Melukis dengan Cahaya, wih keren banget kalimatnya, terasa oke dan berkelas. Aktifitas itu digunakan oleh para pengabdi momentum yang menangkap sesuatu, termasuk waktu. Menangkap waktu? Memangnya bisa? Sangat bisa, karena kita hidup pada zaman keemasannya.
Waktu yang di "Pause" atau dipotong seketika, kita semua pasti pernah melakukannya, sangat murah untuk didapatkan. Bahkan karena sangat mudahnya, hal itu sampai menjadi tidak begitu penting lagi, dan agak luput diperhatikan dalam posisinya. Seperti kegiatan naik kendaraan atau nonton televisi yang sudah sangat biasa. Apa itu?
Pergerakan pertama itu ketika keberadaannya disematkan kedalam teknologi telepon genggam, identitas handphone kamera mulai identik. Berbagai macam produksi mulai membanjiri pasar, dengan teknologi mewahnya kamera yang sebatas VGA 640 x 480 pixel.
Perangkat pertama saya kala itu adalah SE T610, yang "hanya" punya resolusi 352 x 288 pixel, pada zaman itu masuk kategori standart batas bawah, nilai jualnya juga masih tinggi, sekitar kepala dua juta. Pertimbangan lain yang saya miliki adalah bentuk yang harus memenuhi unsur harus "eye catching", tidak seperti model lainnya yang kala itu sedang naik daun, agak bongsor meski kualitasnya kameranya lumayan. :p
Pada masa itu saya terobsesi dengan teknogi zoom, terpengaruh juga sama kemampuan "ngintip" kamera dengan kekuatan zoom panjangnya. Meski yang dimiliki kamera HP cuma digital zoom, alias cuma memotong gambar dengan perbesaran palsu. Cara yang murni dan asli itu dinamakan optical zoom, yang harus memainkan maju mundur lensa. :P
(Atau perkembangan terkini di 2019, zoom kamera bisa "panjang" dengan menumpuk beberapa lensa dalam satu titik. Jadi ada perubahan kualitas yang sangat tajam, digital zoom dengan "cara kerja" optical.) :P
Kemudian teknologi imaging yang berkembang sampai pada hitungan megapixel, tapi masih berada di bawah resolusi kamera digital. Pada waktu itu standar seluruh kamera digital berukuran 3,2 MP. Pada masa ini sudah ada kamera merk Olympus di rumah yang model geser, memori-nya hanya 16MB, kapastitas sekali pakai (sebelum hapus) sebanding dengan satu roll film negatif. Hanya untuk sekadar iseng saja, jarang pakai dan begitulah, saya tidak keluar biaya, tinggal pakai saja. :)
Ukuran sensor 3,2 MP bertahan lebih lama, sampai ada kegatelan untuk punya bentuk kamera sendiri yang lebih keren. Pilihan jatuh kepada Canon PSA430 dengan ukuran 4.0 MP saja, satu tingkat di atas standart pada umumnya. Modelnya buat jatuh hati, meski cukup tebal sewaktu dulu. Cukup asyik untuk dibawa2 dalam kantong celana.
Kegunaannya juga tidak banyak, hanya untuk sekadar punya saja dan akhirnya difungsikan juga untuk seluruh tugas kuliah audio visual kala itu, jadinya sebelum 2007 sudah ada. Sampai jelang tutup tahun 2010 mulai "ngambek" alias rusak untuk sensor foto, tapi kalo video aman.
Kegunaannya juga tidak banyak, hanya untuk sekadar punya saja dan akhirnya difungsikan juga untuk seluruh tugas kuliah audio visual kala itu, jadinya sebelum 2007 sudah ada. Sampai jelang tutup tahun 2010 mulai "ngambek" alias rusak untuk sensor foto, tapi kalo video aman.
Tahun 2011 awal mulai nge-lirik kamera lain untuk pengganti, masih model saku karena enggan angkut yang mahal, karena toh fungsinya sama, dengan ukuran rata2 10 MP kala itu sudah cukup tajam.
Kembali model dan bentuk ikut andil dalam penentuan, jadinya Canon PSA3100IS berhasil dibawa pulang dengan kisaran harga 1,5 jutaan. Pengabadi waktu yang mulai bertugas ganda, karena selain foto, fungsi video juga dimaksimalkan. Kamera "travelling" yang masih oke sampai sekarang (Feb 2015).
Kembali model dan bentuk ikut andil dalam penentuan, jadinya Canon PSA3100IS berhasil dibawa pulang dengan kisaran harga 1,5 jutaan. Pengabadi waktu yang mulai bertugas ganda, karena selain foto, fungsi video juga dimaksimalkan. Kamera "travelling" yang masih oke sampai sekarang (Feb 2015).
Tahun ini kembali gatal lihat-lihat display on-line, akhirnya iseng2 mengangkut penerusnya yang makin murmer. Jadi murah karena katanya persaingan dengan kamera handphone, resolusinya sudah tidak jauh. (ukuran 3-4 MP sudah cukup baik ketajamannya, lebih dari itu yah lebih baik) :))
Sengaja cari yang kisaran harga yang tetap, tapi malah semakin murah di bawah 1 juta, jadilah Canon IXUS 145 diangkut. Zoomnya panjang sampai 8x, plus bisa dimainkan pas nge-rekam gambar, fitur yang baru saya sadari tidak bekerja di kamera sebelumnya . :D
Kamera-nya yang murmer terus, pelit yah? Tidak juga, jawabannya sesuai dengan kebutuhan. Lagi pula saya pernah coba yang canggih sekilas, waktu itu dimintai tolong sama orang lain buat ambil gambar, masih sekelas kamera saku tapi yang kualitas bagus (Ada harga ada rupa). Sempat lihat hasil gambarnya kala itu, ternyata sangat bagus dan berwarna lebih kontras, alias beda banget sama keadaan lapangan yang asli. Teknologi canggihnya sudah bisa memanipulasi keadaan, hingga pantas disebut dengan hi-tech kamera. Semakin canggih tentu efek "menipu" juga tersedia dengan berbagai macam bentuk. (Beda kalo sudah masuk photoshop, itu sudah beda cerita) :)
Sepertinya jadi aneh, misalnya takjub melihat pemandangan cantik yang apa adanya itu. Tapi malah memakai kaca mata yang dapat merubah warna pandangan. Atau dengan fungsi kamera sengaja membutakan "mata" dengan berbagai efek lain, biar terlihat lebih "WAH" pakai huruf besar.
Kejadian yang hampir serupa juga terjadi. seperti teknologi perubah wajah (asli bukan photoshop), tapi tetap saja yang oplas alias aspal tidak akan bisa mengubah benihnya sendiri. Teknologi "dempul" itu tidak lepas dari adanya permintaan, untuk mengejar penampakan (yang bisa menipu) itu, meski hal itu sendiri sebagai daya tarik awalnya. :))