Minggu, 01 November 2020

Pesan Perjalanan



Pesan Perjalanan? Maksudnya apaan tuh?
Maksudnya itu apa yang kita dapat dari perjalanan.
Untuk bahasan ini adalah perjalanan wisata.


Catatan Perjalanan wisata sering saya tulis secara harafiah, dalam arti bercerita mengenai bagaimana dan ke mana saja selama di tujuan tersebut.  Selain itu juga ada yang berlaku secara hikmat, biasanya untuk yang ini tidak diceritakan keseluruhan, tapi hanya bagian pentingnya saja, karena ada inspirasi yang berasal dari sana.

Contohnya untuk wisata (ulangan) saya ke negeri tetangga versi tahun 2019. Awalnya tidak (atau belum) ada niat untuk menceritakan pengalaman tersebut. Tapi karena baru-baru ini ada sebuah pembatasan berskala besar (PSBB) di Jabodetabek, jadinya punya banyak waktu senggang, hingga Catatan Perjalanan itu akhirnya tertulis, di Thai, Spore dan Malay, pembukanya itu di sini

Sementara untuk Pesan (Hikmat) Perjalanan dari wisata tersebut, sudah tertulis lebih dahulu di sini, fokusnya tidak lagi bagaimana selama di sana, tapi apa yang berbeda selama di sana. Jadi judulnya adalah (2011 vs 2019), bukan lagi pakai kode eksplore atau tour. :)

Contoh lainnya adalah wisata saya ke Bali di tahun 2018, kala itu baru kembali ke sana setelah sekian lama absen. Pesan Perjalanannya sudah lebih dulu diceritakan di sini, berbicara mengenai sebuah perbedaan yang saya lakukan selama di sana. Tentang sebuah keunikan yang dialami, hingga ada sebuah inspirasi datang. Sementara untuk catatan perjalanannya (harafiah) baru saja di tulis juga di sini. Serupa tapi tidak sama dalam penyampaiannya. :)

Nah untuk kali ini kurang lebih agak-agak mirip, karena hanya mengambil sepotong cerita dari sebuah perjalanan wisata dulu. Ingatan saya terbuka kembali mengenai sebuah periode, tatkala kegandrungan hobi jalan-jalan akhirnya mencapai batas, tidak lagi mencari tujuan wisata baru yang "jauh". Alasannya karena setiap destinasi wisata pasti tidak akan ada habisnya, tambahan lagi perlu waktu dan biaya pula. Xp

Wisata yang saya ingat itu terjadi di tahun 2013, ke pulau seberang yang masih dalam wilayah Nusantara. Kala itu saya mendapat kesempatan, untuk menginjakkan kaki di tanah Sulawesi. Tapi sekaligus mengalami pengalaman yang tidak biasa, mungkin juga dipengaruhi dengan perbedaan budaya antar pulau yang sebenarnya.

Ceritanya itu cukup sederhana, kala itu saya baru selesai wisata di daerah Fort Rotterdam dan pulau Samalona. Tujuan selanjutnya ingin ke pangkalan bis Litha, karena ingin menuju Toraja dengan bis malam. Sudah saya ketahui pula dari catatan perjalanan sejenis, bahwa di sana orang-orangnya lebih banyak berbicara dengan bahasa daerah, serta dengan logat yang khas pula.

Pada malam itu saya jadi seperti tersesat di tengah keramaian, karena orang-orang yang saya tanya, seperti petugas dan lain-lain tidak jelas menjawab yang ditanyakan. Melewati satu komplek ruko dan satu bangunan pasar, tidak ada satupun yang bisa memberi informasi secara jelas. Hingga akhirnya ada juga yang bisa mengarahkan dengan baik, hingga saya dapat sampai ke pangkalan bis dengan menumpang angkutan umum.

Pengalaman lanjutan ada di esok harinya, setelah sampai dan mengambil penginapan di sana. Kebetulan suasana sempat hujan menjelang siang, hingga saya malas untuk bergerak, melewatkan waktu dengan tidur saja di kamar selama beberapa jam. Baru pada jelang sorenya berkeliling di daerah itu, jalan kaki di pusat kota Rantepao yang berbentuk kompleks pasar.

Pada hari itu saya cenderung malas untuk berwisata, karena berpikir akan menginap, serta baru akan berwisata satu hari berselang. Kala itu bukan karena ingin berleha-leha atau berwisata santai, tapi karena suasana yang berbeda, serta agak kurang nyaman dalam tanda kutip. Baru pada esok harinya mulai "normal" kembali, berburu wisata dengan menyewa motor berkeliling. Bertemu juga dengan turis dari Bandung, hingga jalan bareng dengan tukang ojek yang mengantar.

Nah pengalaman di hari kedua, serta pada malam sebelumnya itu cukup berpengaruh, karena langsung mengubah mood atau suasana secara drastis. Berada di sebuah lingkungan dengan kebiasaan berbeda, hingga kenyamanan yang awalnya utuh jadi tergerus sebagian. Sekaligus langsung mengubah banyak rencana-rencana di kepala kala itu, khususnya dengan kegandrungan ingin berwisata ke mana saja.

Pasca kepulangan dari trip edisi Makasaar Toraja tersebut, akhirnya saya sudah "cukup" dan tidak lagi mencari-cari tujuan wisata baru yang jauh. Terkecuali masih ada trip Bangkok Langkawi kemudian, itu karena sudah lebih dahulu direncanakan. Selebihnya incaran jalan-jalan berubah menjadi yang dekat-dekat saja di Jawa Barat.

Gairah jalan sempat bangkit sebentar, tapi itu hanya sampai batas daerah Garut saja, dengan Papandayan sebagai lokasi wisatanya. Atau karena jenisnya sudah berbeda, saya lebih penasaran dengan yang namanya wisata mendaki gunung (Gunung Gede & Papandayan), bukan lagi ingin berwisata karena ingin tahu suasana tempat tujuan. Xp

Praktis sejak saat itu sudah tidak ada buruan tempat baru lagi, terlebih yang lokasinya jauh. Paling hanya jalan ke tempat yang dekat, Bogor atau Puncak, karena tujuannya sekadar ingin refreshing saja. Tapi sesekali memang ada tempat yang baru dikunjungi, hingga dokumentasi tetap akan dilakukan untuk kenang-kenangan. Andai sudah lebih dari satu dua kali, maka hanya menikmati suasana saja mengisi waktu.

Jadi sudah agak malas wisata yang jauh-jauh dari posisi rumah. Apakah sejak itu sudah anti jalan jauh? Tentu tidak. Lebih tepatnya hobi dan obsesi "pribadi" mengunjungi suatu tempat, sudah tidak lagi diburu dengan serius. Andai bisa ke sana syukur, tidak berkesempatan yah tidak masalah. Toh hanya perjalanan jauh, ujung-ujungnya akan pulang juga, setuju tidak? :D

Andai tetap jalan jauh biasanya hanya sekadar ikut ajakan, atau memang sedang butuh berwisata untuk menyegarkan pikiran. Hal itu juga berlaku pada semua pengalaman dan jenis perjalanan (hidup) kita, tidak hanya sebatas perjalanan wisata saja, karena kebetulan bidang ini yang diangkat sebagai bahasan.


Kita ada di dalam perjalanan masing-masing.
Ada perjalanan yang sudah selesai, ada juga yang harus terus berjalan.
Ada juga perjalanan yang sudah menanti, bahkan yang belum ada sekalipun.
Setiap perjalanan pasti punya pesan tersendiri.