Untuk ide cerita ini, datangnya cukup kilat, karena melihat status di Twitter, tentang guyonan mengajak jalan naik kereta. Isinya percakapan, seseorang mengajak yang lain ke satu tujuan, hingga minat datang dan menyebut satu jenis rangkaian kereta. Tapi dijawab dengan berbeda, karena akan menaiki kereta berbeda, dengan harga yang mencengangkan pula. Hal itu juga terjadi untuk saya sendiri. :P
Bermula dari pengalaman terakhir dari perjalanan kilat saya. Jika membaca judul pasti akan tahu, tentang tiket murah yang nominalnya terbilang tidak biasa. Belakangan diketahui ada istilah subsidi atau bantuan, berasal dari pemerintah yang menyediakan tarif khusus, berlaku untuk rangkaian perjalanan tertentu.
Ceritanya itu pekan kedua setelah hari raya Lebaran, suasana libur masih sangat terasa, karena sebagian masih rehat dari kesibukan. Saya iseng membuka aplikasi dari KAI, hingga mengecek beberapa tujuan lama yang belum kesampaian didatangi. Salah satunya adalah daerah Tasikmalaya, hingga mengetahui kereta mana saja yang beroperasi di jalur tersebut.
Hingga akhirnya ada kereta yang menarik perhatian, namanya sudah pernah saya dengar sejak dahulu, sebagai rangkaian murah di lintas selatan pulau Jawa bagian barat. Tapi saat mengetahui harganya cukup mengundang decak kagum, karena tarifnya hanya 63rb saja, kala itu sisa satu kursi untuk keberangkatan esok harinya.
Awalnya antara sekadar iseng-iseng saja, atau memang ada niat kecil untuk naik kereta tersebut. Sisa satu kursi itu saya beli, tapi berkali-kali gagal saat masuk ke bagian pembayaran. Mungkin saja statusnya rebutan dengan penumpang lain, kalah cepat untuk mengamankan jatah kursi itu. Kemudian hingga akhirnya berhasil, terus langsung ditebus dan tiket sudah terdaftar.
Seketika terjadi rencana perjalanan dadakan, utamanya untuk membeli tiket kembali. Pilihan yang langsung sampai ke Jakarta cukup terbatas, tambahan lagi harga yang tersisa tinggal kursi paling mahal, kelas eksekutif Panoramic. Sementara untuk kursi yang biasa, sudah habis terjual.
Pilihan cukup banyak justru tersedia untuk tujuan ke Bandung, hingga akhirnya mengambil perjalanan transit ke sana. Kembali lagi selain harga, jam keberangkatan juga memegang peranan penting, untuk dipadukan pada jam lanjutan kembali ke Jakarta. Menyediakan waktu yang cukup untuk transit, tidak terlalu rapat dan tidak terlalu lama pula waktu tunggunya.
Kenapa kali ini saya tetap ingin menjajal jalur kereta? Selain alasan untuk mendapatkan pengalamannya, ternyata jalur selatan untuk kendaraan di jalannya cukup padat. Saya pernah ke Garut naik bis di jalur darat, tapi menghabiskan waktu di jalan lebih lama, oleh karena kepadatan lalu lintas, hampir seharian untuk sampai di tujuan.
Plus ini kali pertama juga saya berangkat dari stasiun Pasar Senen, konon terkenal dengan rawan pencopetan, hingga perlu berhati-hati membawa barang bawaan. Bahkan saat pertama kali ke sana untuk kepentingan lain, beberapa oknum tukang ojek menganjurkan saya, untuk menggantung tas ransel di bagian depan agar aman.
"Naik dari stasiun sana, reseleting tas saya sudah terbuka sebagian pas dicek ulang" ujar salah satu teman, ketika memberi tahu pengalamannya naik dari sana.
Tapi malam itu saya cukup yakin dengan keamanan yang semakin baik. Ingat saja jargon terkenal dari program televisi, waspada karena kejahatan bisa terjadi karena adanya kesempatan. Jadinya tentu saya berusaha lebih hati-hati, beruntung keramaiannya masih cukup wajar, hingga sebetulnya cukup nyaman juga.
Mengambil kereta Serayu, dengan harga 63rb saja dari Jakarta ke Tasikmalaya, saya juga sudah paham pasti akan mendapat kursi tegak khas kelas Ekonomi asli. Jadi agak berbeda dengan Ekonomi Premium yang lebih nyaman, dengan dua kursi saja di kedua sisi. Sementara untuk Ekonomi asli ini, kursinya memanjang, tiga penumpang di satu sisi dan dua penumpang sisi lainnya. Tambahan pula kursinya berhadapan, dengan ruang untuk kaki yang cukup sempit.
Untuk kembali ke Bandung, kursi dan kelas yang digunakan masih sama berupa Ekonomi asli. Plus karena masih dalam rangka liburan hari raya Lebaran, maka ada beberapa jadwal tambahan yang disediakan, termasuk kereta Pasundan Lebaran yang saya naiki di jam malam, seharga 88rb saja.
Jadi agak berbeda jadwal dengan kereta Pasundan Reguler, karena versi yang biasa berangkat di jam siang menjelang sore, kala itu harganya juga lebih tinggi sedikit 150rb.
Jika mendapat kursi dekat jendela, kemungkinan masih nyaman andai mau tertidur, bisa bersandar ke dinding gerbong. Tentunya dengan posisi kaki yang terkunci, dengan penumpang di depan dan samping. Sebaliknya di dua kesempatan itu, saya mendapat kursi di pinggir, hingga kaki bisa "keluar" sampai lorong. Kemudian posisinya di belakang dekat pintu, hingga kursi yang berhadapan itu antara untuk tiga dan dua penumpang, dengan lorong yang sedikit lebih lega.
Kereta kelas Ekonomi asli (bukan Premium Ekonomi) ternyata memang kereta murah, karena mendapat bantuan (subsidi) dari pemerintah. Jenisnya layanannya termasuk PSO (Public Service Obligasi), alias khusus untuk perjalanan murah yang terjadwal. Awalnya (konon) pembelian hanya bisa langsung, sekarang ini jadwal tidak ada di website resmi, melainkan hanya tersedia di aplikasi KAI, lengkap untuk semua perjalanan.
Pengalaman menaiki kereta Ekonomi asli itu cukup unik, konon dari kelas itu ada yang bilang kita bisa melihat tipikal sebagian warga negara. Mereka sepertinya sudah biasa duduk berharapan, ada yang selalu memainkan hape sepanjang perjalanan, ada yang tidur, bahkan ada juga yang mengobrol dengan penumpang sebelah, baik yang sudah bareng, atau yang baru dikenal di sana.
Berbeda dengan jadwal lanjutan ke Jakarta, masih dapat kursi Eksekutif yang biasa. Ketika memasuki kereta, sebelum berangkat saja saya sudah bisa terlelap tidur. Alasannya? Mungkin sehari sebelumnya kurang tidur, karena tidak bisa memejamkan mata dengan nyenyak, baik di kursi kereta tegak atau di stasiun. Ditambah beraktifitas selama wisata kilat di sana, hingga sesungguhnya tubuh perlu beristirahat yang cukup.
Mungkin trip kilat ke Tasikmalaya ini, lebih fokus pada moda transportasinya, dalam hal ini kereta kelas termurah. Pengalaman berpergian dalam arti sebenarnya, tentunya karena ada tujuan di sana. Atau memang sebaliknya, tujuannya berupa perjalanan itu sendiri, ini sepertinya tidak kalah menarik.
Kemudian saya juga mengecek harga dari celetukan pengguna Twitter tadi, tentang kereta Bengawan dengan harga yang terjangkau. Kemungkinan jenisnya seperti kereta Serayu, mendapat bantuan pemerintah, hingga punya tarif yang jauh lebih murah. Tentunya dengan fasilitas terbatas pula, ada sisi kenyamanan yang terpaksa dihilangkan.
Demikianlah dongeng tentang tiket murah ini, bukan harga yang tersedia karena adanya program promo, tapi memang berlaku reguler setiap hari. Tentunya jenis tiket ini cepat habis, karena peminatnya juga banyak. Andai iseng-iseng mengecek tujuan kereta, pastinya kereta Ekonomi asli kursinya lebih cepat habis, berbeda dengan kelas Ekonomi Premium yang lebih tinggi harganya.
Karena model kenang-kenangannya berakhir di kota asal, yaitu kota Jakarta sebagai tempat keberangkatan, maka video perjalanannya berjudul Jakarta Tasikmalaya Galunggung.
(Lanjutan)
Bicara tentang tujuan perjalanan kereta, tiba-tiba saya jadi ingat (kangen) dengan moda transportasi lainnya. Bahkan beberapa waktu (tahun) lalu sempat kangen (juga), dengan tempat keberangkatan alat transportasinya.
Jadi saya mendatangi dan membuat kenang-kenangan baru di sana, dengan video berjudul Jakarta Tangerang Teluknaga. Salah satu sasarannya adalah mengabadikan wilayah sekitar bandar udara Soekarno-Hatta.
Andai punya niat tujuan sekarang, pastinya sudah berbeda dengan dulu. Tidak lagi harus menunggu harga promo, karena jika demikian keberangkatan kita tergantung dengan program promosi penyedia jasa, contohnya dongeng tentang tiket promo di sini.
"Gue gak yakin bro, naik pesawat kalau harganya murah begitu, bisa nyampe tujuan gak tuh? Gak aman" ujar salah satu teman. Ketika diberitahu bahwa kepergian saya sewaktu dulu beresiko, karena memanfaatkan tarif promo besar yang diadakan.
"Tenang bro, itu cuman strategi promosi. Yang harga segitu gak semuanya, paling cuman beberapa kursi saja. Kalau semuanya yah bangkrut gak balik modal" jawab saya, mengemukakan fakta menarik di balik strategi tiap-tiap maskapai penerbangan.
Mungkin pula ini juga kurang dipahami oleh pemangku kebijakan kita, hingga aturan TBA (Tarif Batas Atas) dan TBB (Tarif Batas Bawah) berlaku. Alasannya untuk menjaga keamanan transportasi, pada khususnya dunia penerbangan, dengan harga ideal yang kenakan kepada penumpang. Tidak heran pula harga untuk penerbangan dalam negeri jadi mahal, (konon) berasal dari persaingan kartel duopoli. Imbasnya ada yang bilang penerbangan keluar negeri bisa lebih murah, atau sangat tinggi, karena tidak adanya aturan TBA dan TBB tadi.
Untuk sekarang ini pastinya kendali sudah ada di tangan kita. Khusus untuk moda transportasi yang dikangeni, baru saya ingat terakhir naik itu sudah lama, kenang-kenangannya di sini. Ternyata kala itu masih terpengaruh harga promo (juga), kemudian langsung beli beberapa jadwal penerbangan, dengan beberapa tujuan pula. Dalam artian tiket dibeli untuk keberangkatan yang masih panjang. Alias harus menunggu dalam jangka waku tertentu, bisa empat, enam, bahkan dua belas bulan ke depan.
Kendali ada di tangan kita juga pernah saya lakukan, dalam arti memang saya butuh perjalanan tanpa harus menunggu lama. Tentunya harga yang dikenakan sifatnya normal, bahkan bisa lebih tinggi mendekati tanggal keberangkatan. Pastinya setiap punggawa penerbangan akan tahu, tentang keselamatan perjalanan. Mereka tidak akan mau terbang kalau tidak aman, salah satu contohnya ada di cerita ini, ketika idenya dari salah satu penumpang yang protes di media sosial.
"Gara-gara wisata kereta Ekonomi kemaren, jadi kangen naik pesawat lagi. Tarif pergi pulang yang paling murah itu ke sana, ada apa yah di sana?" ujar saya kepada teman, mengemukakan rencana iseng yang singgah di pikiran.
(Kalau Ini)
Dulu fokus tujuannya di Destination
Sekarang fokusnya lebih ke Journey
Awalnya bergantung pada promo(si) pihak lain
Akhirnya tidak lagi bergantung promo(si)
(Kalau Itu)
Dulu fokus tujuannya di Journey
Sekarang fokusnya lebih ke Destination
Awalnya bergantung dengan momentum alamiah
Akhirnya menggantung momentum ilmiah
:D