Sabtu, 19 Desember 2020

Ganti Kalender


Ganti kalender? Tahun Baru maksudnya?
Bisa jadi.

Tema ini awalnya sudah terbesit dalam sebuah ide, untuk menceritakan sebagian pengalaman. Tapi pada akhirnya bahasan jadi agak meluas, bukan lagi semata-mata tentang lokasi, tapi lebih kepada momentum yang terjadi, pastinya kita sudah mulai paham jika membaca judul tulisan ini. :)) 

Kenapa bisa begitu? Karena belum lama ini ada kejadian yang berhubungan, hingga ingatan tentang momentum itu terangkat kembali, bersamaan dengan bahasan yang ingin diceritakan. 

Apa tuh kejadiannya? Ada teman lama yang berkabar kembali, tentang rasa penasaran yang bersangkutan dan temannya, bagaimana caranya kami bisa saling tahu dan kenal akhirnya. Pengalaman itu terjadi lebih dari sepuluh tahun lalu, bahkan semakin teringat pastinya di tahun berapa, karena dibarengi dengan beberapa kronologi lain di tahun berjalan.

Jadinya mau cerita apa nih? Sesuai judul saja bunyinya Ganti Kalender, penanggalan yang pasti berubah angkanya, bertambah satu tahun, dengan bulan dan tanggal yang mengikuti. Biasanya momentum itu pasti dirayakan oleh banyak orang, menyambut musim baru dengan meriah dan penuh harap.

"Gak kemana-mana lu malam tahun baru? Biasanya gue ke Monas ramai-ramai" ujar saudara saya pada satu waktu, ketika yang bersangkutan menginap menjelang pergantian tahun. Kala itu kami semua masih jadi anak baru gede, untuk transportasi saja masih belum semudah sekarang.

Ke Monas? Untuk apa? Ternyata setelah melihat info, di sana jadi salah satu titik keramaian ibu kota. Detik-detik tahun baru dilewati dengan pesta kembang api, kemudian banyak pula titik-titik lain yang jadi konsentrasi masyarakat. Selain di lapangan langsung, pastinya banyak acara televisi dan media menayangkan acara hiburan, serta laporan tentang keriuhan malam pergantian tahun di beberapa titik.

Untuk pengalaman ini awalnya biasa saja bagi saya, termasuk bertanya-tanya untuk apa tahun baruan di Monas. Hingga perayaan sejenis juga saya ikuti, meski dengan cara berbeda. Pada tahun-tahun awal abad dua puluh satu, akhirnya saya "merayakan" pergantian tahun di rumah ibadah, mereka mengadakan acara pada malam selepas petang, bahkan ada juga yang diadakan menjelang tengah malam. Acara dimulai dan berjalan kurang lebih selama 2 jam, serta acara selesai tepat di pukul 12 malam.

Yang saya ingat di rumah ibadah itu pernah ada acara makan bareng, atau kalau pakai istilah rohaninya itu perjamuan kasih. Caranya setiap pengunjung bawa makanan, untuk saling berbagi dengan tamu lain. Kemudian ada juga beberapa yang jadi donatur, hingga bisa menghidangkan makanan berat ala prasmanan sederhana, cukup hangat juga untuk melepas tahun yang berjalan beramai-ramai.

Kemudian ada juga pengalaman di tahun lainnya, saat kebetulan di rumah menjadi titik kecil keramaian. Menjadi "tuan rumah" dalam acara klasik BBQ bakar-bakaran, serta sengaja ada beli kembang api yang bisa meluncur belasan kali. Nah di sini lah ingatan tentang teman yang berkabar tadi bermula, karena yang bersangkutan adalah teman dari teman, hingga siapa saja yang datang tidak semuanya dikenal, karena hanya ikut-ikutan saja. :P

Berlanjut pada tahun lainnya, giliran teman sekolah yang akhirnya mengajak berkumpul. Nah pada saat itu barulah saya melewatkan pergantian tahun di jalan, alias di lapangan langsung di tengah keramaian. Kala itu lokasi yang kami pilih adalah di sekitar La Piazza Kelapa Gading, hingga acara selesai dan kami kembali selepas tengah malam. Tapi suasana sampai subuh masih cukup ramai di beberapa titik, saat kembali ke daerah barat Ibu Kota.


Nah pengalaman tadi semuanya sudah terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Bagaimana sepuluh tahun berikutnya? Sampai sekarang? Mungkin agak sedikit berbeda dalam cara pandangnya, karena saya sendiri kurang mengingat, jadi terasa biasa saja, tidak ada yang khusus. Mungkin juga karena antusias yang semakin berkurang, atau ada hal lain yang jadi pengalihan, hingga meredupkan momentum pergantian tahun.

Tapi pernah juga terbesit ide, untuk merayakan pergantian tahun baru dengan kemping. Itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Mengincar lokasi di kawasan Gunung Salak Endah, dengan titik Curug Cihurang sebagai tempat bermalamnya. Menginap di tenda dikelilingi oleh alam hijau khas kaki pegunungan, pastinya akan ada energi yang berbeda. Mungkin di sana tidak seramai di kota, tapi paling tidak ada kehangatan terasa, layaknya api unggun di tengah udara dingin. Tapi rencana hanya sebuah imajinasi jika tidak dijalankan, jadi sekadar wacana saja. Xp

Untung saja di sepuluh tahun belakangan tidak seluruhnya biasa-biasa saja. Karena ada pengecualian berlaku pada kondisi di dua tahun belakangan. Momentum pergantian tahun terasa mulai bergeliat (lagi), hingga ada keunikan yang terangkat kembali. Kenapa bisa begitu? Istilah yang tepat mungkin tidak lagi "asyik" tenggelam dalam dunia sendiri, tapi mulai kembali melihat ke sekeliling, jadi kita tidak (lagi) menyembunyikan wajah. :))

Pengalaman di dua tahun belakangan ini cukup unik, bahkan jadi asal mula tentang ide tulisan ini bermula, khususnya berbicara mengenai titik lokasi. Pada saat kita menyongsong tahun baru dengan "penuh harap" dan bersungguh-sungguh, pastinya harapan itu akan kejadian juga di tahun berjalan, cepat atau lambat, berhasil atau tidak, tapi yang penting kita perlu percaya dulu kalau harapan itu sudah "kejadian". :))

Tahun baru 2019 yang lalu akhirnya saya rayakan dengan cara tidak biasa. Lokasi yang saya pilih adalah Puncak, hingga menginap di sekitar sana di daerah Ciloto. Meski di hotel ada juga acara untuk menyongsong pergantian tahun, tapi saya memilih untuk merayakannya di luar, karena ingin merasakan pergantian tahun di jalur Puncak sungguhan. Bahkan "rencana" dadakan itu sudah saya tuliskan satu hari sebelumnya di sini, hingga wacana itu tidak lagi sebatas imajinasi, tapi kita jemput dalam realitas. :D

Pada pagi hari mulai berangkat, karena lebih tepatnya sekaligus mampir ke Gunung Salak Endah. Hingga selepas siang baru mengarah ke Puncak sana.

Dari info yang beredar jalur Puncak naik dan turun ditutup mulai pukul 6 malam, hingga pukul 6 pagi esok harinya. Menuju hotel dan santai sejenak di sana, hingga ketika menjelang petang baru keluar. Menuju jalur Puncak yang berkelok-kelok, kemudian naik perkebunan teh "berbayar" pada satu bagian, tepatnya di bukit kebun teh di seberang Rindu Alam.

Akhirnya rasa puas baru muncul, karena pemandangan khas pegunungan Puncak baru saya dapatkan sore hari itu. Sebelumnya sudah pernah berfoto di bagian lain kebun teh, tapi terlihat biasa saja, tidak seseru ketika kita mengemudikan kendaraan di jalur tersebut. Ternyata ada komposisi gambar yang lebih mantap, kebuh teh berpadu dengan jalan raya berbelok-belok. Bagaimana caranya? Gambar diambil agak jauh secara panorama (lebih tinggi), bukan sejajar dengan jalan raya. :D

Kemudian sempat kembali ke hotel sebentar, sebelum keluar lagi pada saat menjelang malam. Kembali ke jalur Puncak yang berkelok-kelok tersebut. Baru saya ketahui pula, ternyata jalur Puncak yang ditutup itu bukan dari daerah Gadog bawah (Keluar Tol), tapi dimulai dari Kebun Teh Gunung Mas di bawah, hingga Botol Kecap di atas, itupun hanya berlaku untuk roda empat, sementara roda dua bebas keluar masuk.

Pukul 9 malam masih sempat makan sate PSK di jalur Puncak, tapi suasana masih lenggang. Kemudian warung-warung di sepanjang jalur Puncak mulai mengeluarkan kursi, untuk dijadikan batas di pinggir jalan. Awalnya heran untuk apa kursi-kursi dikeluarkan? Ternyata itu sebagai batas parkir kendaraan yang akan singgah menjelang tengah malam. 

Menunggu sampai tengah malam ternyata cukup lama juga, hingga meluncur sampai bawah di batas SPBU Cisarua, atau naik lagi ke atas, mampir ke Cipanas dan masuk komplek Kota Bunga. Di sana masyarakat juga sudah banyak yang parkir di tepi jalan, menghabiskan waktu dengan piknik dadakan. Sebagian keluarga menggelar tikar, mungkin untuk melihat kembang api yang akan dilepaskan pada detik-detik pergantian tahun.

Pada pukul 11 malam saya sudah kembali lagi ke jalur Puncak, dengan warung-warung yang mulai dipenuhi pengunjung. Banyak kendaraan terpakir, umumnya didominasi roda dua, karena roda empat sudah tidak bisa melintas dari pukul 6 sore. Saya ada tiga kali bolak-balik naik turun, sampai Gunung Mas berputar kembali ke atas, hingga Puncak Pass, sengaja menunggu detik-detik pergantian tahun dan belum ada niat untuk parkir.

Menjelang pukul 12 malam ternyata jalan di jalur Puncak semakin ramai, khususnya roda dua yang semakin memenuhi jalan. Niat untuk parkir baru muncul, tapi terlambat karena semua tempat parkir sudah penuh. Hingga detik-detik pergantian tahun dilewati di tengah kemacetan, agak menepi di tikungan antara Warpat dan Puncak Pass. Niat ingin balik ke tikungan Rindu Alam sudah tidak bisa, karena jalan sudah penuh, macet sama kendaraan.

Kembang Api mulai terlihat di langit, serta dikelilingi oleh kabut yang turun. Sebuah suasana yang tidak biasa dan ternyata cukup seru, hingga tidak lama menjelang pukul 1 malam saya sudah kembali ke hotel. Kemudian esoknya di hari pertama langsung olah raga, jalan kaki lintas alam di Cibodas, menuju Curug Cibeureum.

Tahun Baruan di Puncak itu terjadi di pergantian kalender memasuki tahun 2019, bagaimana dengan tahun ini di 2020? Ada juga rencana, tapi agak bergeser sedikit. Saya tetap ke Puncak, tapi menginap satu hari sebelum tahun baru. Jadinya pada hari terakhir sudah kembali ke Jakarta. Pada tanggal terakhir tersebut menyempatkan untuk olah raga (lagi), jalan kaki lintas alam ke Curug Cibeureum.

Apakah tahun baru 2020 jadi tidak dirayakan? Kurang lebih begitu, tapi perayaan bisa juga dengan cara lain, entah itu dari televisi atau langsung, meriah atau unik, apakah pada detik-detik, menit-menit, atau pun jam-jam awal memasuki tahun baru. 

Mungkin yang lebih tepat bagi saya adalah unik, terjadinya pada saat menjelang subuh, jadi saat kalender sudah resmi berganti. Pasti kita ingat semua, beberapa jam setelah memasuki tahun yang baru. Kala itu cuaca kota Jakarta sedang hujan besar, sekaligus memberi kejutan untuk warganya di hari pertama. Beruntung pula saya dan orang rumah terjaga pada jam-jam tersebut, jadi sudah siap menyambut "hadiah" dari alam tersebut. Xp

Bermula dari loteng jemuran yang kebanjiran, karena ada saluran yang tersumbat, hingga tumpah ruah ke lantai dua rumah dengan suara keras. Saya dan beberapa orang rumah terbangun, serta membersihkan saluran agar lancar kembali. Secara bersamaan hujan masih turun dengan deras, hingga mengecek jalan depan yang mulai tergenang. Lambat laun ternyata air "berhasil" masuk rumah, hingga mulai mengangkat barang penting di lantai bawah. 

Esoknya ketika pagi datang, keluar berita utama tentang Jakarta diterjang banjir merata, terjadi di hari pertama tahun 2020 ini. 

"Ganti tahun jadi ganti perabotan neh" seloroh salah satu teman, ketika yang bersangkutan mengomentari tentang musibah dadakan di awal tahun ini.

Bagaimana dengan tahun 2021 nanti? Tidak ada yang tahu. Tapi yang pasti titik-titik keramaian pergantian tahun akan jauh berkurang. Tidak ada lagi acara-acara keramaian resmi yang diizinkan oleh pihak berwenang, oleh karena kondisi dunia yang sedang menjaga jarak.

Tapi yang pasti harapan kita saat menyongsong tahun baru itu benar adanya, terjadilah sesuai dengan yang kita yakini, atau imani kalau pakai bahasa rohani. Khususnya untuk saya sendiri terjadi di dua tahun belakangan, penuh harap yang dapat berkembang dalam realitas. Tentunya harus kita upayakan juga, jika tidak harapan itu hanya sebatas jadi imajinasi. Xp

Untuk bisa terbang idealnya kita harus membuka dan mengepakkan sayap, bukan hanya disembunyikan terlipat. Kemudian bagaimana bisa melayang, andai untuk berdiri saja sulit. Lebih parahnya lagi tidak kuat berdiri, karena selalu jatuh di lubang yang sama. :0

Wah kalau begitu apakah kita harus terbang terus? Tidak perlu mendarat? Yah tetap harus mendarat alias membumi. Ingat saja kata pepatah, andai kita bisa terbang jangan sampai lupa sama daratan, setuju? Xp

Maksudnya adalah saat menjalani hari, kitanya juga perlu bergerak, karena waktu tetap berjalan dan tidak diam. Terbang hanya salah satu cara, bisa juga cara lain, misalnya dengan melompat, memanjat, jalan atau lari. Kalau begitu bukan perumpamaan sayap lagi, tapi kita menggunakan kaki dan tangan, setuju?

Jadi Ganti Kalender bukan sekadar susunan tanggal baru.
Tapi apa yang kita buat di sana.
Udah siap?