Kamis, 10 November 2022

Cetak Buku


Cetak Buku? Emanknya bisa?
Bisa saja, justru gampang.

Apa yang terlintas pertama kali, ketika mendengar kata buku? Sesuatu yang membosankan? Sesuatu yang sulit? Tergantung dari masing-masing kita menyikapinya. Mungkin saja ada beragam pendapat, misalnya hanya orang pintar saja yang berurusan dengan buku, atau hanya para pelajar saja yang punya kepentingan dengan buku, atau juga hanya seorang kutu buku saja yang akrab dengan dunia tersebut, tidak ada yang salah pula.

Buku itu sebetulnya tidak seseram dan tidak membosankan yang dikira, karena sifatnya hanya sebagai wadah dalam tanda kutip. Maksudnya bagaimana tuh? Maksudnya itu sebagai tempat, alias wadah dari sesuatu. Nah sesuatu itulah yang bisa berbeda satu sama lain, bisa dalam bentuk tulisan atau gambar, sebagai isi dari selembar kertas, kemudian disatukan menjadi buku. Sudah menangkap maksudnya? Buku itu pengertian awamnya adalah sebuah tempat saja, di mana banyak tulisan di tempatkan, tentunya dengan beragam judul dari penulis atau pengarang.

Penulis sendiri arti dasarnya adalah kegiatan seseorang, ketika membuat sesuatu di atas halaman kosong, entah itu kertas, tembok, atau bisa juga benda lain. Idealnya berupa tulisan yang ada simbol huruf dan angka, hingga membentuk kalimat dan bisa dibaca. Bahkan terbagi dalam dua kategori, selain menulis kata-kata, ada juga menggambar sebuah objek, kalau ini simbolnya berupa garis. Mirip juga dengan tanda tangan kita, itu adalah identitas bergambar kita yang paling sederhana. :))

Arti kata penulis sendiri mengalami perkembangan, bukan lagi kegiatan membuat sesuatu di atas benda tertentu (kertas), tapi sudah lebih fokus pada predikat kegiatannya. Artinya seseorang dapat membuat sesuatu, di media apa saja selain benda (fisik). Berlaku juga di halaman digital atau aplikasi komputer (non-fisik), hingga istilah mengetik di keyboard dikenal. Tapi hasil akhirnya tetap sama, yaitu adanya sebuah kata-kata atau gambar yang kita buat.

Untuk kita yang masih bersekolah atau berkuliah, biasanya akrab dengan karya tulis semacam ini. Misalnya ada tugas mengarang, atau membuat makalah dan skripsi. Intinya mengasah kemampuan kita, untuk mencari dan mengolah data, serta "mendongengkan" temuan sesuai tema masalah tersebut dalam sebuah tulisan.

Jika kita datang ke toko buku besar, kemudian di sana tersedia berbagai macam buku-buku. Pastilah masih banyak penulis yang menghasilkan sebuah karya, dengan berbagai macam tema. Mulai dari yang sangat serius, hingga yang ringan dan menghibur. Mungkin pula sebagian di antara kita menganggap kasihan para penulis ini, karena diberitakan hanya mendapatkan royalti di kisaran 10% dari total harga buku. Fakta sesungguhnya di dalam sebuah harga buku, ada biaya-biaya dan ada bagian dari masing-masing pihak yang berkontribusi, salah satunya penulis itu sendiri. :)

Menurut saya pula para penulis ini idealnya itu hampir serupa semua. Hanya menuangkan sebuah gagasan, hingga menjadi ajang aktualisasi diri, menuangkan pemikiran kita ke dalam tulisan. Jika niat utamanya hanya untuk mencari keuntungan, bisa dipastikan akan kecewa, karena hasil yang tidak sesuai dengan usaha yang dikeluarkan. Alias tidak cocok dengan tujuan mencari keuntungan dari profesi ini, meski sebagian juga bisa mendapat keuntungan berlipat dari sana.

Kemudian ada sebuah celotehan, bahwa kita harus membaca buku agar lebih berwawasan, apakah itu benar? Jawabannya memang benar, tapi bukan satu-satunya cara. Seperti yang disebutkan di atas, buku hanya sebuah wadah atau tempat, sementara isi tulisan itu bisa menggunakan berbagai macam tempat. Salah satu tempat yang sangat lumrah sekarang adalah jaringan internet, karena di sana kita bisa menjumpai banyak halaman digital, tentu salah satunya berupa tulisan yang sejenis.

Untuk zaman sekarang, apakah buku itu akan ketinggalan zaman? Untuk medianya mungkin saja bisa begitu, tapi tidak dengan isinya. Penggunaan kertas dikatakan berasal dari penebangan pohon, kurang ramah lingkungan. Konon dokumentasi kertas ini juga mulai ditinggal oleh zaman, hal itu terlihat dari slogan kekinian "paperless" yang artinya tanpa kertas. Penggunaan halaman digital jadi lebih diutamakan, karena lebih tahan lama dan memuat lebih banyak. 

Contohnya pose Bill Gates di bawah ini, membandingkan jumlah halaman kertas dengan media CD pada zaman awal perkembangan komputer. Untuk sekarang media CD juga sudah tergusur dengan penyimpanan digital, seperti harddisk, memory card, USB dan lain-lain.

Perlu diingat pula, bahwa selain tulisan, kita juga bisa mendapatkan informasi, atau belajar dari apa yang disampaikan orang lain. Untuk wadah ini sudah berbeda daya tangkap, karena bukan lagi secara visual (tulisan dan gambar), tapi juga bisa melalui audio (suara). Intinya banyak jalan menuju Roma, alias kita bisa menggunakan banyak wadah dan tempat yang tersedia di sekeliling kita. Tapi jangan lupakan pula, agar kita lebih jeli dalam menerima pembelajaran, karena tidak semua informasi itu berguna untuk kita, setuju? Untuk kewaspadaan ini sudah saya tuliskan di sini, berbicara mengenai Tukang Ngoceh yang asal berbicara. Xp

Jadi apalagi yang mau didongengkan? Jawabannya adalah bagaimana buku itu dibuat, serta siapa saja yang bisa membuat buku tersebut. Ini yang membedakan sebuah karya dengan karya lain, misalnya antara wadah buku dengan wadah tulisan di internet tentu beda aturan main. Kemudian antara sebuah buku ilustrasi bergambar, dengan tampilan gambar bergerak di televisi atau internet, itu juga kedua jenis media yang berbeda.

Untuk cerita buku ini, bagi saya sendiri cukup sederhana. Dulu saya pernah iseng-iseng membuat buku mini, artinya menyusun tulisan sebagai sebuah cerita utuh. Tulisan itu kita cetak di atas kertas, sesuaikan pengaturan batas atas kiri kanan bawah berapa jaraknya. Kemudian disatukan halamannya berurutan, ukurannya juga mengikuti buku-buku komersial yang beredar di pasaran, bisa ukuran A5 atau 13 x 19 cm. Akhirnya dijilid di toko fotocopy, jadilah sebuah buku. Ternyata cukup sederhana bukan? Untuk sebuah karya pribadi. :P

Aturan permainan bisa jadi berbeda, andai sudah masuk ke dalam sebuah industri, dalam hal ini dunia penerbitan buku. Tentunya banyak pertimbangan yang diambil oleh sebuah penerbit, untuk bekerja sama dengan para penulis. Selain teknis isi dan tema dari tulisan, pasti ada masalah non-teknis yang ikut menentukan nilai, apakah seseorang yang mengajukan naskah ke penerbit itu bisa diterima atau tidak. Secara kasar yang namanya sebuah industri pastinya berorientasi pada profit, jadi jika ada potensi untuk laku keras, maka akan mendapat prioritas. Xp

Kog saya bisa mendongeng tentang penerbit? Ini berkaca dari pengalaman saya juga, karena dulu ada masanya saya terus berusaha, agar tulisan saya bisa menembus penerbitan. Pada akhirnya kempali kepada kitanya, kemampuan menjual karya tulis sendiri tetap memegang peranan penting, tidak bisa hanya bermodalkan nilai idealis saja. 

Pada akhirnya saya merasa cukup beruntung, karena bisa mengembangkan dan membuat tulisan yang lebih baik dan rapih, berbeda jauh dengan tulisan "pertama kali" yang isinya berantakan tidak karuan. Awalnya tentu mendapat arahan, dari teman dan beberapa pihak yang dulu ikut membantu, dalam pertemuan dan obrolan singkat. Untuk sekarang jasa pelatihan penulis (berbayar) ini sudah sangat banyak, bisa ditemukan dengan mudah di mesin pencari. :P

Buku-buku yang dijual di toko buku besar itu, apakah hanya bisa ditempuh melalui jalur penerbitan? Jawabannya iya karena memang aturannya begitu, harus ada sebuah identitas yang menyebarkan tulisan dalam buku tersebut. Kabar baiknya ternyata kita bisa menerbitkan sendiri, alias menempuh jalur self publish. Pengetahuan ini saya dapat ketika membaca tulisan Jonru, pada kolom artikel di halaman bisnis penerbitannya bernama Dapur Buku. Terdengar tidak asing? Iya, sosok yang kontroversi ketika membela jagoannya di pemilihan presiden dulu.

Jika menggunakan jalur self publish, artinya kita mengeluarkan biaya sendiri. Caranya bisa bekerja sama dengan penerbit khusus yang menyediakan layanan tersebut. Salah satunya penerbit milik Jonru tadi yang bernama Dapur Buku, tapi sayangnya sudah tutup, padahal dulu isi kontennya cukup bagus, sebelum terkena virus menjadi idola tokoh politik. Biasanya kita bisa memilih ingin menerbitkan buku berapa banyak, dengan jumlah harga yang berbeda-beda. Seluruh buku itu akan dikirim ke kita, bukan dijual komersial seperti penerbit umum Gramedia, Gagasmedia atau Grasindo dan lain-lain.

Kenapa bisa sedikit? Karena sistem mencetaknya itu bukan menggunakan mesin offset, tapi mesin digital yang bisa mencetak satuan. Mungkin serupa dengan alat cetak rumahan kita, atau kita sebut printer. Bedanya cetak digital ini sudah punya pengaturan khusus, agar ukurannya sesuai dengan buku-buku yang beredar di pasaran. Tidak lain dan tidak bukan serupa dengan toko fotocopy, tempat di mana para pelajar memperbanyak karya tulis, serta menyatukannya dengan beberapa jenis teknik, mulai dari jilid stepler biasa, softcover dan hardcover dan lain-lain.

Mirip juga dengan pengalaman saya membuat buku pribadi. Bedanya hasil cetakannya dipotong manual. Kemudian perlu melakukan pengaturan mencetak bolak-balik di satu halaman, jadi cukup repot juga dan perlu fokus agar halaman tidak tertukar. Kemudian untuk sampul menggunakan kertas foto yang lebih tebal. Akhirnya memang ada satu kepuasan mempunyai sebuah karya, terlebih ada bentuk fisiknya yang bisa kita sentuh, setuju?

Karena terus gagal menembus jalur penerbit, saya mengambil jalan penerbitan mandiri ini. Tapi caranya bukan bekerja sama dengan penerbit khusus, melainkan buat saja identitas penerbit sendiri. Tanpa ada pertimbangan dan masukan dari orang lain, serta tidak adanya penilaian netral secara professional, mungkin saja ada kekurangan di sana sini, hingga kesan idealis penuh sangat kental di sini. 

Saya cukup percaya diri untuk menjajal tantangan ini, hingga menggunakan jasa percetakan secara langsung. Di bawah ini adalah logo penerbit sendiri yang dibuat, namanya Arpa yang singkatannya Arah Panah, dengan maksud membuat pembaca berkesan, menusuk ke ingatan pembaca. Xp

Hasilnya memang sebatas menjual buku di toko buku besar, tapi persoalan non-teknis yang tadi disinggung ternyata memegang peranan penting. Bagaimana menjual sesuatu, isi buku atau nama penulis, itu yang luput dari perhatian. Hingga memang setiap penerbit umum yang besar sudah punya formula dan kebijakan sendiri, untuk melakukan tahapan promosi kepada publik. Mereka secara tidak langsung sudah berinvestasi menerbitkan sebuah karya, tanpa penulisnya mengeluarkan biaya sama sekali, pastinya harus melalui ketentuan yang berlaku, termasuk menyajikan yang terbaik ke pasaran.

"Sudah dapat berapa duit lu? Jual buku?" tanya salah satu teman saya, seseorang yang memang sepertinya cukup jeli dalam peluang. Melihat sebuah kegiatan sebagai aktifitas yang harus menghasilkan keuntungan, tentunya itu tidak ada yang salah.

"Arahnya bukan buat bisnis kalo jual buku....." jawab saya, sambil mengemukakan alasan lainnya. Sudah mengetahui dulu faktanya, bahwa jika ingin sukses (dapat uang banyak) jangan jadi penulis. Tapi jika ingin mendapat profit bisa dari industri buku, ikut ambil bagian saja menjadi penerbit dan percetakan, kemudian bisa juga manfaatkan jasa distribusi (transport), atau buka toko buku sekaligus dan ikut berbisnis di dalamnya. :P

Kenapa saya tiba-tiba ada ide membuat tema ini? Karena saya baru saja menjumpai satu kasus di dunia Twitter, ketika seseorang ingin menerbitkan buku secara self publish, serta mencari penerbit khusus ini. Ceritanya seperti biasa ada tanya jawab antara pembeli dan penjual, hingga tahap membayar biaya yang diperlukan. Setelah terima uang, ternyata pihak penjual tidak ada kabar lagi. Penulis itu menganggap penerbit khusus itu menipu, hingga diangkat di media sosial dan menjadi ramai, akhirnya (baru) dapat klarifikasi dari pihak penerbit (nakal) itu. :O
Sumber di sini

Padahal jika orang itu tahu, kalau ingin sekadar punya buku pribadi saja, itu bisa dilakukan dengan mencetak langsung di jasa percetakan digital. Memang kekurangannya kita harus melengkapi simbol dan keterangan umum yang ada di sebuah buku, salah satunya berupa identitas penerbit tadi. Jika dirinya bekerja sama dengan penerbit khusus, maka identitas penerbit itu yang dicantumkan, tergantung pilihan paket yang tersedia.

Hal ini pula yang saya ketahui dulu, bahwa antara penerbitan dan pencetakan itu berbeda ruang lingkup. Saat menerbitkan buku di Dapur Buku milik Jonru, saya hanya ambil paket termurah yang dicetak beberapa eksemplar saja, serta tidak adanya perbaikan tulisan (editor) dari pihak sana, atau penambahan logo pihak penerbit dan nomor serial ISBN. Istilahnya mereka hanya terima file PDF dan langsung cetak, tidak ada pemeriksaan sama sekali.

Ketika menerima paket beberapa buku tersebut, akhirnya saya sudah punya sebuah karya fisik, tidak ada salahnya untuk berbangga diri. Setelah diperiksa ternyata dikirimnya dari alamat jasa printing, kebetulan lokasinya tidak jauh, di dekat sebuah kampus yang tentunya ada pasar tersendiri di sana. Tidak pakai lama langsung saya datang ke sana, untuk mencetak beberapa judul lain, tentu dengan harga lebih murah secara langsung. :P

Sementara untuk mencetak dalam jumlah besar, barulah kita akan lebih untung menggunakan jasa percetakan offset (massal). Semakin banyak tentu harga satuannya akan semakin murah, sebagai modal dasar andai buku itu hendak dijual secara komersial.
Nomor ISBN = Nomor Polisi Produk Buku

"Baru lulus sekolah itu emang masih mentah, karena taunya cuma teori. Justru masih butuh banyak praktek langsung, itu baru dimulai setelah lulus" ujar saya. Menanggapi celotehan teman pada satu waktu, tentang sedikitnya orang yang langsung berhasil sejak kelulusan. Hal itu berlaku di banyak bidang, termasuk juga dunia tulis-menulis.

Menurut saya usaha untuk menembus penerbit, serta adanya kesempatan untuk memperbaiki tulisan juga merupakan masa yang indah. Mengingat semangat dan ambisi, serta nilai idealis yang ingin disebarluaskan. Kemudian berlanjut pada memilih jalan lain, hingga mengetahui alur yang berlaku di sana. Pastinya kita semua akan belajar dari pengalaman, karena pengalaman itu bisa jadi guru terbaik, serta ikut membentuk diri kita sekarang, setuju?

Salah satu tulisan saya adalah berupa novel fiksi fantasi di bawah ini. Menjadi satu-satunya karya yang saya sebarluaskan tanpa biaya, sekaligus ikut mengabarkan "kabar baik" sesuai dengan talenta masing-masing. Bisa diakses melalui halaman website Scribd di sini, bisa langsung download dan cetak sendiri.

Untuk sinopsis singkat dari tulisan (buku) saya yang telah beredar sudah dituliskan di sini. Ibaratnya proyek yang sudah cukup dan selesai, sebuah tujuan sudah tercapai dalam tanda kutip. Ukuran sebuah tujuan juga ada banyak macam, tidak harus berdasarkan hanya uang yang didapat. Untuk sesuatu yang berharga di mata kita, tentu bisa berlaku sebaliknya, kita justru rela membayar harga untuk mendapatkannya.

Pada akhirnya setiap kita tentu punya cerita masing-masing, serta berbagai pengalaman yang sudah dilewati dalam kegiatan tertentu. Khusus untuk salah satu bagian dari yang saya tulis, adalah menjadi penulis fiksi, dengan panjang tulisan yang cukup untuk dibukukan. Istilah yang sering digunakan di blog ini adalah "mendongeng", karena media blog ini juga salah satu halaman elektronik (non-fisik) dan bisa bermanfaat. :P

"Wah ternyata bisa juga saya buat begini, keren ternyata" ujar salah satu guru spiritual, saat memeragakan apa yang disampaikan. Membagi pandangan tentang berbuah, serta pentingnya untuk memberi apresiasi terhadap buah jerih payah kita sendiri.

Memang harus begitu, kalau bukan kita sendiri yang menghargai pekerjaan diri, bagaimana orang lain menghargai lebih dulu. Tapi bukan berarti saat ada rasa puas langsung berhenti, karena pastinya akan ada banyak yang harus kita kerjakan ke depan. Termasuk pula menggunakan keahlian kita, bahasa khususnya itu memberdayakan talenta yang kita miliki, berlaku di semua bidang, setuju?

Mencetak buku saja emank gampang.
Yang perlu diusahakan itu mengisi halaman kosong di dalamnya.
Itu yang penting dan harus.
Berlaku pada masing-masing kita semua.
(Buku kehidupan)
:D