Senin, 11 April 2022

Bis Jarak Jauh


Untuk cerita kali ini sesuai judul, maka saya akan mendongeng tentang Bis Jarak Jauh, atau biasa dikenal dengan sebutan Bis AKAP, alias Antar Kota Antar Propinsi. Berlawanan dengan cerita saya di sini, karena di sana bercerita tentang Bis Jarak Dekat, yang beroperasi di dalam kota. Untuk kali ini kendaraan umum yang akan diangkat punya rute keluar kota.

Jika tujuan rute angkutan umum akan keluar kota, sudah pasti jaraknya bukan jarak dekat, tapi cenderung jauh menurut titik akhir yang akan dilalui. Sehingga jauh di sini dapat berbeda-beda ukurannya, apakah agak jauh, lumayan jauh, atau sangat jauh. Biasanya definisi jauh di sini diukur berdasarkan jarak, apakah menuju kota tetangga, atau kota lain yang melewati beberapa kabupaten, atau justu kota yang sudah berbeda propinsi.

Untuk rute menengah yang hanya berjarak satu dua kabupaten, biasanya akan dilayani oleh Bis Tanggung berukurang sedang, cukup banyak dijumpai dengan rute yang lebih fleksibel. Misalnya dari Jakarta itu tujuannya ke Bogor, Cianjur atau Sukabumi dsb. Atau yang pernah saya gunakan itu misalnya Purwokerto menuju Wonosobo di wilayah Jawa Tengah , atau dari Probolinggo menuju Bondowoso di wilayah Jawa Timur.

Kemudian jika jaraknya sudah melewati beberapa kabupaten, maka sudah memenuhi kriteria untuk dapat disebut jarak jauh, meski kota yang dituju masih berada di propinsi yang sama. Misal dari Jakarta itu menuju Cirebon, Garut atau Tasikmalaya di Jawa Barat. Perbandingan lainnya misal dari Purwokerto menuju Surakarta di Jawa Tengah, atau Pacitan menuju Surabaya di Jawa Timur. 
Youtube = Wisnu Setiawan + Music

Jarak tempuh panjang yang akan dilewati, sudah pasti masuk dalam golongan perjalanan jauh. Untuk fenomena perjalanan jauh ini sebetulnya cukup biasa, setiap harinya akan ada angkutan umum yang beroperasi, antara satu kota dan kota lain, termasuk juga propinsi lain. Tapi jika dalam fenomena khusus, tentu akan punya atmosfer yang berbeda pula. Hal inilah cukup saya ingat sebagai warga ibu kota, karena tidak pernah mengalami istilah "Pulang Kampung" pada momentum tertentu. :P

Ingatan unik saya tentang migrasi massal ini tentunya jatuh pada momentum khusus. Biasanya setiap tahunnya pada hari raya Lebaran, hingga istilah "Arus Mudik" dikenal, karena para perantau akan kembali ke kampung halaman masing-masing. Pada rentang waktu inilah, maka akan banyak perjalanan ke berbagai kota disorot, dengan ciri khas penumpang yang membawa banyak barang bawaan.

"Orang mah omonginnya Pahala Kencana, atau Lorena gitu lah. Ini malah Sinar Jaya sama Damri" celetuk salah seorang dengan terbahak. Mengomentari tentang identitas jenis kendaraan yang digunakan, dengan perbandingan kualitas yang akan didapat selama perjalanan.

Seperti yang disebutkan tadi, karena saya sendiri merupakan warga ibu kota Jakarta, maka tidak pernah ikut migrasi dengan istilah Pulang Kampung. Tapi bukan berarti kegiatan migrasi itu tidak berhak dilakukan, karena perjalanan itu bisa saja dilakukan siapa saja, meski tidak punya kampung di daerah lain. Untuk saya sendiri istilah "Liburan ke Daerah" akhirnya jadi judul perjalanan, karena kepentingannya untuk sekadar melancong. Xp

Pengalaman pertama saya untuk naik bis jarak jauh ini, adalah kala pertama kali liburan ke Jawa Tengah. Menggunakan bis malam dari Jakarta menuju Wonosobo, tapi saya akan turun di Purwokerto. Memilih bis dengan identitas Malino Putera, karena tempat naiknya paling dekat dengan tempat tinggal. Membeli tiket dan menunggu di Agen Bis Jembatan Gantung, melaju hingga beristirahat di Losarang Pantura. Melewatkan tengah malam dengan tidur, hingga sampai tujuan selepas subuh. B)

Selanjutnya setelah dari sana, saya menggunakan bis berukuran sedang dari Purwokerto menuju Wonosobo. Berlanjut pada dua hari berselang, dari sana menuju Magelang dengan dua kali pergantian bis sedang. Pertama berhenti di Parakan, kemudian berhenti di Secang, hingga sampai tujuan akhir di Magelang. Dari tempat keberangkatan sang kernet sudah mengatur, hingga saya tinggal ikut instruksi saja ketika berpindah kendaraan. Sebuah perjalanan liburan yang cukup seru, meski sedikit repot dengan gonta-ganti kendaraan.

Pengalaman kedua ada pada liburan edisi lain, ketika menaiki bis jarak jauh dari Jogjakarta menuju Surabaya, tapi saya akan turun di Solo. Perbedaan antara jarak sedang dan jauh ada di ukuran bis, karena bis besar hanya akan berhenti di terminal yang disinggahi, atau pada titik-titik tertentu di setiap daerah, tidak bisa sembarangan menurunkan penumpang di mana saja. Untuk kenyamanan tentu bis besar lebih baik, karena terkesan lebih "pribadi" ketimbang bis berukuran sedang.

Kemudian masih pada liburan yang sama, setelah liburan di Pacitan selesai, maka saya mengambil bis Aneka Jaya yang menuju Surabaya. Kala itu sudah malam hari dan keadaan di terminal sudah sepi. Bis masuk terminal hanya sekadar numpang lewat saja, apakah ada penumpang yang akan naik dari sana, termasuk saya salah satunya. 

Pada saat menunggu di terminal, beberapa tukang ojek menawarkan untuk membeli tiket, agar lebih aman dapat tempat duduk. Tapi tidak terlalu saya indahkan, masih cukup yakin bisnya tidak penuh. Tapi pada saat naik perkiraaan saya langsung buyar, karena bis cukup penuh, serta adanya penumpang lain yang naik dari titik lain. Beberapa penumpang bahkan sudah membeli tiket sebelum keberangkatan.

Beruntung masih tersedia beberapa kursi, untuk langsung beli tiket di dalam bis. Jika kursi sudah penuh maka saya tidak kebagian kursi dan harus berdiri, sampai ada penumpang lain turun, ada banyak penumpang yang turun di Madiun. Melewatkan malam dengan tertidur dan terjaga sejenak, ketika bis beristirahat di daerah Nganjuk, kemudian turun di Mojokerto di jam subuh.

Pengalaman lain yang berbeda rute, ketika saya berlibur di tanah Sulawesi. Mengambil bis malam dari Makassar menuju Rantepao Toraja, kemudian sampai di tujuan pada saat pagi. Pergi Pulang dengan rute yang sama esok malamnya, bis menuju Makassar kembali, tapi saya turun di daerah Maros selepas subuh, untuk ke tujuan selanjutnya Bantimurung.

Kemudian selang waktu cukup panjang, pada akhirnya saya melakukan liburan yang lokasinya tidak terlalu jauh, karena masih berada di wilayah Jawa Barat. Mengambil bis Primajasa menuju Garut, pergi dan pulang pada jam siang, tapi membutuhkan waktu lebih dari enam jam karena kepadatan lalu lintas di sepanjang jalur.

Bis jarak jauh ternyata sebagiannya punya aturan main yang sama dengan bis umum biasa. Untuk jenis ini penumpang bisa ikut naik, meski tidak kebagian tempat duduk, alias berdiri sampai ada kursi kosong. Belakangan diketahui, jenis ini termasuk dalam bis AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi), artinya masih beroperasi di dalam propinsi yang sama, hingga bisa menjual tiket tanpa tempat duduk. 

Pada perjalanan pergi ke Garut saya langsung dapat tempat duduk, ketika naik dari perempatan Lebak Bulus, karena bis hanya mengambil penumpang di beberapa titik saja, tanpa masuk terminal, karena langsung berangkat dari pool bis (kandang) di Ciputat.

Tapi saat pulang, niat awal untuk naik dari terminal kota Garut tidak kesampaian, oleh karena kernet microbis dari Papandayan mengarahkan, untuk naik dari perempatan Tarogong. Diberitahu bahwa semua bis umum antar kota akan melewati perempatan tersebut. Saya juga tahu resiko andai naik dari sana, bisa jadi tempat duduk sudah penuh semua, hal itu memang benar terjadi. Naik menjadi penumpang berdiri dan baru mendapat tempat duduk, ketika salah satu penumpang turun di Cileunyi.

Sampai akhirnya setelah sekian lama tidak lagi melakukan perjalanan jauh, belum lama ini niatan itu datang kembali, bersamaan dengan adanya urusan lain. Rencana untuk kembali berlibur kembali datang, sekaligus memilah-milah ingin menggunakan transportasi apa, jalur darat melalui roda karet atau besi. Karena sekaligus ingin diselingi dengan berlibur, maka saya akan menaiki jalur darat roda karet, alias bis antar kota antar propinsi.

Pilihan langsung mengerucut, pada identitas tua yang sudah eksis sejak lama bernama bis Sinar Jaya, atau mungkin ada PO (Perusahaan Otobis) bis-bis lainnya. 

Kemudian lebih condong pada titik keberangkatan, berlokasi di terminal antar kota terdekat di Kalideres. Sekaligus pertama kalinya pula menjajal terminal di dalam ibu kota Jakarta, untuk berangkat keluar kota.

Bis Rosalia Indah akhirnya terpilih, untuk berangkat langsung menuju Wonosobo. Rencana menaiki bis Sinar Jaya jadi urung dilakukan, bahkan baru tahu jika bis Malino Putera sudah pensiun. Berangkat pada malam hari ketika suasana jalan ibu kota mulai lenggang, serta bisa memacu perjalanan tanpa kemacetan, hingga memasuki jalan bebas hambatan Cikampek Cipali.

Bahkan saya baru tahu, bahwa saya naik di tengah rute, bukan yang benar-benar berangkat dari Jakarta. Dari keterangan rute yang terpampang, bis yang saya naiki itu berangkat dari Merak, kemungkinan pada sore hari. Tapi terjebak kemacetan parah di petang hari, saat memasuki Tangerang Poris Plawad dan Kalideres, sebelum meluncur lancar di jalan tol dalam kota di malam hari.

"Kalau ke Solo itu ada bis Eka dan Sugeng Rahayu. Jadi amannya jam 9 pagi sudah di sini" ujar tukang ojek. Memberi informasi tentang bis besar yang singgah di terminal Wonosobo, ketika saya sampai di sana dan menggunakan jasanya. 

Karena sudah ingin praktis, selepas berlibur di sana ingin menggunakan transportasi langsung sampai tujuan. Sudah enggan untuk melakukan pergerakan estafet dengan beberapa kali berganti bis. Memilih bis besar yang tinggal duduk sampai tujuan, kemudian mengikuti jadwal yang dianjurkan dan berangkat menjelang siang.

Dari Wonosobo menuju Solo menggunakan bis Eka, dengan beberapa pemberhentian di setiap terminal, atau titik tertentu di beberapa kota. Hingga akhirnya sampai tujuan pada sore hari, melewati perjalanan lebih dari enam jam. Cukup lama juga ternyata karena jalurnya itu memutar ke Jogjakarta yang lebih datar dan lebar, ketimbang melewati Ambarawa Salatiga yang naik turun perbukitan. Secara jarak memang cukup jauh, bukan yang tipe jarak sedang. Xp

Sebuah keseruan tersendiri ketika melakukan perjalanan jarak jauh tersebut. Itu berlaku jika tujuannya memang jauh, hingga perlu menempuh waktu yang lebih panjang. Bahkan untuk perjalanan jarak sedang juga tidak kalah seru. Kemudian bagaimana dengan jarak dekat? Tentunya masing-masing punya cerita dan pengalaman berbeda, untuk itulah pada alinea pertama di atas sudah disertakan pula tautannya.

Perjalanan sesungguhnya serupa dan identik, antara jarak dekat sedang atau jauh. Masing-masing dari kita punya perjalanan yang berbeda pula, tidak akan sama satu sama lain. Tapi yang paling penting saat perjalanan itu, kita sedang atau sudah menentukan tujuan, untuk turun atau berhenti di mana, setuju?

Jika di dalam cerita itu membahas tentang pergerakan kita dari satu ke lokasi lain. Jangan lupakan pula bahwa kita semua sedang melakukan perjalanan lain, dalam hal itu waktu yang terus berjalan, berlaku untuk semuanya tanpa terkecuali. Untuk itulah tiap-tiap orang juga punya waktunya sendiri, tatkala memulai perjalanan, serta kapan sampai di tujuan. :)

Atau bahkan jika dikaitkan dengan perjalanan kita sebagai makhluk hidup. Pada saat kita lahir dan keluar menuju dunia inilah awalnya, tatkala kita bernapas untuk pertama kalinya. Suka atau tidak suka, kita sudah memulai "perjalanan" mengarungi rute kehidupan, hingga kita sampai di tujuan akhir, ketika waktu kita di dunia selesai, setuju?

Nah selama dalam perjalanan itulah, rute kita masing-masing bisa berbeda. Umumnya dari jarak awal masa kanak-kanak hingga remaja yang masih bersekolah. Kemudian berlanjut pada saat menjadi dewasa, hingga berkeluarga dan seterusnya. Kita adalah bis-bis dalam bentuk tubuh, menempuh jarak (usia) yang relatif jauh dari segi waktu, bukan sekadar jarak lokasi saja.

Layaknya kita menaiki bis jarak jauh untuk sampai pada tujuan akhir. Pastinya kita perlu mengarahkan diri kita sendiri, sebagai tubuh (bisa) yang akan bergerak menuju tujuan. Bagimana jika enggan bergerak ke tempat jauh, yah yang dekat-dekat saja. Bagaimana pula jika yang dekat juga urung dilakukan? Yah diam saja di tempat kalau begitu, tidak ada yang larang juga. :P

Ada waktu menabur, ada waktu menuai, itu hukum alam dan tidak bisa dibantah. Bagaimana jika menuai tanpa menabur? Bisa dibilang itu sebuah hukum alam yang tidak terjelaskan, alias magis, bisa saja terjadi pada setiap kita.  Misalnya secara hukum alam idealnya menabur banyak akan menuai banyak dan sebaliknya. Tapi bisa juga di luar kendali, menabur banyak tapi menuai sedikit, atau menabur sedikit tapi bisa menuai banyak. Nah selain menabur, ternyata kita perlu fokus juga pada memupuk merawat dan melestarikan, sebuah tahapan sebelum menuai di akhir, setuju? Jadi banyak sekali pengaruhnya dan kita harus awas terhadap sekeliling.

Seperti analogi unik yang pernah saya lihat, tentang tiga sosok, yang pertama berlatih normal hingga bisa mencapai tebing seberang, sementara yang kedua berlatih ala kadarnya, perjuangannya lebih ekstra untuk sampai ke tebing seberang. Sementara yang ketiga jadi antiklimaks, tidak pernah berlatih karena sibuk dengan hal lain, tapi menemukan solusi jitu dengan ketapel raksasa, hingga dirinya bisa mementalkan diri ke tebing seberang juga, tanpa perlu susah payah. Xp

Atau dari video balapan bis AKAP yang ada di atas tadi. Penumpang merekam aksi bis yang ditumpanginya, bersiap menyusul bis di depannya. Tidak pakai lama bis di depannya mengalah, memberi jalan untuk disusul di jalur yang tepat untuk mendahului. Tapi lanjutannya justru jadi kejutan, karena ada bis ketiga yang tiba-tiba ikut menyusul, menggunakan jalur paling kiri, cukup berbahaya dan riskan menggunakan bahu jalan untuk mendahului. Tapi beruntungnya bis ketiga berhasil menyusul dengan baik, jika tidak tentu akan berbahaya andai celaka. :P

Dari cerita perjalanan bis, baik jarak dekat sedang dan jauh. Akhirnya kita perlu paham dengan perjalanan kita sendiri, apa tujuan kita saat berada di sini sekarang? Kita ada di sini pastinya bukan tanpa sebab, karena kita semua berharga, hingga akhirnya ada, titik. :))