dalam rencana saya baru akan mendekati kawasan Ijen pada esok harinya, menyesuaikan jadwal operasi truk pengangkut belerang ke arah Banyuwangi. Jika saya mendekat pada hari itu juga, maka keesokannya (Hari Jumat) saya tidak akan bisa menumpang truk Belerang karena hari itu jadwal libur mereka.
Pada akhirnya saya tetap masuk terminal dan mengabaikan tawaran calo, untuk selanjutnya menggunakan angkutan umum ke kota Bondowoso. Saya berencana naik Ijen melalui jalur tersebut, terdapat jalur lain yaitu melewati Banyuwangi. Bus yang saya tumpangi sekali berhenti di terminal Besuki yang sudah masuk kawasan Situbondo, lewat dari pukul 2 siang akhirnya saya sampai di terminal Bondowoso.
Rencana berikutnya melanjutkan angkutan menuju Sempol, yaitu suatu daerah yang sudah cukup dekat dengan kawasan gunung Ijen. Dari info yang sudah saya ketahui, angkutan tersebut hanya beroperasi sampai pukul 2 siang. Saat bertanya ke petugas terminal maka disebutkan angkutan terakhir pukul 1 siang.
Pada awalnya saya berencana tetap berangkat menggunakan angkutan lain untuk mendekat ke daerah sana, karena di sana juga ada beberapa kawasan wisata sejuk, seperti Balewan yang terkenal dengan perkebunan kopi. Hal tersebut dibatalkan setelah mengetahui satu-satunya angkutan umum yang menuju kawasan tersebut hanya yang rute Sempol, sehingga saya memutuskan menginap di daerah kota saja untuk keesokan paginya berangkat.
Kota Bondowoso masih memperbolehkan becak beroperasi, di mana saya diantarkan ke pusat kota dekat dengan alun-alun. Kemudian menginap di penginapan yang terjangkau harganya, kamar standart 55rb per malam. Pada malam harinya keluar untuk mencari makan di alun-alun kota, sejenis ruang terbuka yang dimanfaatkan warga untuk berjualan, sebagian besar makanan.
Keesokan paginya maka saya sudah siap bergegas untuk ke terminal, jaraknya cukup dekat sehingga saya memutuskan berjalan kaki saja, tidak seperti kemarin harinya yang menaiki becak karena benar-benar tidak tahu jalan. Jika dilihat kota Bondowoso ini memang seperti kota daerah pada umumnya, dijalan utama yang besar dengan ruko yang kedua sisinya, tidak seramai kota sekelas Bandung.
Ketika sampai di terminal maka saya bertanya angkutan manakah yang akan berangkat ke Sempol, diarahkan di baris paling ujung. Ternyata jenis kendaraan yang digunakan bukan minibus biasa, tetapi seperti angkutan ber-plat hitam di Jakarta yang lebih menampung banyak penumpang, atau persis dengan model angkutan umum dari Bromo-Probolinggo sebelumnya.
Pada saat datang sempat berbincang dengan salah seorang yang juga akan ke sana, orang itu asalnya dari Jember dan mengatakan mobil yang pertama sudah jalan satu jam yang lalu. Akhirnya saya menunggu angkutan tersebut jalan, meski ternyata cukup lama juga waktunya. Hampir dua jam lewat dari jam 9 pagi ternyata tidak ada satupun mobil yang berangkat.
Dijelaskan mobil hanya akan jalan jika telah penuh dengan penumpang. Dari orang tersebut saya baru mengetahui info penting, jika mobil angkutan yang berbaris rapih tersebut hampir semuanya berasal dari kawasan Sempol, yang pagi datang turun ke kota dan akan kembali lagi dengan sebagian penumpang yang sama. Mereka turun ke kota untuk membeli keperluan bahan pokok, atau membeli barang untuk dijual lagi di sana. Orang yang belum saya sempat tanyai namanya juga hendak berjualan, menunjukkan barang bawaannya.
Mendekati pukul 10 siang belum ada satupun mobil yang menunjukkan tanda akan berangkat, hingga satu mobil akhirnya jalan sendiri, hanya dengan berisikan satu dua penumpang saja. Orang yang berbincang dengan saya tadi berlari menghampiri mobil tersebut dan berbicara pada supir, kemudian mengambil barang bawaannya dan mengajak saya untuk berangkat.
Supirnya menanyakan tujuan saya dan menjelasakan mobil akan berhenti dahulu di beberapa tempat. Langsung saya setujui, karena dalam benak yang penting saya dapat sampai Sempol secepatnya.
Angkutan beberapa kali berhenti di pasar dan beberapa toko. Saya perhatikan mobil mengangkut berbagai bahan makanan pokok seperti beras, minyak, telur, gas elpiji, dsb. Kemudian mengangkut banyak jirigen bensin, saat berhenti di stasiun pengisian bahan bakar, semuanya diletakkan dibagian atas mobil yang memang sudah dipersiapkan untuk mengangkut barang bawaan.
Dalam benak diri mengetahui bahwa si supir sudah mengerti barang apa saja yang harus diangkut, mungkin sudah diberi catatan dari warga yang menggunakan jasa angkutnya. Terlihat dari beberapa bahan makanan pokok ditandai dengan nama tertentu. Nampaknya model angkutan umum rute Sempol ini menjadi unik, saya melihat sendiri ternyata warga sana (Sempol) memanfaatkan benar kesempatan turun atau belanja ke kota. Mungkin karena posisi desa Sempol berada di tengah hutan, untuk menuju ke sana kita akan melewati jalan yang di kedua sisinya masih hutan, seperti dijelaskan orang yang saya kenal di terminal.
Hingga sampailah di suatu pertigaan jalan, sepertinya sudah akan mengarah menjauhi kota. Di sana mobil yang sudah penuh tetap mengangkut penumpang baru, seperti ketika berhenti di beberapa pasar. Pertigaan tersebut menjadi titik terakhir angkutan umum tersebut berhenti mengambil penumpang, hingga mobil sangat penuh dengan penumpang. Saya sendiri berbagi tempat duduk dengan warga, menempatkan tas ransel dalam pangkuan.
Perjalanan yang cukup membuat gerakan tubuh terkunci, dalam arti tidak ada ruang untuk bergerak. Saya hanya menikmati keadaan tersebut, yang mungkin sangat jarang saya alami.
Seingat saya pertama-tama mobil melewati area sawah, kemudian memasuki hutan yang cukup gersang, kadang jalan aspalnya rusak bergelombang sehingga mobil melambatkan lajunya.
Sepanjang jalan saya melihat beberapa truk yang berhenti untuk memperbaiki kendaraannya. Beberapa jam dengan kondisi jalan yang bergelombang kami lewati untuk sampai ketujuan masing-masing. Saat mobil mulai keluar hutan terhamparlah pemandangan perkebunan di sekeliling, pada saat itulah salah satu penumpang turun. Kemudian mobil melanjutkan perjalanan namun sudah tidak jauh.
Tidak lama kemudian kami sampai di suatu desa yang dinamakan Sempol itu, karena banyak pemukiman penduduk terlihat. Orang yang saya kenal tadi turun di sana dan beberapa penumpang lain juga ikut turun, hingga si supir menurunkan barang bawaan mereka dari atas bagian mobil. Dijelaskan lokasi terminal sudah dekat, berjarak beberapa ratus meter saja.
Awalnya saya belum berniat turun, tapi mobil dikatakan akan ke tempat lain dahulu menurunkan barang, tidak langsung ke terminal. Hingga akhirnya saya memutuskan turun untuk berjalan kaki saja, ongkos yang dikenakan supir sesuai dengan info yang diberitahu orang yang saya kenal sejumlah 15rb rupiah. Kemudian saya berpisah dengan orang yang cukup memberi saya banyak informasi tersebut.
Setelah jalan beberapa menit maka sampailah saya di suatu tempat lapang, mirip seperti tempat parkir peristirahatan yang memanjang, tempat itulah yang disebut warga sebagai terminal, plus hanya ada satu jenis rute angkutan saja, yaitu rute yang baru saja saya naiki, Sempol-Bondowoso.
Ketika sampai saya melihat ada tiga turis asing berbincang dengan warga, saya dekati ternyata tujuan mereka sama yaitu Paltuding. Dari info yang sudah saya kantongi maka transport selanjutnya hanya ojek, karena sudah tidak ada angkutan umum lagi.
Karena belum mengisi perut dari pagi dengan makanan berat, maka saya makan di salah satu warung di terminal tersebut, waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Setelah selesai saya berjalan mencari ojek yang ternyata cukup sulit dijumpai. Ketika saya makan tadi ada tiga pengojek yang membawa tiga turis asing tersebut.
Kamudian saya masuk ke sebuah rumah sakit yang banyak berjejer motor terparkir, barangkali mereka adalah ojek yang jasanya dapat digunakan untuk mengantar saya. Hingga berbincang dengan salah satu orang yang duduk di teras, di mana tiga pengojek tadi salah satunya merupakan petugas keamanan (satpam) di rumah sakit tersebut. Jadi disarankan menunggu saja, dijelaskan pula pengojek di sana itu tidak resmi, karena bersifat dadakan semua.
Setelah beberapa lama menunggu datanglah orang yang tadi menjadi pengojek dadakan tersebut, saya akhirnya nego biaya untuk ke sana yang pastinya di bawah ketiga turis asing tadi. Menuju Paltuding terhampar banyak perkebunan di kedua sisi, sempat pula melewati percabangan jalan ke arah Balewan yang merupakan perkebunan kopi. Kemudian sampai di Paltuding pada jelang sore mendekati pukul 4 sore, selanjutnya babak melihat Kawah Ijen dimulai.