Kamis, 05 Mei 2016

Jalan Sendiri



"Jalan sendiri? Serius?!"

Pada cerita kali ini, sesuai judulnya saya akan mendongeng tentang jalan sendiri, tapi bukan ingin membahas sisi asyiknya. Seperti yang sudah saya lihat dari banyak tulisan lain, pada utamanya dari mereka yang masih enjoy dengan cerita perjalanan wisata dan sejenisnya.

Jalan sendiri sebetulnya sudah jadi default di kepala saya, tapi baru terlihat ketika mulai gandrung dengan hobi jalan2 wisata dahulu disini. Mungkin sebagian dari kita menganggap pembawaan yang seperti itu aneh, sombong karena tidak membutuhkan yang lain, tapi lebih tepatnya tidak ingin merepotkan dan direpotkan oleh yang lain. :D

Bahkan dulu sewaktu punya rencana keluar negeri perdana, dengan percaya diri membuat perencanaan untuk jalan seorang diri. Setelah itu baru searching informasi dan pengalaman sejenis, mengenai aman tidaknya menjadi solo trip di negeri lain.

"Jalan sendiri?! Seperti orang benar saja lu Bang!" seru teman saya, tidak menyangka ketika mendengar rencana awal yang dibocorkan. Menjadi barisan orang yang masih mementingkan keseruan dengan sesama, istilahnya yang penting rame.

"Memang gue orang benar, lu kali yang error. Tujuannya memang untuk jalan, bukan sekadar haha hehe" balas saya dengan tertawa, memaklumi mereka karena hampir sebagian besar teman berkomentar serupa. Atau mungkin karena saya lebih banyak mengenal orang-orang yang senang berkelompok.

"Sendiri? Wah berarti seperti orang asing gayanya yah" ujar teman lain di waktu berbeda, mengetahui bahwa kebiasaan seseorang itu berbeda-beda. Pikirannya sudah lebih terbuka, mungkin juga hanya sekadar kenal, tidak sedekat beberapa teman yang lebih mementingkan kebersamaan.

Meski jalan sendiri secara mandiri, pada kenyataannya saya tidak pernah sendiri di sana. Tentunya saya bertemu dengan banyak orang lain, termasuk pejalan-pejalan serupa yang sedang berwisata ke daerah tujuan. Mungkin yang lebih tepat saya lebih suka ngacir sendiri, apabila hanya ingin sekadar jalan, utamanya ke tempat yang buat saya tertarik dan belum pernah dikunjungi.

Jalan sendiri atau independen lebih membuat nyaman, entah apa sebabnya karena saya sendiri yang merasakan fakta tersebut. Sampai satu cerita lain mulai menyambut saya disini, sebuah pengalaman yang menghentak secara tidak langsung mengenai kesendirian.

"Sendiri saja dek? Tempatnya nanti di sana, malam ini hanya adek saja yang menginap" ujar si Bang Ojek saat sedang mengantar. Beliau mangkal dan menawarkan jasanya di pintu masuk Telaga Bodas, sebuah tempat wisata di kabupaten Garut di daerah Wanaraja. Memberi informasi dengan datar tanpa berkomentar lebih lanjut.

"Sendiri? Tidak ada pengunjung lain?!" jawab saya dengan agak heran. Seperti mendapat kejutan yang datang tanpa diduga, rasa percaya diri tentang kesendirian di tengah keramaian mulai diuji. Dihadapkan pada situasi nyata yang (mungkin) saya banggakan tanpa sadar.

Pada waktu itu sedang petang hari dan terang matahari mulai tenggelam. Mendengar suara-suara pengunjung lain masih ada di sekitar tempat camping, karena dekat dengan permandian air hangat di kolam yang tersedia.  Bergabung sejenak dengan mereka dengan satu kedekatan tersendiri, karena jadi "teman" selama mereka belum kembali dari sana.

Rasa was-was mulai hinggap dalam kepala, karena saya akan jalan sendiri dalam arti sebenarnya. Dalam remang petang hari tidak menyia-nyiakan waktu, karena langsung merakit tenda sebelum benar-benar gelap, setelahnya mendekati kolam untuk sekadar menyapa dan bersiap.

"Kalau ada perlu turun saja ke bawah, tidak jauh kok dek" ujar si tukang Ojek, saat bersama sisa pengunjung mulai kembali. Menunjuk gerbang yang jaraknya tidak jauh, mungkin hanya satu dua kilometer lebih.

Pada petang hari itu mulai "terpaksa" menyelami suasana kesendirian. Satu keadaan yang jadi cerita unik sendiri dalam perjalanan dengan mengambil contoh lain. 

Secara kebetulan pengalaman itu terjadi tanpa sengaja, karena hari kedatangan saya itu di Jumat sore. Mengejar waktu untuk tetap bermalam di tempat wisata, setelah sampai di kota Garut agak telat. Awalnya berniat ke Papandayan terlebih dahulu, baru lanjut ke sana esok harinya. Tapi waktunya tidak terburu hingga mengubah rencana dengan mengganti hari.

Dari petang hingga tengah malam saya masih tidak terlalu sendiri, karena ada suara dari motor yang berlalu lalang. Banyak warga lokal yang menikmati permandian di malam hari, mungkin jadi jatah mereka setelah siangnya difungsikan sebagai objek wisata bagi pendatang. Rasa kantuk masih bisa dinikmati dengan tidur "ayam" berulang kali, karena tahu ada mereka di sana, dari suara-suara yang terdengar.

Justru rasa kantuk itu mulai hilang, mungkin berganti jadi rasa awas ketika suasanya menjadi senyap, tidak ada lagi suara-suara dari warga di sana. Mengingat waktunya selepas jam satu tengah malam, hingga tidak bisa lagi memejamkan mata dengan baik. Akhirnya saya jadi menatap lautan bintang dan sudah dibahas disini

Akhirnya ketika esok pagi menjelang, saya sudah keluar dan bergegas berendam air hangat di sana (tidak panas). Pertama ada warga juga datang, ingin berendam air hangat, sebelum tempat itu akan ramai oleh kunjungan wisatawan. Hingga pagi juga tersaji dengan matahari terbit, muncul dari balik bukit.

Kondisi benar-benar sendirian itu menjadi pengalaman unik, menjadi satu fakta untuk merefleksikan diri dalam pergerakkan. Kemudian esok harinya jadi (sangat) menikmati keramaian ketika berpindah ke Papandayan, meski saya datang ke sana tetap sendiri secara independen, tidak tergabung dalam satu kelompok manapun.

Kalau hanya berdasarkan judul, lagu di bawah ini sudah sangat jelas, Better of alone yang artinya lebih baik sendiri. Tapi ternyata maksudnya bukan itu, andai kita lihat dari keseluruhan kalimat, dari melodi yang hanya mengandalkan dua bait berulang. :))

Oh iya ada lanjutnya jika berhubungan dengan travelling. Enakan berwisata di musim liburan atau tidak? Ambil contoh ketika mendatangi pusat perbelanjaan di Jakarta dan sekitarnya, menurut saya datang pada weekday akan lebih santai ketimbang weekend. Bagi kita yang punya dan bisa mengatur waktu, lebih ideal datang di saat lenggang, tidak harus antri dan dapat pelayanan prima, tidak diburu waktu pula. (Tentunya keadaan itu berkebalikan bagi para penjual di TKP). :D

"Ente dapatnya tempat yang sepi terus kalau berwisata? Berarti ente mujur Gan" ucap seorang kenalan, ketika bertemu di satu objek wisata dan baru menyadari keunikan tersebut. Mengomentari kebiasaan saya, tentang lebih banyak dapat keadaan yang lowong saat melakukan perjalanan, meski di beberapa lokasi tetap ramai karena jadi tempat wajib yang selalu dibanjiri turis.

Memang lebih enak sewaktu sepi, jadi lebih menikmati suasananya. Andai hanya jadi satu-satunya pengunjung di satu lokasi, tentunya tidak perlu ekstrim seperti menginap sendirian seperti cerita di atas, pikir saya pada akhirnya. :D


"Jalan sendiri? Serius?!"
"Yoi, tapi kayanya mulai dan udah bosen".
:P