Kamis, 05 Juni 2014

Pagi Siang Sore Malam



Ayah, Anak dan Saudaranya keluar dari negeri nyata, tidak sengaja masuk ke negeri dongeng.


Pagi
"Jangan ke Timur, Kita akan ke Utara, arahnya aku sudah tahu, sudah banyak informasinya" ujar sang ayah, menolak usulan anaknya atas pengaruh saudaranya. Dirinya yakin karena sudah dibuktikan oleh ucapan banyak orang yang dikenalnya.

Jelang siang mereka harus kembali karena ada kerusuhan, ternyata informasi yang beredar tidak utuh, karena tersebar acak. Banyak yang kesana hingga penguasa setempat mulai ketat menyeleksi pendatang. Terakhir berlaku adil, banyak orang yang dibunuh karena hidupnya tidak lurus. Beruntung mereka lolos, karena hampir ditangkap oleh petugasnya yang salah memperkirakan.

Siang
"Ke Timur ini tidak salah. Aku dengar disana lebih baik, tempat matahari terbit" ujar saudaranya yang berhasil memengaruhi langkah mereka. Dirinya pernah diberitahu oleh orang yang pernah tinggal disana.

Pada siang harinya di teriknya sang fajar, mereka harus kembali karena kelelahan dan tidak tahan berjalan. Rupanya daerah itu gersang terbuka, kota yang dituju tidak terlihat karena mereka semua belum pernah kesana, persediaan air mereka habis disini. Biasanya orang melakukan perjalanan lewat petang hingga pagi.

Sore
"Barat sudah menunggu, kita akan beristirahat karena matahari tenggelam di sana" ujar anaknya yang pernah melihat dari televisi tentang keadaan kota yang makmur. Karena mengetahui dari mata kepala sendiri, maka sejak awal dirinya yakin dengan arah ini. Sang orang tua akhirnya mengalah untuk mengikutinya.

Selepas petang mereka harus kembali dari sana, meski tahu bahwa kota itu sudah terlihat dari kejauhan. Langkahnya tidak bisa untuk sekadar berhenti untuk menunggu, karena banyak binatang buas berkeliaran setelah siang hingga malam dan siap memangsa mereka semua. Kembali adalah pilihan yang bijaksana meski berpacu dengan keletihannya yang memuncak.

Malam
"Dari pada kita menunggu sampai esok dan dongeng ini lenyap. Kita ke Selatan" ujar sang ayah, mulai mengikuti nalurinya berangkat dari pengalaman yang dialaminya sepanjang hari itu. Sejak awal dirinya sudah mengincar arah ini setelah pilihan pertamanya gagal, tetapi buta pengetahuan akan keadaannya, sehingga lebih memilih arah lain terlebih dahulu yang menurutnya sudah terjamin baik dan dibuktikan oleh orang lain

Pada malamnya akhirnya mereka melihat satu kota, tetapi jauh di bawah tebing sebagai batas langkah kaki yang terhenti akibat jurang didepan mereka. 

Kemudian ada suara orang yang memanggil dari bawah, mengarahkan mereka untuk berbelok supaya dapat turun dengan aman dan selamat, mereka semua akhirnya dapat beristirahat di kota dan menghilangkan dahaganya.

Esok
"Bukankah 1+1=2 saja? seperti yang ayah selalu ingatkan sejak dahulu?" tanya si anak heran.

"Sepertinya tidak juga" jawab ayahnya yang berbesar hati untuk mengakui kekeliruannya, toh tidak ada ruginya terhadap apa yang pernah diajarkannya. Bukan harga diri yang jadi perhatiannya, melainkan menghargai diri untuk menerima keadaan yang terus berubah seiring detik-detik yang berjalan.

"1+1=2 itu benar dan kita harus capai angka duanya saja, sekarang ini bisa berapa tambah berapa supaya sama dengan dua? atau berapa kali berapa, berapa bagi berapa, berapa kurang berapa supaya sama dengan dua? Kalian masih muda, andai saja ayah sudah tahu ini sejak seusia kalian" senyumnya kepada buah hati dan saudaranya yang menjadi keponakannya.

Sampai akhirnya mereka semua kembali ke negeri nyata seiring datangnya matahari di timur, ternyata ayahnya bermimpi dan mendapat harta dari waktu tidurnya di hari itu.