Rabu, 05 April 2023

Dunia Eksis


Untuk tema cerita kali ini, bahasan sisi lainnya sudah dituliskan di sini berjudul Tukang Ngoceh. Berbicara mengenai perlunya kita berhati-hati, ketika menjumpai suatu konten di media sosial, sebagai penikmat dan pengakses informasi tersebut. Jadi untuk tulisan kali ini berlaku di sisi berlawanan, dalam hal ini kita sebagai pihak yang membuat, serta mengedarkan jenis konten di berbagai jalur media sosial.

Sebuah konten tentu dapat berbagai macam bentuk, bisa dari gambar atau foto, sekadar tulisan kalimat penyemangat dan bijak. Bisa juga melalui video sebagai gambar bergerak, tentu dengan berbagai bentuk ciri khas dan bisa beda satu sama lain. Kemudian yang lebih penting, para pembuat konten itu juga punya berbagai macam tujuan pula.

Untuk saya sendiri, termasuk pula konten di blog ini sebagai tulisan, serta ada konten berbentuk video wisata di kanal Youtube di sini. Setelah melihat pertama kali membuat perdana, ternyata sudah cukup lama juga dari tahun (2011), secara kebetulan keduanya itu berbarengan. Dari awalnya masih banyak kurang sana-sini, hingga punya pakem tersendiri sebagai ruang berekspresi, sebagai tujuan utama dalam pembuatan konten.

"Halah, ngapain upload-upload begitu, gue gak suka pamer" ujar salah satu teman. Secara kebetulan yang bersangkutan berlaku sebagai pengguna pasif, tidak terlalu sering mengunggah sesuatu di halaman media sosialnya.

Apakah benar demikian? Mengunggah sesuatu di halaman media sosial, khususnya yang terkait dengan kegiatan kita disebut pamer? Nah kembali lagi pada respon masing-masing, baik dari kesimpulan yang diambil oleh penerima informasi, atau memang tujuan utama dari pemberi informasi. Hingga secara ideal tidak semuanya punya nilai pamer, meski memang salah satu artinya adalah kegiatan "memamerkan", layaknya kita datang ke satu acara pameran.

Pada masa kini pula, kita mengenal istilah flexing yang sudah banyak dibahas. Salah satu yang berkembang adalah memamerkan kekayaan, seperti barang dengan label mahal atau tumpukan uang fisik di depan kamera. Kegiatan itu tentu punya berbagai tujuan, entah untuk menarik perhatian pengguna media sosial, atau sekadar kebanggaan, bahwa dirinya lebih baik dari kebanyakan para netizen.

Kita adalah apa yang kita tampilkan, hal ini masih berlaku sebagai aturan main yang berlaku di media sosial. Terjadi secara alamiah dan di luar skenario akting, karena segala macam bentuk dan tujuan ikut berpengaruh pada kitanya sendiri. Jadi andai semua konten diseragamkan sebagai ajang pamer, tentu media sosial menjadi dunia yang membosankan, kenapa? Karena tidak semuanya tertarik dengan "pencapaian" seseorang, entah kesuksesan atau harta yang banyak berlimpah.

Jadi tidak semua konten itu tujuannya untuk pamer, karena sebuah konten yang disebarkan punya banyak tujuan. Berbagai macam pula tujuan mereka, entah untuk eksistensi atau sekadar berekspresi, bahkan punya niat baik agar jadi inspirasi, termasuk pula menyebarkan informasi sesuai minat, seperti membahas produk atau memberi tips & trik. Secara ideal apa yang dibagikan juga tidak merugikan yang lain, karena hanya sebatas di halaman media sosial, di depan layar komputer atau telepon genggam kita yang terhubung melalui internet.

"Pamer? Kagalah, ini buat eksis aja" ujar saya, ketika membagikan potongan video di sebuah tempat wisata atau titik khusus. Tujuannya lebih kepada ekspresi, tentang apa yang menyenangkan kita, pastinya bisa berbeda-beda dengan orang lain.

Kegiatan berekspresi ini justru punya daya jangkau yang luas, karena kita dapat menjadi apa yang ditampilkan. Contoh kita suka dengan kegiatan motivator? Maka apa yang disebarkan tentu konten tentang kalimat bernada motivasi. Suka dengan aktifitas olah raga? Tentu yang disebarkan konten tentang industri olahraga itu, bisa sebagai penggemar jenis olah raga tertentu, atau juga identitas yang memainkan kegiatan tersebut. Artinya semuanya bisa bebas dan tidak terbatas, tampilkan apa yang kita minati, sesederhana itu langkahnya.

Untuk itulah dunia media sosial ini sesungguhnya menarik, karena kita bisa menjumpai berbagai watak dan kegemaran dari para pelakunya. Sebuah dunia yang tidak terbatas, tentu agak berbeda dengan dunia realitas yang di mana kita harus hadir di sana. Dari mereka yang juga ikut eksis tersebut, tentu kita dapat berbagai masukan dan belajar, sebagai keragaman dari apa yang menjadi minat dan tujuan masing-masing dari kita.

"Sudahlah itu, jangan sedikit-sedikit update. Apalagi jika yang kita pamerkan itu sesuatu yang mahal dan mewah" ujar salah satu pembicara. Memberi alasan bahwa ternyata tidak semua orang akan suka, tentang apa yang kita bagikan di media sosial, terlebih jika berhubungan dengan kabar tentang sebuah barang dan jasa yang tidak murah.

Menurut saya dari usul awal yang didengar di atas, justru akan menuai ragam pendapat masing-masing. Bisa dari pembuat konten, atau justru respon yang didapat dari penyimak konten tersebut. Pada dasarnya seseorang memang bebas membagikan apa saja, selama hal itu (kembali lagi) tidak merugikan orang lain. Kemudian penerima informasi itu juga bebas, apakah akan menyimak atau melewatkan konten tersebut.

Pertama kita lihat dari sudut pandang pembuat konten. Justru menurut saya ada sebuah kesenangan bagi mereka ketika membagikan hal tersebut. Atau sekadar memberi kabar tentang eksistensi dirinya. Kebebasan berekpresi itu idealnya harus dihargai masing-masing oleh kita, karena kita sendiri juga bisa berbuat hal serupa dan tidak ada larangan. Bahkan bukan hanya kesenangan, tapi mungkin juga ada tujuan lainnya dan tidak diketahui oleh orang lain. Mereka hanya tahu sepotong cerita yang kita bagikan, tapi tidak tahu cerita utuh yang tidak dibagikan, begitulah gambarannya. :))

Kedua jika berkaca dari sudut pandang penerima konten. Nah di sini bisa banyak respon yang muncul dan berbeda-beda tiap orang. Dalam kondisi bijak kita perlu ikut senang, karena ada sepotong cerita orang lain kita ketahui. Seperti yang dijelaskan tadi, kita bisa belajar banyak dan bisa tahu berbagai macam watak orang lain, secara ideal kita juga yang diuntungkan. Tapi sebaliknya, jika penerima informasi merasa ada yang salah (tidak senang & ada iri), justru ada masalah bagi orang tersebut.

"Jadi kalau ada yang gampang ketrigger, sedikit-sedikit baper, sedikit-sedikit tersinggung. Saran saya lebih baik jauhi saja itu media sosial" sambung sosok yang sama, memberi solusi yang cukup jitu di akhir penjelasannya.

Memang begitulah, setiap konten yang beredar itu merupakan ekspresi kepada dunia luar, dalam hal itu jalur dunia media sosial di internet. Tidak ada konten yang ditujukan secara spesifik kepada satu identitas. Bahkan kalaupun ada mentions kepada nama tertentu, tujuan dasarnya untuk sekadar mengabarkan, bahwa ada konten yang baru saja dibuat. Sampai di sini setiap orang bebas saja untuk aktif, atau turut ambil bagian menjadi pembuat konten tersebut.

Lain cerita jika sudah menyangkut isi dari konten yang beredar, karena apa yang ditampilkan juga mungkin ada maksud tertentu. Serta adanya kolom keterangan yang bisa dimanfaatkan di sana, untuk menyinggung atau mencolek nama tertentu dengan maksud tertentu pula. Mungkin saja ada maksud pamer dari beberapa pihak, terlebih jika diberi keterangan khusus kalau dirinya sedang pamer (membanggakan diri). Misalnya konten tentang barang mahal, serta membandingkan dengan milik orang lain secara langsung dan tertulis. Jika demikian memang terpampang dengan jelas, bahwa miliknya itu lebih baik dari pada yang lain. Kenyataan itu sebetulnya bebas saja dan tidak masuk dalam pelanggaran apapun.

Secara garis halus, mungkin diperlukan etika komunikasi saja di sana, andai seseorang dengan berani memberi keterangan khusus, atau mengedarkan konten yang membanggakan diri, serta terhubung dengan identitas tertentu sebagai perbandingan. Hingga memang yang lebih aman, sebuah konten itu berlaku untuk umum, hingga tidak ada yang merasa disenggol secara langsung. 

Selain untuk ajang berekspresi yang dominan sebagai pengguna media sosial, terdapat pula pengguna yang memang memanfaatkan jejaring sosial ini. Mereka biasanya membuat konten untuk promosi, artinya menjual sesuatu, sebagai profesi dan bisnis yang dijalankan. Entah dari jualannya sendiri, atau menggunakan jasa untuk endorse sebuah produk. Tentang hal itu tentu tidak ada yang salah juga, karena banyak juga konsumen yang berasal dari sana, atau mengetahui informasi tertentu dari dunia media sosial.

Atau perkembangan terkini, seseorang tidak hanya memanfaatkan media sosial untuk menjual sesuatu. Tapi bahkan lebih dari itu, mendapatkan keuntungan dari sana, caranya dengan mendapatkan sebanyak mungkin penonton, kemudian sebagian dari mereka memberi reward khusus, tentunya bisa ditukar dengan uang dan memang ada nilainya. Hingga muncul aksi aneh-aneh dari para pembuat konten, dari yang sensual hingga yang "berani ngaco" hanya untuk sebuah keuntungan. Xp

Jadi perkembangan teknologi informasi di zaman sekarang, setiap orang berlomba-lomba untuk tampil. Hal itu tentu tidak salah, karena teknologi memang menyediakan aksesnya, semakin mudah dan murah pula. Menjadi eksis adalah sebuah kebutuhan bagi sebagian kita, idealnya jangan sampai kita terikat di dalamnya. Sebuah realitas tetap lebih penting dengan keterbatasannya, ketimbang sebuah dunia maya yang semu, meski berlaku tanpa batas di dalamnya.

Jadi kembali lagi, ada orang yang tidak terlalu aktif buat konten, tapi menganggap yang eksis itu sedang pamer berjemaah. Menurut saya secara tidak langsung orang itu mungkin saja ingin ikutan eksis, tapi mungkin masih ada rasa sungkan. Salah satu penghalangnya takut akan dituduh sesuai dengan pemikirannya sendiri, bahwa membuat konten artinya sedang pamer.

Kemudian ada orang yang biasa-biasa aja, aktif dan pasif tidak jadi soal. Membuat konten sewajarnya saja, serta tidak menganggap semua konten yang beredar itu masuk dalam kategori pamer. Secara ideal jenis ini tidak peduli dengan anggapan sekitar, lakukan saja apa yang ingin dilakukan, termasuk eksis di media sosial. :P

Dunia internet secara garis besar, serta dunia media sosial secara spesifik. Eksistensi aplikasi dan website mereka tentu sebagai pilihan, untuk kita menyebarkan karya dalam bentuk apa saja, serta dengan tema apa saja di sana. Kemudian tidak ada keharusan atau larangan, bagi siapa saja untuk ikut ambil bagian di dalamnya, semua bebas asal mengikuti aturan mainnya.

Khusus untuk dunia media sosial sendiri, dongeng yang lebih awal sudah ditulis di sini. Berbicara mengenai aplikasi dan website apa saja yang beredar, serta memiliki basis pengguna yang besar. Selain dari pada sisi baik yang menguntungkan, terdapat pula sisi gelap yang juga ikut dimanfaatkan oknum.

Di akhir cerita ini, jangan sampai kita jadi terikat teknologi tersebut dan tidak berdaya. Sebaliknya lebih baik kita yang bisa mengikat fungsi media sosial, kita bisa mengendalikan kapan ingin aktif atau diam, kapan waktunya eksis atau beraksi.  :D