Kamis, 17 November 2022

Filosofi Roda Jalan


Untuk cerita kali ini, punya tema yang sedikit banyak ada hubungan, dengan keadaan yang berjalan sekarang. Berlaku khususnya di kota-kota besar, daerah yang punya banyak akses informasi, termasuk sosial media. Sekaligus saya juga ingin berbagi pandangan, tentang alat yang digunakan, berhubungan dengan judul dari tulisan ini. Sudah bisa menebak ingin berbicara apa? Coba saja tebak-tebak dulu, sebelum lanjut di alinea berikutnya.

Filosofi Roda Jalan, apaan tuh maksudnya? Jawabannya tentang roda dalam arti sebenarnya. Apa fungsi dari roda? Sebagai bagian dari satu kendaraan, agar dapat meluncur di jalan dari roda yang bergulir, itu adalah pengertian dasar dari cara kerja roda. Nah selain fungsi dasar, ternyata ada fungsi tambahan lain, yang ikut menentukan suatu nilai dari kendaraan, apa tuh yang menentukan? Bisa menebak lagi? Coba saja tebak-tebak dulu, sebelum lanjut di alinea berikutnya.

Fungsi dasar roda tentunya untuk membuat sebuah kendaraan bergerak. Tapi ada fungsi lain yang tidak kalah penting, bahkan menjadi identitas yang membeda-bedakan label komersil kendaraan. Namanya adalah rangka, atau body yang menjadi kemasan sebuah kendaraan. Kemudian rangka ini ikut menentukan, tentang berapa banyak roda yang digunakan, roda dua (motor), roda tiga (bajaj), roda empat (mobil) atau lebih dari roda lima (bis dan truk).

Fungsi lain ini, atau kita sebut saja fungsi tambahan, ternyata menjadi lahan bisnis yang menggiurkan, karena banyak pihak yang ikut bersaing meluncurkan produk masing-masing. Untuk segmen roda dua namanya motor dari beberapa label komersial, serta dengan jenis berbeda-beda dari motor besar, bebek dan matic dan lain-lain. 

Sementara untuk roda empat juga serupa, dimulai dari mobil sedan, jeep dan minibis untuk kelas pribadi. Bahkan untuk lebih kekinian, menjamur juga mobil jenis LCGC, yang posisinya ada di antara sedan dan jeep, tapi dengan biaya lebih murah meriah dan hemat.

Untuk mobil ini sebetulnya tidak terlalu asing bagi saya, karena sejak kecil juga sudah menikmati enaknya berpergian dengan roda empat. Selain itu juga sempat merasakan pahit manisnya berkendara, misalnya ketika menaiki mobil box dan terjebak dalam kemacetan. 

Sewaktu kanak-kanak, saya lebih suka jenis mobil minibus. Ketimbang Toyota Kijang yang dijuluki mobil "hidung mancung" bermoncong, saya lebih suka Daihatsu Zebra yang punya "hidung pesek" tanpa moncong. Keseruan masa kecil ternyata memang tidak terlupa, berlanjut hingga remaja dan seterusnya.

Hingga akhirnya ketika tiba dan cukup umur untuk berkendara, saya lebih memilih bergerak dengan kendaraan roda dua. Alasannya tentu selain hemat dan murah, yah karena lebih mudah ke mana-mana. Alias ada tujuan agar mudah bergerak ke tempat lain, karena kala itu jasa transportasi umum masih belum bagus seperti sekarang.

Kemudian muncul juga niatan untuk berkendara dengan roda empat, tapi alasannya cukup konyol dan cenderung tidak penting untuk dilakukan dengan segara. Misalnya kalau naik mobil itu bisa bawa barang yang lebih besar, sesuatu yang sulit dilakukan jika membawa motor. Kemudian enaknya bisa terhindar dari hujan, pastinya ini salah satu keunggulan yang belum berubah hingga sekarang. Dengan kendaraan mobil, posisi kita ada di dalam rangka fisik kendaraan, serta terlindung dari keadaan jalan secara langsung.

Filosofi yang bisa didongengkan di sini, adalah tentang pengendara dan kendaraannya. Untuk lebih jelas secara perbandingan adalah roda dua dan empat, alias antara motor dan mobil. Karena kedua jenis ini jumlahnya sangat banyak di jalan, sebagai kelas untuk pengguna pribadi. Salah satu yang utama adalah posisi kita sebagai pengendara, serta bagaimana kita mengendalikan kendaraan tersebut.

Untuk roda dua motor, dikatakan kita akan menguasai fisik kendaraan sepenuhnya, karena kita membawa kendaraan dalam arti sebenarnya. Imbasnya kita memerlukan keseimbangan tubuh, agar kendaraan tidak jatuh saat bergerak dari roda yang berputar. Bahkan dalam posisi diam saja, kendaraan motor bisa kita goyangkan untuk miring ke kiri atau kanan. Artinya kita "berkuasa" penuh atas tunggangan kita sendiri.

Sebaliknya untuk roda empat mobil, justru kita balik dikuasai oleh kendaraan, karena secara posisi berada di dalam rangka, hingga tidak perlu lagi menyeimbangkan tubuh. Jumlah roda sudah cukup untuk membuat mobil tetap berdiri, hanya tinggal duduk dan memainkan alat di ruang kemudi, agar kendaraan bergerak dari tempatnya.

Kedua cara ini justru mendatangkan filosofi yang menarik (bagi saya). Kita menguasai kendaraan, atau kita dikuasai oleh tunggangan kita sendiri. Kendaraan bisa juga diartikan sebagai keadaan, suatu peristiwa yang bisa membuat kita bergerak, serta di mana posisi kita saat mengendalikan keadaan tersebut. 

Menguasai (atau) Dikuasai

Baik roda dua dan empat punya keunggulan dan kekurangan masing-masing. Misalnya roda dua bisa menyelip di celah kendaraan, karena punya dimensi yang ramping. Hanya seukuran tubuh manusia saja lebarnya, dengan panjang yang cukup untuk dua orang duduk. Sementara mobil pastinya punya ukuran lebih besar, karena bisa memuat empat orang atau lebih. Pemakaian bahan bakar tentu juga berbeda, ukuran mesinnya saja sudah berbeda ukuran. 

Kemudian untuk roda dua motor, maka pengendara akan berjibaku langsung dengan keadaan jalanan. Berbeda dengan roda empat mobil, karena mereka ada di dalam rangka body kendaraan, bahkan bisa sepenuhnya tertutup dan tersedia fasilitas pendingin udara. Untuk itu julukan yang pas, motor roda dua itu kuda besi atau kursi bergerak. Kemudian mobil roda empat itu gerobak besi atau ruang bergerak.

"Gimana lu bro, mobil ada juga itu dan itu punya ortu, tinggal pakai aja" ujar teman, salah satu yang cukup heran melihat sepak terjang saya, karena masih belum menjalankan alat beroda empat yang tersedia di sekeliling.

"Masih males bro, belum perlu-perlu amat. Masih ogah macet-macetan" jawab saya dengan santai. Awalnya mengira waktu terbaik bebas dari macet itu akhir pekan, ternyata untuk sekarang sama saja.

Untuk situasi kemacetan di jalanan, hampir dipastikan itu dialami oleh roda empat, karena untuk roda dua umumnya bisa tetap melaju di celah kendaraan, biasanya hanya terhenti di pemberhentian lampu lalu lintas. Jika kondisi lebih padat mungkin bisa juga terkena macet (antrian), ukurannya hanya bisa jalan maju sedikit-sedikit. Andai motor juga terkena macet, bisa dipastikan kemacetannya memang parah, terlebih jika kondisi jalan juga sempit lebar jalurnya.

Istilah tua di jalan juga semakin dikenal sekarang ini, pengertiannya waktu yang dihabiskan seseorang di perjalanan pergi dan pulang. Berlaku untuk semua kalangan dan berbagai jenis kendaraan, termasuk juga beraneka ragam transportasi umum, dari ojek, taksi, bis umum atau kereta. 

Menurut saya sendiri tua di jalan itu punya arti lain, yaitu ketika kita dipaksa berhenti di satu titik, misalnya menunggu lampu merah atau mengalami kemacetan dan tidak bergerak di satu titik. Kalau di jalan kita bergerak, artinya memang itu tujuan kita bergerak dari satu ke tempat lain.

Untuk itu saya juga takjub dengan pengendara roda empat di jam sibuk, mereka bisa sabar bertahan di dalam kemacetan itu. Mungkin juga karena itu pilihan aman dan nyaman bagi mereka, ketimbang jenis transportasi lainnya. Jadi masing-masing kita bisa beda ukuran dalam soal kenyamanan, semua itu kembali berlaku relatif, tergantung ukuran masing-masing.

Tapi ada satu pernyataan yang ikut membuat berpikir jadi berguyon sejenak, bahwa mobil itu andai terkena macet pastinya berbeda dengan penawaran yang diiklankan. Misalnya mobil tertentu dalam iklan dan brosur, biasanya selalu melaju nyaman aman dan tentram di jalan kosong, tanpa ada mobil lain di sekitarnya. Yah namanya saja juga iklan, tujuannya untuk menggaet minat calon pembeli. :P

Belum lama ini dan sekarang sedang heboh penemuan benda sejarah, ketika pemerintah ingin membangun jalur kereta MRT bawah tanah. Resiko yang ditempuh adalah dengan melakukan penutupan jalan di beberapa titik, hingga ruang bergerak kendaraan bermotor jadi berkurang di wilayah tertentu.

"Ini sebenarnya dulu rel trem sengaja dihilangkan, gak dilanjutin pakai alesan gak efisien. Padahal gara-gara lobi politik negara lain, niat utamanya itu biar Jepang bisa laris manis jual kendaraan di sini" ujar teman saya. Mengomentari tentang kebijakan pemerintah di masa lampau, karena tidak memberdayakan infrastruktur yang sudah ada.

"Wah bisa kebenaran gitu yah? Coba perhatikan urutan waktunya, pas pimpinan itu menikah dengan perempuan keturunan Jepang, udah gitu sama tahun-tahun berikutnya, huru hara dan kejatuhan sang pemimpin. Jangan-jangan orang itu yang dipake buat ngelancarin proyek" jawab saya dengan setengah awas, menyadari sebuah kronologis dari kebijakan dan kejadian yang mungkin berhubungan.

Waktu itu kendaraan masih didominasi produk dari eropa, sebelum produk serupa dari negara asia lain datang lebih murah. Konon salah satunya dari negara yang melakukan lobi politik di atas tadi, hingga sekarang cukup mendominasi pasar terbesar di dalam negeri, baik roda empat dan dua.

Kenapa tiba-tiba bisa mengangkat tema ini? Jawabannya karena saya baru saja melihat sebuah konten tanya jawab di bawah ini, coba saja disimak. Mungkin pentingnya penggunaan kendaraan roda empat itu, salah satunya berlaku dalam dunia penjajakan manusia satu sama lain.
Sumber di sini.

Akhirnya banyak pro dan kontra, khususnya mereka yang bereaksi secara langsung di kolom balasan. Menurut saya itu bebas-bebas saja, karena setiap orang punya ukuran masing-masing dan berlaku relatif. Sebagian komentar menyadari latar tempat wawancara tersebut, berlokasi di satu kampus dengan tingkat menengah ke atas, jadi memang wajar saja bagi mereka.

Tapi ada salah satu perkataan yang menarik juga terucap dari narasumber, misalnya tentang status kendaraan, disebutkan mobil itu entah punya kakek atau siapa. Artinya di usianya itu dia menyadari, bahwa seseorang yang masih sepantaran dengannya itu belum punya kemampuan ekonomi yang cukup, karena memang belum bekerja mencari uang. Yang ada biaya kuliahnya mungkin saja dibayarkan oleh pihak orang tua, itu juga tidak salah. Jika seseorang harus membiayai kuliah dari kemampuan sendiri, pasti akan ada banyak yang putus kuliah, bahkan untuk masuk saja juga tidak cukup dana. Xp

Kemudian di akhir ditutup dengan sebuah kutipan, bahwa dunia memang jahat. Apakah benar memang jahat? Sebetulnya tidak tepat dibilang jahat, karena itu lebih ditujukan kepada setiap pribadi yang tidak atau belum mampu memenuhi ekspektasi. Alias jika bukan masuk kelas (tingkat) yang "sepadan" bagi mereka, kesannya akan terlihat kejam, setuju? Tapi bukan berarti seseorang akan berada di kelasnya itu seumur hidup. Bisa saja seseorang naik atau turun kelas pada waktu tertentu, pastinya ini akan didahului oleh sebuah kepentingan dirinya sendiri.

Dunia jahat? Tidak juga, tapi begitulah cara dunia bekerja.

"Perempuan memang begitu bro, uang habis terus tidak masalah. Tujuannya memang untuk tampil cantik, jadi belinya skincare dan lain-lain. Pihak laki-laki yang harus bantu biaya perawatannya itu, jadi kan bangga pasangannya itu tampil cantik" ujar salah seorang teman. Mengemukakan pandangannya tentang kebiasaan orang-orang, untuk mereka penganut bersenang-senang di tanggal tua dan muda, baik laki-laki atau lawan jenis yang berusaha tampil memikat.

Saya tidak berkomentar banyak tentang hal tersebut, karena memang sudah berada di luar batas jangkauan. Ada masalah tertentu yang idealnya dibahas oleh mereka yang sudah mengalami langsung, sebagai pengalaman dan kesaksian. Tapi yang pasti seseorang punya ukuran sendiri dan itu tidak dilarang, bahkan jadi penting karena tahu apa yang diinginkan. Punya ekspektasi tidak ada yang salah, tapi secara ideal memang perlu dipadukan dengan realitas fakta, serta tahu juga dengan keadaan sekeliling.

Fenomena itu juga disebutkan dalam sebuah kebiasaan, bahwa memang di kota-kota besar dengan informasi yang mengalir deras, akan muncul ekspektasi terbaik. Konon pihak laki-laki akan menggunakan mobil, sebagai alat untuk mendapat impresi pihak perempuan. Sebaliknya dikatakan pihak perempuan itu juga punya alat lain, tapi tujuannya lain dan berusaha punya impresi lebih baik dari perempuan lain. Penelitian itu dikatakan oleh seorang tokoh yang cukup punya pandangan luas, hingga diberi julukan sebagai guru besar.

"Mau yang nilainya seratus atau mendekati seratus? Biaya maintenancenya juga gede siap-siap aja" ujar salah seorang dosen dengan bercanda. Kala itu beliau memberi contoh tentang hukum ekonomi yang berlaku, bahwa sesuatu yang bagus tentu perlu ada modal yang dikeluarkan.

Mobil sebagai alat untuk menaikkan impresi terhadap orang lain, khususnya lawan jenis dalam sebuah penjajakan? Boleh-boleh saja dan tidak ada yang larang, tapi tentunya hanya dengan "mengandalkan mobil" mungkin akan ada resiko ikut serta di belakangnya. Terkecuali memang sudah dari sananya begitu, sudah menggunakan mobil sehari-hari, pasti aksinya juga agak beda, justru orang itu akan melengkapi kegiatannya yang "belum utuh" itu. :))

"Wah kalau gue begitu bro, pertama harus tampil sempurna dulu, jemput pakai mobil itu penting, makan di tempat bagus. Andai punya potensi lanjut, baru dites ajak ke tempat-tempat kelas bawah. Dari situ baru ketahuan arahnya ke mana" ujar salah satu teman saya. Menyinggung tentang satu kegiatan yang lumrah untuk sebuah perkenalan, khususnya kepada teman lawan jenis.

"Harus? Masa sih? Wah kalau begitu namanya downgrade donk. Kalo gue justru sebaliknya, tampil oke emank harus, tapi yah apa adanya aja dulu. Kalau ada potensi dan arah bisa berlanjut, pastinya kita harus berusaha membuat suasana lebih nyaman, jadinya kan upgrade." balas saya dengan santai, berusaha mengimbangi pandangan yang justru bertolak belakang dengan lawan bicara saya kala itu.


Tentang jemput teman yang didekati ini bahkan sudah jadi guyonan, tentang menjemput di depan rumah, atau di depan gang, andai posisi penjemputan agak nyempil di dalam gang. Tapi paling tidak ada sebuah fakta yang cukup masuk akal, karena di dalam mobil, menjadi salah satu tempat terbaik, agar kita punya waktu berkualitas dengan sosok yang ingin dikenal, setuju?

Pertanyaannya jadi begini, apakah lebih penting sekadar jemput saja? Atau nantinya bisa keluar bersama-sama? Karena antara keduanya punya perbedaan mendasar, yang satu masih beda rumah, yang lain sudah disatukan dalam rumah. Lebih penting jemputnya pakai apa? Atau pertemuannya di mana? Xp

Kemudian apakah waktu berkualitas hanya di jalan saja? Atau di tempat tinggal kita? Ketika sebuah rumah mendapat julukan rumahku istanaku, dan bukan sebaliknya tidak betah di rumah. Jawabannya tentu bebas-bebas saja, tergantung minat masing-masing. 

Punya kendaraan sendiri artinya juga sudah siap dengan biaya perawatan. Paling umum itu adalah bahan bakar, karena untuk jalan tentunya perlu bensin. Saya jadi mengingat masa kuliah dulu, ketika pergi berwisata ramai-ramai. Teman yang membawa mobil selalu minta "ongkos" bensin patungan bersama. Tujuannya tentu agar lebih hemat, ketimbang jalan sendiri dan biayanya juga sama. Tapi kalau kemampuan sudah oke, tentu pengeluaran bensin ini jadi tidak masalah.

Kemudian tentang pajak dan lain-lain, sebagai tim bebas nunggak tentu saya akan bayar biaya-biaya sesuai waktunya. Tapi ada sebagian orang yang bisa dengan tenang sengaja menunggak. Misalnya pajak mati beberapa tahun, atau bahkan menggunakan nomor polisi palsu agar tidak ketahuan. Kejadian itu sudah terjadi di sekeliling kita, sebagian kecil akhirnya ketahuan. Lain cerita jika memang terlupakan, serta kurang memerhatikan tanggal jatuh tempo kewajiban perpajakan kendaraannya.

Masalah lainnya adalah tentang tempat parkir, baik itu di rumah atau tempat kerja. Lokasi yang akan menjadi tempat kendaraan itu berdiam "lama" pada satu waktu. Konon untuk sekarang sudah muncul celotehan netizen, bahwa sebelum punya mobil harus punya garasi dulu, agar tidak mengganggu jalan umum andai terparkir di luar. Untuk parkir atau penitipan kendaraan di tempat beraktifitas kita, tentu ada biayanya juga, bisa harian bulanan dan lain-lain. Idealnya biaya ini tidak menjadi masalah, selama memang menunjang kegiatan kita sendiri dengan baik.

Berlanjut dengan pembayaran, harga untuk sekarang ini memang besar untuk satu unit kendaraan, tapi bagusnya setiap konsumen sudah punya daya beli yang cukup. Dilengkapi juga dengan aneka sistem pembayaran, misalnya dengan cara mencicil. Berbeda dengan keadaan di masa lalu, ketika harganya memang murah, tapi tidak bisa dijangkau oleh warga, karena daya belinya cenderung masih rendah. Saya ingat dulu di era 90an, harga untuk mobil tipe Toyota Kijang itu 6-12jt rupiah (saja), tapi sewaktu dulu angka itu tergolong besar.

Jadi memakai mobil tentu sebagai pilihan untuk menaikkan taraf hidup, karena memang yang diunggulkan adalah sebuah kenyamanan. Menjadi alat untuk kita bergerak dari satu tempat ke tempat lain, sebagai fungsi utama ketika roda kendaraan berputar. Bagaimana dengan yang mager? Alias malas gerak? Yah artinya pergerakan orang itu tidak terlalu banyak, karena lebih suka berdiam di satu tempat, entah itu rumah atau tempat kerja saja bolak-balik, jarang juga berpergian ke tempat lain.

Punya mobil itu penting? Untuk zaman sekarang memang iya, sebagai alat (paling) nyaman saat kita ingin bergerak. Terlebih jika bukan kita sendiri saja, tapi ada orang lain yang ikut serta, tentu fungsinya lebih maksimal terpakai. Meski kini ada jasa transportasi online roda empat, sekarang ini konon biayanya juga sudah cukup tinggi. Tidak ada lagi strategi "bakar uang" dan promo besar untuk menyogok penumpang, hingga dulu terkenal dengan harga murah, bahkan lebih hemat ketimbang biaya parkir, andai membawa kendaraan sendiri. Seleksi alam juga berlaku, siapa yang bisa membayar lebih, tentu fasilitas lebih juga didapat, setuju? Kalau kemampuan belum siap tapi dipaksa? Yah harus siap membayar harganya juga.

Kembali lagi pada filosofi yang diangkat tadi, apakah kita sudah siap? Atau justru sedang ada di sana? Membawa dan menguasai rangka (pegang stang roda dua & body kendaraan). Atau memang langsung dikuasai oleh rangka (pegang setir roda empat & body kendaraan). Jawabannya yah harus dijalankan, andai sudah waktunya bagi kita melakukan bagian tersebut. :D

Lagipula bukan soal menguasai atau dikuasai rangka, tapi bagaimana tujuan utama kendaraan tersebut. Tidak lain dan tidak bukan agar kita bergerak, untuk kemudian sampai di tujuan. Lebih tepatnya bagaimana kita mengendalikan setiap alat-alat kecil di dalam kendaraan, digunakan sesuai dengan ketentuan dan berfungsi baik.

Bukan menguasai dan dikuasai 
(Tapi pengendalian keduanya)

Jadi selain filosofi yang memang unik untuk ditelusuri, terdapat pula tujuan dari adanya filosofi tersebut. Dalam hal ini bagaimana aturan main yang berlaku, pada setiap penggunaan roda (kendaraan) sebagai perumpamaan. Kemudian menggunakan kesempatan kita, untuk memutar roda (kehidupan) ini, hingga sampai di tempat di mana kita berada. :))