Pada tanggal 11 Agustus 2012 yang lalu saya kembali ke pulau Dewata, setelah pada pagi harinya datang dari Kawah Ijen di Banyuwangi Jawa Timur.
Menyeberang dengan waktu yang lebih cepat dari perkiraan, hingga akan diam di Bali selama 4 malam sebelum pulang. Awalnya saya hendak jalan-jalan dahulu di pusat kota Banyuwangi, tapi nampaknya niat tersebut diurungkan. Alasannya karena kota sepertinya sama saja, sehingga ketika turun dari ojek yang saya gunakan, langsung menyambung dua kali angkutan umum, untuk langsung ke pelabuhan Ketapang.
Ketika sampai banyak calo yang menawarkan jasa, untuk menaiki busnya menuju kota Denpasar. Hal itu saya abaikan dengan langsung menuju lokat penyeberangan umum. Kapal yang saya naiki tidak terlalu besar, tapi mengangkut juga beberapa mobil pribadi. Duduk di bagian atas yang banyak tersedia tempat duduk, hanya sekitar 15 menit saja kita sudah sampai di pelabuhan Gilimanuk Bali.
Saya melihat hampir seluruh penumpang sudah memiliki transportasi lanjutan baik bus, mobil, dsb. Berjalan kaki keluar untuk menuju terminal yang jaraknya beberapa ratus meter. Saat masuk terminal hanya ada satu bus yang ke arah Denpasar, dan akan segera berangkat karena sudah penuh. Hari itu berniat ke arah Singaraja, untuk mengunjungi kawasan Lovina kabupaten Buleleng. Tapi baru tahu bahwa rute tersebut hanya dilayani oleh minibus besar, secara kebetulan siang itu tidak ada penumpung.
Sang supir memberi solusi, bahwa untuk langsung jalan maka diharuskan membayar dengan tarif sewa. Kala itu hanya ada saya dan sepasang turis asing yang juga ingin ke sana, sampai diputuskan membagi biaya menjadi bertiga. Di dalam diikutsertakan pula warga lokal pelajar, jadi hanya ada empat penumpang saja, kemudian mobil jalan dengan pintu tertutup.
Perjalanan menempuh waktu hampir dua jam, karena sampai di Lovina sudah jelang sore. Jarak antara Lovina dengan kota Singaraja sendiri lebih dari 10 kilometer. Si supir sempat berhenti di Lovina Central, tapi karena masih buta kawasan maka saya tidak langsung turun. Sementara sepasang turis asing tadi berhenti tidak jauh dari sana, langsung ke hotel yang dituju. Saya pun tetap duduk manis hingga masuk terminal Singaraja, kemudian pelajar yang tadi ikut turun di sana, membayar biaya normal pelajar 15rb, sedangkan biaya untuk penumpang umum sebesar itu 25rb. Dari info saya baru mengetahui bahwa bus ke arah Denpasar hanya ada pagi, atau selambat-lambatnya jelang siang.
Akhirnya saya turun di kawasan Lovina, ketika sang supir hendak mengarah kembali ke Gilimanuk. Waktu sudah pukul 5 sore WITA, menyesuaikan waktu 1 jam lebih cepat. Mencari penginapan murah sekelas losmen, hingga dianjurkan sama seorang untuk menuju salah satu gang, mungkin beliau mengerti saya tipe turis hemat. Tempat rekomendasinya cukup tepat bernama "Sander Home Stay", harga semalamnya juga terjangkau dengan biaya 120rb per malam. Letaknya stragetis sangat dekat dengan pantai, awalnya saya masih bingung ingin semalam atau dua malam bermalam di sana.
Pada akhirnya saya mengambil dua malam, karena jika semalaman nampaknya waktu yang ada esok harinya akan sangat sempit. Mengetahui jadwal "shuttle bus" ala turis atau minivan ke Denpasar hanya ada hingga jelang siang saja. Tambahan lagi saya ingin mengikuti tour lumba-lumba, serta mengunjungi air terjun di kawasan Gitgit.
Pada malamnya saya keluar jalan-jalan, tapi tidak seramai dan seluas Kuta, serta mengisi perut di tepi pantai, dengan menu campuran ala warteg di Jakarta tetapi mahal. Belakangan baru mengetahui dari penjaga penginapan, harga makanan di tepi pantai memang tinggi.
Esok paginya saya mengikuti tour lumba-lumba mengambil langsung dari penginapan seharga 60rb. Setiap kapal umumnya diisi oleh 4 orang bersama seorang pemilik kapalnya. Pagi itu saya bersama satu keluarga dari Prancis. Saat menjauh dari pantai seluruh kapal bergerak secara cepat ke arah timur, mendapat penjelasan "kapten" kapal bahwa di perairan lepas pantai Lovina pagi itu sedang tidak ada lumba-lumba. Kami bergerak hingga ke lepas pantai kota Singaraja, seingat saya alasannya lumba-lumba berkumpul di perairan yang lebih hangat.
Kapal saya termasuk yang terlambat datang, dengan alasan agar pulangnya juga lebih lama, hingga dapat konsentrasi mengejar lumba-lumba, ketika banyak kapal sudah pulang terlebih dahulu. Kapal kami cenderung santai tidak terlalu mengejar kawanan lumba-lumba, hingga beberapa kapal kembali dan kami mulai masuk ke dalam "kerumunan".
Saya ingin mendokumentasikan munculnya lumba-lumba, tapi dengan timing yang cukup sempit. Lebih memilih opsi video, agar lebih jelas terlihat. Dalam benak si lumba-lumba mungkin juga takut, karena sekalinya menampakkan diri ke permukaan langsung diserbu oleh seluruh kapal.
Akhirnya kapal kami selesai di saat yang tersisa hanya beberapa kapal saja, mungkin tidak sampai sepuluh kapal. Ketika perjalanan pulang, saya dapat melihat dasar laut dangkal sangat jelas, beberapa kali melihat bintang laut berwarna biru secara jelas.
Turis asing yang bersama juga berbincang dengan saya, bahwa mereka berada sebulan di Indonesia, seminggu sebelumnya sudah di Jawa Timur, Bromo lebih tepatnya. Tiga minggu tersisa hendak dihabiskan di Bali dan Lombok. Setelah dari Lovina tersebut keluarga turis Prancis itu berencana ke Bali Timur di kawasan Amed. Sempat juga saya coba bantu translate surat dari rekannya, yang ditulisk dalam kalimat bahasa Indonesia dengan style little-little i can. :P
Kembali ke penginapan dan mengganjal perut dengan sarapan roti bakar. Selanjutnya berencana menyewa motor seharian, saya baru mengetahui jika rental motor di daerah itu hanya seharian dari pagi sampai malam seharga 50r dengan bensin yang penuh, tidak berlaku selama 24 jam layaknya rental didaerah Kuta, pukul 9 lewat saya mulai bergerak ke kota Singaraja untuk naik menuju Bedugul. Saya perhatikan peta Googel Maps bahwa baik Bedugul dan Kintamani yang merupakan dataran tinggi memiliki banyak jalan lurus memanjang ke arah selatan, tetapi untuk arah utara jalan yang ada berkelok-kelok karena tidak panjang, dimungkinkan karena dengan jarak yang pendek dari dataran tinggi sudah bertemu dengan pantai.
Saya jalan cukup berhati-hati melewati jalur pegunungan tersebut, tujuan pertama saya adalah Bedugul tetapi saya berhenti pertama-tama ditempat parkir untuk melihat Danau Buyan secara panorama atau dari kejauhan, saya jadi mengingat ucapan dari salah satu tour guide dahulu bahwa jika melihat danau lebih bagus secara panorama (kejauhan) ketimbang kita melihatnya dari tepiannya, hal yang cukup masuk akal karena dahulu bersama teman saya ke tepian danau Buyan seperti tidak melihat apapun selain kolam saja, siang itu saya melihat danau secara pemandangan.
Namun saya mengingat ada juga danau Tamblingan yang bersebelahan dengan danau Buyan, dapat dimungkinkan untuk melihatnya secara bersamaan yaitu dari pinggir jalan Munduk, saya menuju kesana jalannya sepi ketika sampai sudah ada beberapa turis yang juga datang, jika memiliki kamera dengan lensa super lebar mungkin danau Buyan dan Tamblingan dapat diambil dalam satu "frame".
Ketika sudah selesai meng-eksplore maka saya langsung menuju Bedugul yang jalannya sudah mulai menurun dan sudah masuk kabupaten Tabanan, siang itu saya masuk ke objek wisata Pura Ulun Danu yang terletak di tepi danau Beratan, karena saya beum pernah kesini, pernah ke Bedugul bersama teman tetapi hanya melihat danau dari tepian tempat peristirahatan saja, tiket masuk 10rb saja, tempat yang selalu dipenuhi wisatawan, tidak sampai setengah jam saya disini kebetulan saat akan pulang terdapat pertunjukkan tarian lokal sehingga sempat mengabadikannya juga, kemudian saya makan siang di tempat peristirahatan disebelahnya.
Selesai mengisi perut maka tujuan selanjutnya adalah melihat air terjun Gitgit, yang posisinya terletak antara jalan Bedugul Singaraja sehingga arahnya sudah akan kembali, tetapi saya melihat ada air terjun Gitgit Twin, saya berhenti saja dahulu ingin melihat, masuk dengan tiket 5rb saja, jalan beberapa ratus meter hingga ke air terjun, ternyata disini terdapat dua air terjun, yang pertama itu bernama air terjun Campuhan yang memiliki dua guyuran. Aliran dari air terjun pertama ini mebentuk air terjun kedua yang berjarak beberapa puluh meter bernama air terjun Mekalangan.
Selesai dari sana maka saya menuju air terjun Gitgit yang utama, jalannya sudah agak lebih dibawah, dari jalan raya perlu berjalan beberapa ratus meter juga, disini air yang mengalir cukup deras, sepanjang jalan terdapat beberapa toko kios cinderamata, setelah selesai jelang sore maka saya kembali ke Lovina setelah membeli nasi bungkus di dekat kota Singaraja.
Ketika mengembalikan motor maka baru saya berjalan-jalan disekitar pantai Lovina, kemarin harinya tidak sempat karena sudah terlalu sore untuk mencari penginapan terlebih dahulu, hari itu setelah mendapatkan momen matahari terbit di perahu saat tour lumba-lumba, sore harinya saya juga mendapat suasana matahari terbenam yang cantik, di tengah garis pantai yang terdapat tempat parkir berdiri patung lumba-lumba yang sudah rusak sebagian, menandakan pantai tersebut memang identik dengan lumba-lumba sebagai wisata unggulan.
Tidak dapat yang banyak dilakukan disini ketika malam karena pusat keramaiannya juga tidak terlalu luas, keesokannya saya memutuskan mengambil "Shuttle Bus" ke arah Kuta, lebih tepatnya turun didekat airport supaya dapat langsung menyewa motor di rental, nampaknya saya sudah tidak ingin repot dengan menaiki bus umum, esoknya pukul 9 pagi maka saya ikut minibus yang seluruhnya penumpangnya adalah turis asing dengan melewati jalur Bedugul, hanya satu orang yang turun di Ubud, selebihnya di Kuta mungkin, karena saya jadi penumpang kedua yang turun ketika melewati dekat airport Ngurah Rai, dengan demikian dilanjutkan ke bagian Menyisir Habis Kawasan Selatan Bali.