Sabtu, 20 September 2014

Simbol Wisata



Niat untuk berwisata "sejarah" sebetulnya satu dari dua jenis plesiran favorit saya, karena minat masih belum beranjak dari kedua jenis tujuan tersebut, bahkan kini semakin dipertajam dengan satu hal yang menyatu diujungnya.

Keinginan untuk mendatangi simbol-simbol tertentu sebagai tujuan wisata tentu sudah ada, secara tidak sadar. Tapi untuk yang satu ini bermula ketika saya mengunjungi Langkawi, tahun lalu di negeri seberang. Melihat satu identitasnya sebagai simbol kota atau wilayah, patung burung elang yang berdiri, dekat pelabuhannya.

Sejak bertolak dari Langkawi itulah, pikiran saya mengingat-ingat tentang simbol sejenis di rumah sendiri. Yang lebih identik dan menggambarkan simbol kesatuan secara utuh, bukan yang lain seperti misalnya Monas dan kawan-kawannya.

Simbol-simbol tempat lain sudah saya kunjungi, tapi entah mengapa si elang ini cukup punya potensi menggerakkan niat yang sederhana, terasa luar biasa, mungkin karena jenisnya yang serupa, yaitu mahkluk hewani unggas berjenis burung. Mengingat simbol negeri sendiri, yang juga seekor burung tetapi bukan secara harafiah, melainkan burung mitologis setelah mengetahui dari celotehan Indra Piliang dari tweet-nya @IndraJPiliang belum lama ini. Nama Garuda sendiri berasal dari kata Garudeya.

Satu tempat akhirnya baru saya kunjungi kembali kemarin, pernah mendatanginya sewaktu karyawisata SD dahulu, tapi kala itu belum mengerti dan hanya biasa-biasa saja, fokus melihat lubang yang ditata sedemikian rupa, tidak ada kesan menegangkan seperti namanya, yaitu Lubang Buaya.

Bukan letak lubangnya yang menjadi perhatian, tetapi monumen didekatnya yang baru disadari memiliki pesan yang lebih penting. Meski banyak pendapat bahwa hal itu sejenis propaganda penguasa lalu, simbol-simbol itu tetaplah menjadi sarana yang paling jitu, untuk mengenalkan suatu identitas.

Satu dari tujuh patung jenderal itu mengangkat satu tangannya dengan serius, menunjuk ke arah lubang yang ada didepannya melalui jarinya. Sebagai suatu gerakan tubuh yang berbeda, pesan propaganda yang memiliki kesan serius. Bukan sebagai hiburan semata dengan gerakan dan gaya bebasnya yang "wah", toh hiburan semacam itu tidak akan mampu menyenangkan semua orang.

"Hati-hati jika menunjuk dengan telunjuk anda, artinya empat jari lain menunjuk diri sendiri" bisik-bisik si pengecut yang mencoba bijak. Mencari alasan yang masuk akal untuk tetap bertahan, serta melihat kemungkinan yang dapat merugikan.

"Utamanya si jari telunjuk yang menyerang, bukan keempat jari lain yang sengaja disimpan. Dengan kehati-hatian telunjuk ini sudah mengarah kesana" si tujuan akhirnya mengenyahkan si alibi yang mengganggu. Tetap menunjuk sesuatu yang diarahkannya, tentunya akan ada maksud dibalik itu, termasuk sebagai alat propaganda untuk menggerakkan yang masih terkungkung.