Minggu, 09 Desember 2012

Buku > Film



Kita tentu pernah menonton berbagai macam film, umumnya pertama-tama di tayangkan di bioskop, dominasi tentu di tujukkan ke pusat industri film dunia Hollywood dari Amerika sana sebagai kandangnya film bermutu tinggi dengan dukungan publikasi yang tinggi. Salah satu acuan didalam membuat film bagi para produsen dan sutradara adalah diadaptasi dari buku yang sukses beredar sebelumnya.

Siapa yang belum pernah mendengar film "Harry Potter"? jika belum mengetahuinya, segeralah "googling" karena andai bisa membaca tulisan saya ini tetapi tidak mengetahuinya, anda sukses menutup mata dan telinga dari arus informasi yang beredar, salah satunya lewat internet ini. :P

Film tersebut diambil dari "novel" dari penulis terkenal J.K Rowling. Saya tidak pernah membaca bukunya, tetapi cukup mengerti dari alur film yang ada, meski bagi para pembaca bukunya apa yang digambarkan di film sangat terbatas.


Sementara untuk versi lokalnya kita pernah mengingat film "Laskar Pelangi" dan lanjutannya "Sang Pemimpi" yang cukup sukses diangkat dari buku, tetapi kala itu minat saya menonton masih rendah dan belum membaca buku cerita, sehingga kalau tidak salah ingat hanya menonton film "Sang Pemimpi" nya saja bareng teman dahulu, tetapi tidak pernah mengetahui jalan ceritanya dalam buku.

Rasanya perbandingan antara membaca buku yang "bercerita lengkap", bermodalkan imajinasi pembaca menjadi suatu film yang memiliki senjata "visual" tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kebetulan saya belum lama menjadi pembaca buku jadi agak ketinggalan dalam hal membandingkan gambaran diantara kedua media tersebut.

Dan kesempatan pertama membandingkan hal tersebut nampaknya bisa saya rasakan, tetapi ternyata luput. Karena kebetulan buku dan film lokal yang kurang banyak peminat sehingga masa tayang di bioskop tidak lama, salahnya juga saya belum sempat menontonnya, nama ceritanya itu "Rumah di Seribu Ombak" yang filmnya juga di sutradarai oleh penulis bukunya sendiri. Dari cuplikan filmnya ternyata jauh dari imajinasi saya sehingga memang imajinasi tiap orang memang beda, kita dapat membuat alur dan gambaran visual sendiri.


Nyatanya tidak perlu lama akhirnya saya dapat kesempatan membuat perbandingan lagi, adalah film luar "Dear John" yang bukunya di tulis oleh Nicholas Spark. Kebetulan hal itu karena filmnya sudah lumayan lama beredar, demikian juga bukunya sehingga keduanya dalam waktu singkat dapat segera di eksekusi. 

Lagi-lagi "visual"nya memang agak melenceng sedikit dari imajinasi. Saya jadi memahami tentang komentar miring, dari para pembaca yang beragam tersebut, dalam membandingkan kedua media yang terpakai itu.

Nyatanya paradigma karya lokal itu tidak menarik sudah terlanjur mendarah daging, terlebih di generasi yang banyak di pengaruhi budaya luar. Meski harus diakui karya lokal memang membosankan, apalagi ketika peredarannya pernah masuk dalam dominasi negatif, seperti daya tarik sensual mistis horor yang seperti membodohi penontonnya. 

Untuk film "Rumah di Seribu Ombak" yang luput saya tonton sepertinya masuk komentar salah satu orang yang saya "follow" di Twitter. Sebagai pemerhati media, bahwa ada sebagian film lokal yang bagus, tetapi karena tidak ada penontonnya ya masa edarnya cukup singkat, dari pada merugi, tentunya keputusan yang realistis. 

Yang saya tidak habis pikir paradigma tersebut melekat ke orang yang cenderung mengejek karya lokal, ketika interaksi dengan sekumpulan teman. Meski memang faktanya "masih" banyak film lokal yang kurang bermutu, seperti menjual sensual dsb, tetapi jika kita bisa menghargai tentunya saya akan sampai kehabisan pikiran. :D

Nampaknya dalam waktu dekat saya juga akan membandingkan karya lokal pertama berjudul "5 cm", yang kebetulan menarik saya yang agak malas nonton bioskop ini. Mungkin saja karena adanya visual latar tempat, hingga membangkitkan rasa penasaran.

Untuk latar tempat film juga menjadi nilai tambah dan daya tarik sendiri, siapa sangka sektor pariwisata negara tetangga menjadi kian maju, setelah industri film Hollywood banyak mengambil tempat di benua lain, termasuk salah satunya di film The Beach di bawah ini.

Sebuah fakta yang secara tidak langsung juga mempromosikan kawasan tersebut. Sepertinya hal tersebut mulai disadari oleh pejabat kita, ketika beberapa film mengambil tempat di sini, tentunya dengan mempermudah izin dsb. Misalnya pada saat tulisan ini dibuat, ada film yang mengambil tempat di sini, meski ceritanya berjenis fiksi ilmiah yang agak "kabur" dari realita.

Jadi bagaimana? Apakah nonton hanya sekadar nonton saja? Atau hanya ikut-ikutan saja nonton film yang sedang naik daun? Itu semua yah biasa saja, tentu akan beda ceritanya saat kita memang menantikan suatu film, sebelum film tersebut di publikasikan. Khususnya untuk film lokal yang bukunya sempat masuk "review" dalam tulisan saya kali ini, pasti pengalamannya akan sedikit berbeda. :) 

Banyak Pro-Kontra di antara orang yang menikmati karya tersebut, dalam bentuk dua media yang berbeda antara tulisan dan film. Tapi bagi saya hal tersebut baik, bukan merusak imajinasi kita bagi orang yang kontra, tetapi kita dapat mengetahui bagaimana imajinasi orang lain yang ter"visual", khususnya penulis yang kemungkinan sudah berkoordinasi dengan sutradara pembuat film.

Belakangan juga ada sebuah film, berjudul Stranger Than Fiction yang mengaitkan secara gamblang. Dengan unsur kesengajaan, ketika sebuah film bergerak berdasarkan tulisan dari tokohnya sendiri. Sebuah alur cerita yang sangat menarik, bahwa sebetulnya kita sedang membuat cerita masing-masing. :))


Update 2022 =
Sepuluh tahun pasca cerita dan ajakan saya ke teman untuk nonton. Pada akhirnya sekarang saya juga melakukan hal yang sama, pertama-tama mengajak lebih dulu, untuk nonton bareng. Bedanya kali ini bukan tentang latar tempat film lagi yang bikin penasaran, tapi memang dari ceritanya itu sendiri. Bukan lagi dari buku, tapi dari sebuah tulisan berantai di Twitter, kemudian dijadikan satu di banyak media internet.

"Kalau gua mah nonton sendiri udah biasa. Soalnya selama nonton yah kita fokusnya ke layar, bukan buat ngobrol" ujar salah satu teman. Sebuah komentar yang memang cukup masuk akal, agar kita tidak bergantung pada teman lain. Xp

Sudah bisa menebak filmnya? Konon tidak lama setelah booming, langsung digarap untuk pembuatan film. Kemudian beberapa kali tertunda karena pandemi, hingga akhirnya sekarang mulai tayang perdana. Sebuah genre yang cukup "baru" untuk sebuah rasa penasaran. :D