Kamis, 31 Maret 2022

Puncak Jenuh


Untuk cerita kali ini, sedikit banyak masih ada hubungan dengan beberapa judul lainnya. Terutama jika dikaitkan dengan contoh kasus yang ingin diangkat. Antara contoh dan maksud tentunya punya sedikit perbedaan, yang satu sebagai situasi nyata, sedangkan yang lain lebih menggambarkan kondisinya saja. Untuk itulah kata Sikon yang berasal dari dua kata, situasi dan kondisi memang berhubungan cukup erat.

Puncak Jenuh? Memangnya apanya tuh yang sedang bikin jenuh? Banyak hal tentunya, dan itu bisa juga dialami oleh masing-masing dari kita. Bisa jenuh terhadap keadaan, di mana saja lingkungannya tempat kita berdiam, atau bisa juga jenuh terhadap hal lain. Titik jenuh itu biasanya berhubungan dengan keadaan kita sendiri, serta bagaimana kita berlaku terhadap sekeliling, hingga sesungguhnya hal itu bisa saja dibaca oleh pihak luar.

Untuk bahasan kali ini, saya akan mendongeng tentang Puncak Jenuh dari situasinya terlebih dahulu. Berangkat dari sebuah pengalaman refreshing, untuk mendatangi satu tempat yang bisa menyegarkan pikiran. Atau dengan kata lain sebagai tempat hiburan, untuk kita sejenak rehat dari rutinitas, untuk kembali mendapatkan energi yang lebih baik atau penuh. Apa tuh pengalamannya? Lanjut di bagian bawah. :P

Puncak Jenuh? Ini juga bisa digambarkan sebagai tempat, sesuai dengan sedikit pengalaman yang diangkat. Lokasi kawasan Puncak tentu sudah sangat terkenal, terutama bagi warga yang tinggal di daerah Jabodetabek. Bahkan beberapa kali juga pernah saya bahas, tentu dengan tema yang berbeda-beda pula, di sini, sini dan sini.
Jalur Puncak  27 Feb 22
Sumber : netizen

Perlu digarisbawahi pula, bahwa setiap daerah punya titik Puncaknya masing-masing. Misalnya Bandung punya Lembang dan Ciwidey, atau Semarang punya Ungaran, atau Surabaya lebih banyak lagi, ada Trawas Batu dan Bromo dll. Pada intinya jarak terdekat antara daerah dataran rendah dan tinggi.

Jika bicara lokasi, kenapa saya sangat gandrung, serta gemar mampir ke sana, pada akhirnya terjawab secara ilmiah. Jika kita suka terhadap sesuatu, pasti ada alasan di balik itu, tidak mungkin hanya sekadar suka saja tanpa tujuan, setuju? Untuk lokasi Puncak-nya Jabodetabek, maka daerahnya terkenal dengan sebutan Puncak Bogor, karena jalur perbukitannya masih ada di dalam batas wilayahnya.

Selain sebagai tempat refreshing favorit yang berulang kali didatangi, beberapa kali juga berlaku sebagai tempat healing, karena antara keduanya juga punya perbedaan. Kenapa daerah Puncak Bogor tidak bosan didatangi, mulai juga terjawab. Ketika sebuah alasan mulai menemukan tujuan, pada akhirnya peta bisa berubah dengan sendirinya, kembali lagi berhubungan erat pada situasi dan kondisi.

Pertama itu alasan utamanya ada keinginan untuk bermalam di sana. Dalam artinya benar-benar menginap, pada lokasi jarak dari Gunung Mas sampai Puncak Pass, karena di sana berupa jalur perbukitan, dengan perkebunan teh atau secuil hutan di kedua sisi jalan. Pada beberapa waktu belakangan hal itu juga dilakukan, seperti menginap di Telaga Warna Resort, hingga pamungkasnya adalah menginap juga di Puncak Pass Resort.

Kedua itu alasan tentang "kedekatan" khusus, dengan apa yang jadi kegemaran lain sejak dulu. Apa tuh kegemaran lainnya? Tidak lain dan tidak bukan, berupa kebiasaan menyeruput minuman teh. Menikmati seduhan teh secara khusus, tentu agak berbeda dengan sekadar minum untuk menemani santap makanan. Untuk itulah kegemaran setiap orang bisa berbeda-beda, ada yang menaruh perhatian khusus, sekedarnya, atau memang tidak menjadi perhatian sama sekali.

"Ini mah tehnya saya tanam sendiri, tuh di belakang warung" ujar pemilik warung, ketika membuka dagangannya di satu jalur wisata. Menunjuk satu bidang kecil tanaman yang tumbuh, mungkin hanya beberapa meter saja.

"Saya kira teh itu cuma ditanam di perkebunan yang luas seperti di sana dan sana" balas saya, agak heran dengan kenyataan tersebut. Mengetahui bahwa siapa saja, ternyata bisa menanam di mana saja, asalkan punya kondisi tanah yang mirip-mirip.

"Oh kalau kebun teh yang besar itu mah biasanya punya perusahaan" timpalnya kembali.


Sebuah fakta yang baru saya ketahui pula, ternyata memang masuk akal juga. Andai kita punya tempat tinggal di daerah yang ketinggiannya sesuai, ternyata bisa saja kita tanam sendiri. Jangan dibandingkan dengan perusahaan yang punya wilayah lebih luas, karena mereka memang panen dalam jumlah besar, untuk dijual kembali.

Untuk daerah Puncak Bogor sendiri, kawasan yang berupa hutan produktif dikuasai oleh negara, dengan nama PTPN atau Perkebunan Nusantara. Sementara untuk kawasan hutan lindung berada di bawah naungan Perum Perhutani, dalam artinya tidak boleh ditanami apapun (bukan kawasan produktif tapi kawasan yang harus dilestarikan).

Dua alasan itu mungkin jadi yang utama. Pertama ingin menginap di zona perkebuhan teh sana, kedua karena saya juga menjadi penikmat seduhan daun tehnya juga. Meski ada alasan lain berupa kegemaran mengunjungi Air Terjun di Cibodas, tapi sepertinya jenis wisata itu sudah berbeda koridor, kenapa? karena posisinya sudah di luar jalur Puncak tersebut, jadi hanya sekadar numpang lewat saja selama di sana.

Nah untuk lokasi Puncak tersebut, sebenarnya itu lebih berhubungan dengan situasi. Dalam artian menunjuk lokasi tertentu, sebagai salah satu yang bisa diangkat dalam contoh bahasan. Puncak Jenuh? Bisa dibilang akhirnya saya mulai jenuh (bosan), terhadap daya tarik Puncak Bogor sebagai tujuan wisata.

Kita semua atau sebagian juga bisa berada dalam situasi tersebut. Punya tempat atau tujuan favorit tertentu, seiring dengan waktu, dengan berbagai alasan akhirnya berubah. Tidak lagi menjadikan tujuan itu sebagai tempat pertama, karena berpindahnya arah tujuan kita, pastinya berhubungan dengan kebutuhan masing-masing, setuju?

Sebaliknya bagaimana jika berkaitan dengan kondisi? Sebagai pasangan dari situasi yang tadi dibahas? Lebih tepatnya kondisi adalah keadaan yang berada di dalam kendali kita. Untuk bahasan di cerita ini cukup sederhana, tapi punya imbas yang jauh lebih besar, karena berujung pada sikap dan reaksi kita sendiri.

Pertama itu tentang menginap di jalur Puncak tadi. Setelah mencapai tujuan utama menginap di Puncak Pass Resort, pada akhirnya kondisi saya ikut berubah. Ketertarikan yang begitu tinggi terhadap wisata Puncak Bogor langsung berkurang, bahkan untuk tujuan tertentu langsung menghilang. Ini berkaitan dengan kondisi kita yang mengalami (tujuan) secara langsung, hingga akhirnya merasa sudah cukup dan beralih pada tujuan lain.

Kedua itu tentang jalur perkebunan Teh di Puncak Bogor, setelah mendapat momentum yang tepat, untuk berjalan-jalan di sekitar lokasi perkebunan teh. Kala itu mendapat titik yang terbaik dari segi pemandangan, serta menyadari bahwa kegemaran itu mungkin saja berhubungan, dengan kebiasaan meminum teh. 

Kebiasaan saya meminum teh tawar sekali celup, mungkin saja ada hubungannya. Alasan yang mungkin membuat saya tidak pernah bosan, untuk melintas di jalur perkebunan teh tersebut. Kondisi itu ikut pula berpengaruh, bahwa akhirnya kegandrungan saya ke sana ada sebabnya. Bahkan pada satu hari, ketika wisata kilat ke sana, sudah sengaja membawa teh celup, sebagai bagian dari cerita singkat objek dokumentasi. Xp

Situasi dan Kondisi, atau istilah gabungan yang terkenal dengan kata Sikon, ternyata punya dua keadaan yang berbeda dari segi pengaruh. Situasi (keadaan luar) itu sudah ada dari sananya dan tidak atau jarang berubah. Sementara untuk Kondisi (keadaan dalam) itu berasal dari sikap kita, bahkan seringkali berubah-ubah dengan cepat. Sudah menangkap perbedaannya? :)

Nah itu jika diukur dari contoh bahasan, tentang situasi (di Puncak) dengan kondisi (kita) tentang tujuan di sana. Kemudian apakah itu berlaku untuk hal lain? Tentu saja, bisa berlaku pada situasi dan kondisi kita semua, apa saja dan di mana saja, sesuai dengan tujuan masing-masing pribadi. 

Untuk situasi dapat berlaku sangat luas, bisa dari keluarga dan pergaulan teman, atau lingkungan kerja dan tempat kita beraktifitas. Atau segala keadaan selama kita berada di dalamnya, serta berada di luar kendali. Sementara untuk kondisi lebih berhubungan dengan kita sendiri (atau benda lain), ketika berada di sekeliling atau sebuah ruang lingkup.

Kondisi itu tidak hanya sebatas menunjuk kepada kita, tapi berlaku juga pada benda atau objek lain. Misalnya sebuah bangunan rumah di dalam sebuah lingkungan. Nah sebuah rumah bisa masuk dalam kondisi bagi seseorang, karena masih berada dalam kendali. Misalnya seseorang berhak merenovasi, atau mengganti perabotan di dalam, atau mengubah sebagian bentuknya. Sementara untuk rumah tetangga sudah berada di luar kendali, hingga lingkungan sekitar disebut sebagai situasi. Begitulah kira-kira apa yang membedakan kedua kata tersebut, meski punya pengertian yang sama berupa keadaan.

Situasi dan kondisi bisa membuat Jenuh? Sangat bisa dan lumrah terjadi dialami masing-masing dari kita. Tinggal bagaimana sikap kita untuk mengatasi rasa jenuh tersebut, bisa dengan refreshing, seperti contoh saya berwisata ke Puncak tadi, atau mencari cara agar rasa jenuh itu menghilang. Itu berlaku pada kegiatan yang menjadi kewajiban, karena sifatnya yang terus menerus (rutin) perlu dilakukan. Bagaimana dengan hak? Tentu ada porsinya sendiri.

Untuk kegiatan yang menjadi sebuah hak, maka hal itu tidak harus selalu kita lakukan, karena sifatnya hanya sebagai pelengkap. Bahkan sebuah kegiatan tersebut bisa menjadi jalan keluar, untuk kita menghilangkan kejenuhan dari rutinitas. Misalnya saja melakukan hobi kita, mencari hiburan dan menonton film, atau berlibur untuk refreshing ke suatu tempat dll. Terdengar lebih masuk akal bukan? Karena keduanya bisa saling melengkapi satu sama lain.

Bagaimana dengan Puncak Jenuh? Nah ini bisa menjadi titik loncat bagi seseorang, karena posisinya sendiri yang sudah mencapai puncak (titik tertinggi). Maksudnya bagaimana tuh? Artinya rasa jenuh itu mungkin saja sudah mencapai batas tertinggi (buntu), hingga perlu berpindah jalur, agar mendapatkan kembali situasi dan kondisi yang ideal.

Misalnya dalam lingkungan kerja, ketika mencapai Puncak Jenuh, maka seseorang sudah tidak bisa menahan diri lagi. Pilihan untuk sekadar rehat dan kembali ke sana sudah tidak bisa dilakukan. Kenapa bisa begitu? Karena rasa jenuh sudah mencapai batas, agak berbeda dengan jenuh yang  bersifat sementara. Jika demikian (jenuh sementara), maka situasi di sana sebetulnya tidak terlalu berpengaruh. Hanya kondisi seseorang saja yang kurang mendukung, dalam arti perlu pencapaian khusus di tempat tersebut, seperti naik pangkat dan jabatan, atau naik gaji.

Jika benar sampai batas Puncak Jenuh, maka pilihannya justru lebih berani, misalnya dengan berhenti (resign), atau pindah ke tempat lain. Pada titik itu, maka seseorang perlu mencari situasi yang baru, karena ingin segera meninggalkan situasi dan kondisi yang lama. Pada dasarnya untuk kebaikan diri sendiri, seseorang memang perlu mengambil sikap demikian. Hal itu berlaku dalam berbagai bidang, tidak hanya soal pekerjaan saja.

Jenuh terhadap situasi dan kondisi, jika sifatnya sementara bisa dihilangkan dengan rehat sejenak. Kemudian andai jenuhnya sudah mencapai batas bagaimana? Berada di Puncak Jenuh? Artinya situasi dan kondisi itu yang justru membuat kita jenuh, hingga perlu mengambil sikap yang tidak biasa, untuk dapat keluar dari keadaan tersebut.

Jenuh di sini bisa dikaitkan dengan hilang atau berkurangnya zona nyaman, sudah dibahas di sini jika berbicara dari kaca mata keadaan.