Sabtu, 01 Juni 2013

pendakian Gunung Prau (Dieng)


Pada bulan Februari 2013 yang lalu, saya memutuskan kembali lagi ke kawasan wisata Dieng. Untuk sekedar melepas penat dan mencari suasana baru di tempat yang lama, karena sudah pernah sebelumnya. :D

Satu-satunya tempat baru yang diselipkan adalah pendakian Gunung Prau. Tempat ini belum sempat dikunjungi sebelumnya, sehingga rasa semangat masih cukup menggebu.

Sebelum sampai sudah direncanakan untuk bertemu salah satu kaskuser bernama Kukuh (saya lebih senior sedikit :p), ini sumbernya Dieng Abode of The Gods. Ketika sampai di kawasan ini, saya langsung mengambil penginapan selama dua malam.

Meski akan menghabiskan waktu dua malam, tetapi saya mengutamakan mendaki gunung prau pada hari kedua keesokan harinya. Malamnya langsung membicarakan rencana tersebut, maka saya dibantu oleh Kukuh untuk dicarikan pemandu untuk naik ketika makan malam.

Kepastian baru saya dapatkan selewat pukul 9 malam. Kukuh datang di saat yang tepat, mengajak temannya untuk merundingkan rencana tersebut. Sebelumnya saya mencoba untuk menahan kantuk.

Esoknya jelang pukul 3 pagi saya sudah bersiap. Bangun dan menyegarkan mata mencuci muka. Bersiap untuk memulai olah raga jalan kaki pada hari tersebut. Pemandu yang mengantar saya bernama Eko, yang kemudian membawa seorang temannya, tetapi lupa namanya.

Jadi subuh hari itu saya dikawal oleh dua orang, agar mantap katanya, maklum saja saya masih mental agak2 turis, bukan pendaki beneran.  Saya dipinjami satu lampu pijar yang dilekatkan dikepala. Mulai berjalan dari kawasan Dieng dibelakang penginapan, masih gelap, hanya terlihat samara-samar persawahan.

Jalan cukup landai dan santai, tidak mengalami kesulitan berarti melewati jalur yang sebetulnya tidak resmi tersebut. Hanya sekali dua kali saja berhenti berisirahat mengambil nafas.

Pukul setengah 5 pagi akhirnya sampai di puncak belakang, ditandai dengan berdirinya menara pemancar. Memutuskan berhenti di sana untuk melihat sunrise terlebih dahulu, dengan suasana yang gelap. Dari sini bayangan gunung Sindoro dan Sumbing terlihat jelas. Menikmati kopi hangat yang sengaja disiapkan.
 

Kebetulan di sana terdapat satu tenda yang berdiri, berjarak beberapa meter ke depan. Lautan awan terlihat dari arah datangnya matahari di sebelah timur. Terlihat agak jauh karena terhalang dari tebing Gunung Prau sendiri yang memanjang ke arah selatan.

Sebelum sunrise datang, kabut terlebih dahulu menyapa kedatangan kami. Awalnya sempat was2 akan menghalangi pemandangan, untungnya selentingan asal yang ga asal itu terbukti benar. Karena kabut seolah berlaku menjalankan perannya, memberi ucapan selamat datang kemudian menghilang.

Saat peristiwa sunrise sudah lewat, maka kami kembali berjalan lewat pukul 6 pagi. Puncak belakang ini seperti ekor yang terhubung dengan badan panjang Gunung Prau. Melewati punggungan yang tidak terlalu luas dan panjang sebagai penghubung. Dari sini kawasan Dieng Plateau juga terlihat kecil di bawah.

Jalan kaki melewati padang rumput di atas gunung. Kontur permukaan tanahnya bergelombang membentuk beberapa cembungan, jadi istilah yang terkenal adalah bukit teletubbies. Pada pertengahan jalan terdapat satu tenda yang berdiri.

Kira-kira pukul 7 akhirnya sampai di puncak bagian depan. Namun sayang cuaca kurang baik karena awan menutupi pemandangan. Jadinya gagal melihat Gunung Sindoro dan Sumbing lebih dekat.

Dibagian ini terdapat satu tenda yang berdiri lagi, sekumpulan orang dari Purwokerto, berbincang juga dengan pemandu. Di sini akhirnya saya menikmati sarapan ala kadarnya yang sudah dipersiapkan. Mi instant, nasi dan ayam goreng sudah cukup untuk asupan tenaga di pagi hari itu, berada tepat di tugu perbatasan kabupaten Wonosobo dan Kendal.

Saya berlama-lama di sini menikmati suasana. Berjalan ke belakang dan ke depan. Pada satu titik merebahkan tubuh, menatap langit dua ribu enam ratus meter lebih dekat ke langit dari pada di rumah. Tidak lupa berdoa bersyukur bisa ada di sana pada hari itu.

Jelang pukul 9 akhirnya kami sudah bersiap untuk turun. Kali ini melewati jalur resmi yang justru lebih terjal, berakhir di daerah Patakbanteng, beberapa kilo meter dari Dieng Plateau, dua sampai tiga ratus meter lebih rendah.

Jalurnya memang lebih tajam dan sempit. Beberapa kali saya terpleset terjatuh. Celana panjang jeans lebih banyak dicium oleh tanah. Waktu yang diperlukan juga lebih panjang. Jika naik kurang dari satu setengah jam dengan jalur lebih panjang tetapi landai, maka jalan turun yang lebih pendek justru memakan waktu tempuh lebih lama hampir dua jam.

Pukul 11 akhirnya tiba di Patakbanteng. Sebelum kembali ke Dieng, saya awalnya iseng2 membeli cinderamata yang ditawarkan. Beberapa lembar sticker yang bukan sekadar oleh-oleh, tetapi menjadi hadiah yang menyertai. Selain pengalaman yang dirasakan juga hari itu, juga terselip pemahaman di kemudian hari pada akhirnya. :)