Senin, 14 Maret 2022

Uang Receh


Untuk cerita kali pada awalnya memang sudah direncanakan, berkaca dari pengalaman sendiri tentang tema tersebut sesuai judul. Tapi pada akhirnya jika melihat perkembangan berita hingga hari ini, ternyata ada sebuah fenomena yang tidak biasa, hingga tulisan ini jadi kontra dalam tanda kutip. Tapi masih punya keterkaitan, hanya berbeda di angka saja, hingga ceritanya dipastikan akan berbeda pula.

Fenomana apaan tuh memangnya? Jika dikaitkan dengan Uang Receh sebagai judul, serta angka yang berbeda? Jawabannya tentang sedang maraknya penipuan, berkedok investasi bodong atau ilegal. Di antara berita utama sekarang, maka terdapat dua modus yang digunakan, oleh para penipu tersebut untuk menarik dana dari masyarakat.

Pertama dilakukan secara bersama-sama sebagai satu kelompok, berlaku pada modus investasi Robot Forex, hingga banyak yang tumbang secara bersamaan. Kenapa bisa tumbang? Karena uangnya sudah habis, atau memang digelapkan oleh pemiliknya. Kemudian yang kedua dilakukan secara individual, dilancarkan dengan modus judi berkedok trading. Dari beritanya mereka mendapat komisi besar, uangnya berasal dari korban yang bermain dan kalah, atau salah menebak "judi" tersebut.

Ada satu fenomena yang hampir serupa dilakukan oleh mereka, yaitu dengan eksis memamerkan kesuksesannya. Mengenalkan diri mereka sebagai seorang yang kaya, pamer uang bergepok-gepok, beli barang mewah dsb. Antara mereka memang sedang menikmati kekayaan yang didapat, atau memang sengaja untuk menjaring calon korban, agar bergabung karena ingin sukses seperti mereka. Pamer kekayaan? Tidak ada yang larang. 

Jadi kondisi mereka hanya untuk sekadar pembukaan cerita saja, tentang uang pecahan besar, tidak lebih dari itu. Jika mereka pamer kekayaan dengan uang pecahan besar bergepok-gepok, maka untuk bahasan kali ini sebaliknya, karena saya ingin bercerita mengenai pecahan kecil. Utamanya tentang pengalaman yang dialami, ketika berurusan dengan uang receh tersebut. Xp

Untuk kita yang tinggal di sini, serta menggunakan uang dengan berbagai pecahan, tentu tidak ada yang berbeda. Terlebih untuk zaman sekarang yang sudah modern, sebagian dari kita sudah mengadopsi sistem cashless, alias hidup tanpa uang secara tunai atau fisik. Karena setiap pembayaran diarahkan kepada uang non-fisik, berupa kartu elektronik, atau dana yang tersimpan di dalam dompet digital.

Uang digital tentu punya keunggulan dibanding uang fisik. Misalnya nilai yang berlaku hingga pecahan terkecil. Misalnya nilai dua puluh lima perak juga terhitung, berbeda dengan uang fisik yang punya keterbatasan, karena nilai terkecil yang banyak dijumpai adalah seratus perak. Jadi solusi untuk selisihnya bagaimana? Biasanya akan ada pembulatan, hingga menjadi kurang praktis dibandingkan uang digital atau non-tunai.


Nah kembali lagi, uang dengan pecahan kecil tentu juga tidak asing bagi kita. Tapi ceritanya bisa agak berbeda, andai kita berada di negeri asing, serta dengan mata uang yang berbeda pula. Pengalaman inilah yang menginspirasi saya untuk membuat cerita ini. Uang receh di negeri sendiri yah biasa saja, tapi recehan dari mata uang negara lain, bisa saja agak berbeda, tapi akan kembali lagi ke masing-masing pribadi, setuju?

Awal mula kejadiannya ketika saya akan liburan keluar negeri pertama kali. Tujuannya yang dekat saja, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Karena sebagai pengalaman perdana, maka dari tanah air saya sudah bersiap penuh. Menyiapkan budget yang disiapkan, serta menukar langsung dengan mata uang tiga negara tersebut di Money Changer.

Untuk negara tertentu yang kurang populer, ternyata Money Changer hanya menyediakan pecahan besar yang bulat. Kalau disejajarkan dengan Rupiah, mungkin hanya pecahan seratus dan lima puluh ribu saja. Jadinya beli sekian nominal, baru dibayarkan dengan sejumlah Rupiah, hingga muncul niat untuk mendapatkan pecahan kecilnya juga.

Bagaimana caranya mendapat pecahan kecil? Beli mata uang asing, tapi dengan nominal tidak bulat, misalnya? Bisa kita beli dengan jumlah ganjil, misalnya ingin beli delapan ratus lima puluh, atau sembilan ratus Bath Thailand. Bisa juga seratus sembilan puluh, atau seratus delapan puluh lima Ringgit Malaysia. Jadinya kita akan mendapatkan secara langsung pecahn kecil tersebut, tapi kembali lagi pada persediaan uang di Money Changer tersebut.

Atau bisa juga dihitung dari uang Rupiah kita, misalnya dengan membeli mata uang asing dengan angka bulat. Misalnya sejuta rupiah, satu setengah juta, atau dua juta rupiah. Jadinya kita akan mendapat angka ganjil dari mata uang asing yang dibeli, sesuai dengan nominal yang kita inginkan di awal.

Pada kedua trik itu, maka kita akan mendapat sebagian uang pecahan kecil dari mata uang negara lain. Tapi situasi itu tidak berlaku secara mutlak, karena setiap Money Changer punya ketersediaan nominal uang yang berbeda pula. Bisa juga memang ada yang kurang pecahan kecil, hingga pembeli mata uang asing harus mengubah jumlahnya, sesuai dengan nilai yang tersedia.

Punya pecahan kecil mata uang asing sebetulnya hanya untuk jaga-jaga saja, jadi tidak perlu repot menukar uang atau jajan dulu. Ibaratnya sudah siap sejak langkah pertama kita di sana. Sebuah kegiatan sederhana yang bagi sebagian orang mungkin tidak penting, tapi sesungguhnya jadi satu bentuk keseruan lain. Xp

Pengalaman kedua adalah liburan menuju dua negara saja, yaitu Malaysia dan Thailand. Penukaran uang kali ini hanya dalam satu mata uang saja, yaitu ringgit Malaysia, karena hari pertama akan berlibur di sana. Ketika akan berangkat ke negara tetangganya baru ditukarkan di Money Changer terdekat.

Ketika jajan di sana dan mendapat kembalian dengan uang pecahan kecil, rasanya ada kepuasan tersendiri. Sebuah kegiatan yang sangat biasa dilakukan di negara kita, tapi ada antusias lain jika dilakukan di tempat asing, sesederhana ingin mendapat bentuk pecahan uang lain dengan belanja. Mungkin juga karena sifatnya yang sementara saja. :D

Pengalaman ketiga ceritanya juga sedikit berbeda, karena sudah mulai bosan jalan, hingga punya jeda cukup panjang dibanding pengalaman kedua. Mulai ada trik lain yang disiapkan, karena ingin pergi dengan praktis, tidak mau lagi repot-repot seperti dulu, seperti menyiapkan mata uang dengan pecahan yang lengkap.

Kala itu saya mulai penasaran dengan mata uang dari negara polisi dunia, meski tidak atau belum ada niatan ke Amerika Serikat, tapi mata uangnya berlaku hampir di sebagian besar negara lain.  Untuk itulah uang dari negara tersebut berlaku sebagai alat pembayaran internasional. Bahkan terkesan diberlakukan sebagai barang mewah di sini, karena konon lembaran uangnya harus mulus dan kinclong, tidak boleh sampai lusuh. Rusak sedikit saja akan jatuh nilainya, atau tidak berlaku lagi :P

Hingga akhirnya saya juga mendapat uang dollar Amerika, serta penasaran dengan sepak terjang uang tersebut. Dapatnya dari sisa-sisa simpanan orang lain, yang awalnya ditolak oleh Money Changer pertama, ketika akan menukarkannya kembali ke Rupiah. Jika nilainya dirupiahkan juga lumayan untuk jajan iseng-iseng. Untuk menukar uang USD dengan nominal dua puluh tersebut cukup sulit, karena uangnya sudah lusuh kekuningan, serta ada cap dari sebuah institusi perbankan.

"Lebih baik tukarnya di Money Changer luar negeri saja Pak" ujar petugas Money Changer lain, ketika tidak bisa (lagi) menerima penukaran untuk selembar uang tersebut. Berbarengan dengan niatan membeli mata uang asing negeri tetangga, meski dengan jumlah nominal kecil, karena hanya digunakan untuk transit semalaman saja.

Niat untuk menjajal saran dari petugas tadi dilakukan, tapi berujung dengan kegagalan. Beberapa Money Changer dari kedua negeri tetangga tadi menolak, dengan alasan utama cacat fisik karena ada cap. Hingga akhinya saya musnahkan juga ujung-ujungnya, ketimbang menyimpan sesuatu yang tidak bernilai, atau memang sudah jauh dari tempat beredarnya secara resmi.

"Wah kalau di sana sih masih laku" ujar teman saya, sosok yang sudah mengantongi izin menetap di sana. Beranggapan bahwa uang yang dianggap barang mewah itu di sini, ternyata dari tempat asalnya hanya seperti uang biasa, bisa langsung ditukar ke bank andai punya fisik yang cacat.

Cerita selembar uang cacat fisik itu sekadar jadi selingan, karena tujuan utamanya ingin menjajal mata uang yang sama, tapi dengan lembaran pecahan besar senilai seratus dollar Amerika, kemudian umum diperjual-belikan di banyak tempat. Nilainya juga tidak main-main, satu lembarnya setara dengan satu juta empat ratus ribu rupiah. Alias satu lembar saja sudah cukup, untuk biaya berlibur saya di satu tempat, dari tiga tempat yang disinggahi, Malaysia Thailand dan Singapura.

Awalnya itu saya tukar selembar, ketika baru tiba di bandara Phuket, untuk biaya akomodasi selama di sana. Kemudian lembar kedua ditukar lagi selama di tengah durasi liburan singkat tersebut. Dua lembar pecahan seratus dollar Amerika, ternyata sudah lebih dari cukup, untuk liburan empat hari saya selama di sana. Kemudian sisanya kembali ditukarkan ke mata uang negara selanjutnya, ketika akan kembali dari sana di bandara yang sama.

Lembar ketiga saya tukarkan selama berada di KL, menambah sisa uang yang sudah ditukar dalam bentuk ringgit Malaysia, untuk biaya selama liburan di sana. Tapi untuk durasinya dipotong di tengah, saat melipir sejenak ke negara tetangganya.

Lembar keempat juga ditukar di TKP Singapura, ketika baru tiba untuk biaya selama di sana. Menjadikan mata uang tersebut memang penting, karena punya nilai yang kuat, meski bukan yang tertinggi nilainya di antara mata uang lain.

Bagaimana dengan mata uang tanah air? Tentu penting juga, karena menjadi alat pembayaran kita, meski secara perbandingan kalah dalam jumlah nilai. Satu dollar Amerika jadi empat belasan ribu rupiah, satu dollar Singapura bisa sepuluh ribuan rupiah, satu ringgit Malaysia bisa sejumlah tiga ribuan rupiah, satu bath Thailand setara dengan empat ratus perak rupiah.

Pada intinya nilai mata uang Rupiah kita masih kalah, jika dibandingkan uang dari negara lain yang familiar dengan warga kita. Apakah mungkin keadaan bisa berbalik? Misalnya dalam pembulatan angka, Rupiah tidak lagi berlaku sebagai ekor. Bukan lagi nilai satu mata uang asing itu berapa sekian rupiah, tapi satu Rupiah itu berapa sekian nilai mata uang asing, seperti menjadi kepala jika diadu dengan mata uang lain. Apakah bisa? Jawabannya bisa saja, tidak ada yang tidak mungkin, tapi perlu dibarengi dengan usaha dari berbagai sektor (pastinya).

Tapi yang pasti mata uang Rupiah kita juga tersedia dengan berbagai pecahan. Untuk yang terkecil itu seratus perak, hingga seratus ribu rupiah yang terbesar. Masih ingat dengan gerakan "Aku Cinta Rupiah" yang pernah terjadi? Itu adalah kampanye dari pemerintah kala itu, agar masyarakat bisa membantu, untuk menguatkan nilai Rupiah, ketika mengalami kejatuhan nilai yang dalam. Tapi beruntungnya kita dapat melalui keadaan tersebut.

Rupiah dengan berbagai pecahan? Tentu ada juga, dipadukan dengan peluncuran terbatas pecahan tujuh puluh lima ribu. Dibuat dalam rangka kemerdekaan negara kita yang ke 75 dua tahun lalu. Kemunculannya disiapkan sebagai uang koleksi, karena saat penukaran mendapat jubah plastik layaknya kantong STNK. Jumlah peredarannya juga terbatas, tapi tetap berlaku sebagai alat pembayaran, meski sebagian masyarakat tidak mau menerima, mungkin takut dianggap tidak laku.

Keberadan uang memang penting, hingga muncul istilah orang bekerja untuk mencari uang. Bahkan ada guyonan tentangnya, uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang, setuju? Sebetulnya yah itu kembali lagi pada tujuan utamanya sebagai alat tukar. Banyak orang ingin menjadi kaya dan banyak uang, tujuannya? Yah untuk melebarkan ruang geraknya sendiri, hingga punya nilai alat tukar yang lebih besar, hingga bisa membeli barang dan jasa apa saja. Istilah motivasionalnya itu financial freedom, alias kebebasan untuk tidak lagi mencari uang. Xp

Kemudian ada pepatah lain lagi, uang tidak bisa membeli kebahagiaan, benarkah itu? Ada benarnya juga, sesuatu yang bersifat abstrak (bahagia) tidak bisa ditukar dengan uang. Sebagian tetap ada yang menyangkal, bahwa lebih baik tidak bahagia di dalam mobil mewah, ketimbang tidak bahagia di kolong jembatan, sependapat dengan itu?

Masalahnya bukan berada di dalam mobil mewah atau di kolong jembatan. Tapi bagaimana sikap orangnya, terutama ketika memandang bagaimana pentingnya uang, sebagai harta materi dan kita semua berusaha mengumpulkannya. Apakah kita terikat dengannya? Seperti bergantung pada uang tersebut? Jawabannya yah relatif dan semua bisa punya pendapat masing-masing.

Kemudian saya jadi ingat pepatah lain tentang Mamon, bahwa kita tidak bisa mengabdi pada dua tuan, salah satunya berupa kekayaan dan kelimpahan akan uang tersebut. Julukannya adalah sebagai Mamon yang tidak jujur, maksudnya adalah meski punya kuasa untuk membeli ini dan itu, ada saat tertentu harta tersebut tidak lagi berguna. Pada saat itulah uang dikatakan tidak punya kuasa (tidak jujur), serta tidak bisa lagi menyelamatkan kita.

Ada sebuah pepatah lain yang bagus, bahwa di mana hartamu berada, di sana lah juga hatimu berada. Artinya apa? Harta ada sesuatu yang kita pegang dalam tanda kutip. Keberadaannya bahkan bisa berpengaruh dengan pembawaan, serta dengan emosi (hati) kita. Harta tentu bisa punya berbagai macam bentuk, salah satunya berupa uang dan materi yang bisa dibeli oleh uang tersebut.

Kembali lagi pada pepatah awal tadi, apakah benar uang itu segalanya? Hingga bisa kita andalkan? Ternyata tidak, karena harta berupa uang kekayaan yang disebut Mamon itu tetap punya batas, hingga secara tidak langsung banyak yang tertipu. Bahkan dikatakan sebagai Mamon yang tidak jujur, kenapa? Karena pada momen tertentu tidak bisa lagi digunakan, kapankah itu? Bisa datang dalam berbagai bentuk dan peristiwa. Tapi yang paling penting ketika sudah tidak berpengaruh lagi bagi seseorang, alias tidak bisa membeli "jalan hidup" kita.

Lagu di bawah ini adalah tentang cerita, segalanya (memang) butuh uang. Memang receh sekali tulisan ini. :))