Rabu, 17 September 2014

Lorong Waktu



Lorong itu masih teringat jelas, paling tidak itulah yang teringat sejak pertama kali menjejaknya, kira-kira hampir dua puluh tahun yang lalu, saat masih belum beranjak dari abad dua puluh.

Mengingat langkahku dengan keinginantahuan yang tinggi, tapi kala itu luput oleh karena keenggananku. Sebelumnya melihat dua teman lain yang berlari dari (atas) dalam lorong, mengambil sesuatu di depan pintu, di tempat sementara untuk ransel anak-anak yang datang.

Kemudian satu temanku yang lain sudah keluar dari gedung itu, melipir sendiri, setelah keluar dari lorong yang sama. Satu tempat yang tidak dijejak oleh guru-guru kami yang mengikuti arahan petugas. Mereka tentu menyesuaikan wilayah jelajahnya, mengingat yang datang anak-anak bocah SD, cukup ruang theater atau ruang pertama di lantai dasar sebagai tempat utama, mengenalkan sejarah yang baru ditorehkan di museum tersebut.

Aku sedikit melangkah masuk ke lorong, sepertinya menyenangkan, tapi sekali lagi keengganan atau mungkin sifat penakutku (takut tertinggal bus) belum membuatku melangkah lebih jauh. Menjadi satu pertanyaan yang membuat keingintahuan berubah menjadi rasa penasaran yang tinggi, setelah bertolak dari sana.

Rasa penasaran itu masih belum hilang, lewat dari kurang lebih lima belas tahun kemudian. Keadaannya tentu sangat berbeda dengan dahulu. Pada tahun 2012 lalu akhirnya kembali lagi ke tempat itu, sempat melewati gedungnya yang lenggang, setelah membayar karcis masuk di Taman Mini Indonesia Indah, tapi tidak berhenti dan terus melaju.

Rasa penasaran akhirnya mereda, berganti dengan rasa ingin tahu (saja). Tahun ini, pada hari-hari terakhir kota Jakarta tersenyum (Lebaran), sebelum kembali di paksa bekerja oleh pendatang dari segala arah yang seakan menggerogotinya, jawaban akhirnya diberikan.

Suasana selepas membeli karcis sungguh padat, banyak warga yang piknik di banyak sudut tempat terbuka. Kendaraan yang masuk harus rela menunggu, uji kesabaran sampai dapat tempat menepi yang dituju. Tetapi gedung itu masih lenggang, berbeda dengan gedung-gedung disekelilingnya yang lebih modern, lebih menawarkan penghiburan bagi orang-orang yang mencarinya.


Lorong itu masih sama, terlihat lebih kecil karena memang keadaannya sudah lain. Pandangan saat usia mulai dewasa tentu berbeda dengan saat masih bocah, yang masih melihat sekitarnya dengan begitu luas, seperti hidup dalam lensa sudut lebar, dan terus berubah seiring pertumbuhan alami manusia.


Ternyata, lorongnya tidak panjang, kalau saja dulu aku melangkah lebih jauh, mungkin hanya sebentar saja untuk kembali lagi. Satu jalan yang menampilkan replika tentang kegiatan pertambangan di salah satu sisinya, kemudian ketika sampai di atas, ada jembatan penghubung ke gedung lain disebelahnya.

Ingatan berputar lagi ketika sampai dan menjumpai satu pesan yang dititahkan kala pembuatannya, pada gedung sebelahnya. Seperti lima pasukan "Saint Seiya" yang menerima ingatan yang serupa, ketika menjumpai pesan tersembunyi itu di balik dinding istana Sagitarius, lambang zodiak dari budaya dan kepercayaan bangsa Yunani, satu dari kedua belas istana yang menjadi tempat petualangan mereka. 


"Kok cepat dek?" tanya petugas karcis yang mungkin masih mengingat, karena tidak sampai satu jam yang lalu melihat pengunjung yang baru saja datang.

"Hanya ke satu tempat saja pak" jawabku tersenyum, keluar pada gerbang yang sama. 

Rasa penasaran pada akhirnya akan mereda seiring temuan lain, lalu menjadi lebih membumi dengan keingintahuannya, sampai benar-benar mengetahuinya sesuai waktunya.