Sudut kamera?
Bagian dari body fisik kamera maksudnya?
Untuk cerita kali ini, mungkin ada hubungan juga dengan cerita ini sewaktu dulu. Ibaratnya sebuah pengalaman memang dapat berdiri sendiri, tapi akan lebih lengkap jika ada pandangan dari arah lain yang sesuai. Secara kebetulan pula hal itu menjadi ide cerita ini, tentang Sudut Kamera, sebagai alat yang lumrah ada di sekitar kita sekarang.
Sejak awal membeli kamera, serta yang pertama kalinya pakai uang sendiri, pastinya mulai ada keinginan mengabadikan suasana. Jadi untuk apa lagi punya kamera kalau bukan untuk berfoto. Selain membuat kenang-kenangan melalui gambar diam, bentuk kamera juga ikut andil, karena berpengaruh dengan pilihan, pastinya yang menarik. Xp
Sepak terjang pertama kamera digital saya ada di tahun 2006, kala itu untuk sekadar punya saja. Tidak atau belum punya rencana membuat video perjalanan wisata. Hanya untuk iseng-iseng dan melakukan dokumentasi di pergaulan bersama teman saja, termasuk andai berpegian ke suatu tempat wisata. Kemudian berfungsi juga untuk pembuatan tugas kuliah, menjadi andalan yang mumpuni.
Kemudian di tahun 2011 membeli kamera penerusnya, dengan fungsi utama yang mulai terbentuk. Bukan sekadar untuk berfoto saja, tapi memanfaatkan fasilitas perekaman video. Meski kala itu belum tahu dan belum punya rencana, untuk diapakan data dokumentasi tersebut. Mungkin hanya untuk sekadarnya saja, punya beberapa potongan gambar sebagai kenang-kenangan.
Perjalanan perdana dari kamera pertama saya adalah ketika berwisata ke Pangandaran. Mengambil foto dan video sekedarnya saja, belum ada konsep dokumentasi yang jelas. Salah satu yang cukup teringat ketika saya tepat waktu, untuk mendapat gambar dengan pemandangan terbaik. Kala itu turun dari perahu dengan tetap membawa kamera, ketika berwisata di Green Canyon. Kemudian meminta teman untuk mengambil gambar, sebelum menitipkan kamera di perahu, karena kami semua akan berenang ke depan.
Tujuan untuk dokumentasi baru mulai datang, pada perjalanan berikutnya ke Bali selang beberapa bulan. Pengambilan gambar juga masih agak sekadarnya, tapi sudah ada niat untuk menyatukan momentum tersebut, menjadi sebuah video perjalanan. Kala itu belum banyak yang melakukan dokumentasi wisata, tapi memang sebuah video akan jadi media yang lebih hidup ketimbang foto. Salah satu inspirasinya adalah iklan dari produk rokok, ketika menjelajahi beberapa tujuan wisata di sini, kemudian tentang inspirasi ini juga sudah didongengkan di sini.
Dokumentasi selanjutnya adalah ke Dieng dan Jogjakarta, kali ini persiapan akan lebih maksimal, karena memang ingin membuat video sejak awal. Konsep masih belum terlalu menemukan bentuk, tapi sudah ada rencana membuat momentum sebanyak-banyaknya. Praktis pada perjalanan kali ini menjadi yang terbesar, untuk ukuran arsip foto dan video yang dibawa pulang (Total +/- 20 GB lebih, sebelum yang tidak terpakai banyak dihapus). Tersimpan dalam beberapa kartu memori kamera yang sudah disiapkan.
Kala itu kamera punya ukuran video dengan resolusi 640 x 480 pixel, sekarang ini terkenal dengan sebutan video kualitas SD (Standart Definition). Pada zamannya dulu berkualitas cukup baik, meski bukan yang tertinggi. Plus karena merasa banyak data yang terbuang, pasca kepulangan dari Dieng Jogjakarta, selanjutnya menjadi lebih selektif menangkap momentum. Caranya bagaimana? Sudah terbayang di kepala gambar mana saja yang akan diabadikan, hingga mengambil rekaman seperlunya saja yang penting.
Cara dokumentasi efisien ini mulai diterapkan pada perjalanan selanjutnya, hingga tidak memakan ukuran memori yang terlampau besar. Saat melakukan penyuntingan video, pemilihan potongan rekaman juga lebih mudah, karena tidak terlalu banyak. Tersedia cukup dokumentasi, serta punya tujuan untuk masuk dalam kompilasi video perjalanan ala saya.
Sampai akhirnya ada kamera penerusnya yang lebih baru, untuk melakukan tugas yang sama di tahun 2015. Perangkat baru ini langsung melakukan perjalanan perdana ke Borobudur Jogjakarta, mulai ada fasilitas yang cukup canggih bagi saya. Apaan tuh? Adalah kemampuan zoom lensa, karena bisa dimainkan saat rekaman dilakukan, hingga sejak itu mulai banyak dokumentasi yang gambarnya bisa maju mendekat dan mundur menjauh.
Meski kamera ini sudah punya kualitas perekaman HD dengan ukuran 1280 x 720 pixel, tapi saya masih bertahan di ukuran SD cukup lama. Salah satunya terpengaruh dengan bentuk viewfinder (jendela bidik) dari kamera itu sendiri. Andai memakai kualitas SD maka seluruh ruang akan terpakai, sementara jika memakai kualitas HD, maka bagian atas dan bawahnya akan terpotong sedikit, hingga video akan lebih memanjang secara panorama.
(Rekaman 720p kualitas HD tinggal sisa 63 menit)
Perubahan drastis akhirnya kejadian saat menjajal perekaman HD, baru saya lakukan saat melakukan liburan ke mancanegara di 2019. Kala itu memang ingin membuat sesuatu yang baru, serta dengan kualitas gambar yang memang lebih baik didapat. Pastinya video jadi lebih halus karena semakin banyak titik pixel ditembak, tapi penampakan dari jendela bidik agak memanjang ke samping ukurannya.
Praktis sejak perjalanan ke tiga negara tersebut, Malaysia Thailand Singapura, seluruh video perjalanan saya baru memakai kualitas HD yang dikenal dengan kode 720p. Cukup tepat waktu juga untuk sebuah peningkatan, meski kini yang lumrah itu kualitas HD+, dengan ukuran video yang lebih tinggi 1920 x 1080 pixel. Kemudian kode berubah saat kualitas makin naik, seperti FHD, UHD, bahkan hinggal resolusi tertinggi dengan julukan 4K. (Konon semakin tinggi dan tajam sebuah video, mata kita bekerja lebih ekstra, hingga terasa akan cepat lelah saat fokus menonton)
Dokumentasi terakhir saya menggunakan kamera ini adalah belum lama ini, saat mengabadikan wilayah sendiri kota Jakarta. Ada dua versi di siang hari dan malam hari, dengan menggunakan musik Senam Kesegaran Jasmani yang berbeda versi pula. Menjadi satu rangkaian dokumentasi dengan satu perangkat penuh, sebagai cara klasik saya mengabadikan suasana sekitar. Xp
Klik di sini
Di atas adalah dokumentasi yang memakai satu perangkat penuh, alias hanya pakai satu jenis alat kamera saja. Kemudian berlanjut dengan perkembangan terkini, karena segala macam jenis kamera beredar di pasaran. Salah satunya berupa kamera aksi, itu sudah diceritakan di sini. Serupa dengan dokumentasi menggunakan satu perangkat, kamera aksi juga ada dengan isi videonya yang menyeluruh. Untuk videonya sendiri ada judul khusus Edisi Jalur, salah satu contohnya di bawah ini.
Kemudian tidak ketinggalan pula kamera dari handphone kita, karena perkembangannya sudah sangat tinggi. Fakta inilah yang membuat produsen kamera digital biasa mulai kurang gaung, karena tidak lagi menjual produk di semua kelas. Alasannya untuk kelas menengah ke bawah akan bersaing langsung dengan aneka gadget handphone, hingga sekarang ini mereka lebih fokus pada produk kelas menengah ke atas saja.
Nah cerita sudut kamera bermula dari sini, ketika kita membuat video dengan menggunakan dua atau lebih alat kamera, tidak hanya satu saja. Selain mengambil momentum di jalan raya pakai kamera aksi, saya juga mengabadikan suasana lain dengan kamera handphone. Karya "campuran" ini saya berlakukan di dua dokumentasi terakhir, yaitu Puncak Megamendung di sini dan Bogor Cibodas dalam video di bawah ini. Sekaligus memanfaatkan keunggulan kamera aksi, karena bisa merekam di dalam air dengan bantuan casing waterproof.
Untuk teknik pengambilan gambar, ketika akan digunakan untuk video atau untuk eksis di media sosial agak berbeda. Jika ingin update di internet, biasanya kita akan mengambil jenis portrait, artinya posisi kamera dan bidikan itu memanjang tinggi ke atas. Sementara untuk dokumentasi yang akan dibuat video klasik, bidikan gambar itu berbentuk landscape yang memajang ke samping. Contohnya video di bawah ini, awalnya pakai tipe portrait ala eksis media sosial, kemudian terakhir diputar jadi landscape.
Potongan video di atas itu saya pakai ukuran 1080p, dengan durasi 11 detik saja sudah memerlukan memori (24 MB). Jadi semakin tinggi resolusi akan semakin tinggi kualitas, serta semakin besar pula ruang digital yang digunakan. Plus karena masih berupa dokumentasi pribadi, serta efisiensi pengambilan data, kita harus memanfaatkan ruang penyimpanan semaksimal mungkin, bukan sebaliknya menjadi serakah. :P
Jadi jangan pula dibandingkan dengan hasil video dari para professional, karena mereka biasanya berupa kelompok yang terdiri beberapa orang. Semua dapat melakukan bagiannya masing-masing, agar mendapat beberapa target gambar yang sama, tapi dari posisi yang berbeda. Tentunya hasilnya akan lebih bagus, karena kita punya beberapa pemandangan yang berlainan dalam satu waktu.
Untuk keunikan sudut pengambilan gambar sebetulnya juga sudah saya tuliskan di sini. Berbicara mengenai sebuah video klip musik, beredar untuk kepentingan komersial. Mereka bisa menggunakan banyak kamera sekaligus, tentunya dengan posisi yang berbeda-beda pula. Hingga sudut kamera itu terasa mudah saja bagi mereka. Agak beda dengan dokumentasi pribadi, karena semua gambar diambil oleh tangan saya sendiri, tanpa campur tangan orang lain. Xp
Sudut kamera?
Artinya dari sudut mana kamera itu beraksi.
Termasuk pula settingan yang dipakai, dari sudut mana.