Minggu, 12 Januari 2020

Ruang Besar



Ruang Besar? Apakah maksudnya kita punya kamar yang besar?
Bisa jadi, tapi maksudnya bukan hanya itu, ayo kita kupas.


Saya ingin bercerita lagi, tapi untuk topik kali ini berdiri secara independen, meski bisa saja dihubungkan dengan cerita yang lain. Ada sebuah kata yang sempat saya sebut di tulisan sebelumnya secara singkat, dan baru pada kesempatan kali ini saya membahasnya. :)

Pada satu waktu ada teman pernah bercerita, mengangkat sebuah pengalaman tidak enak atau kecewa dan sejenisnya. Hal itu berujung pada keadaan yang membuat seseorang "jatuh", misalnya mengalami kepahitan dan depresi berkepanjangan, berhubungan dengan hal yang membuat orang itu kecewa.

Kepahitan dan Depresi jadi terdengar seperti bahasa tingkat tinggi. Dari bahasa sehari-harinya bisa disejajarkan dengan Stress atau Dendam. Kepahitan terhadap seseorang artinya ada dendam terhadap orang tersebut. Depresi tentang sesuatu hal, artinya kita sedang stress tingkat tinggi mengenai hal tersebut. Sudah menangkap maksud gampangnya? :D

Permasalahan ini cukup menarik, mengenai kepahitan atau depresi, mengapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya karena orang itu punya masalah, tapi "masalah" itu dibiarkan berlarut-larut hingga berpengaruh pada pembawaan diri. Kondisi itulah yang jadi asal muasal seseorang mengalami kepahitan dan depresi, atau dalam bahasa sehari-hari itu disebut "dendam" dan "stress" kepada keadaan (situasi dan kondisi).

Menurut saya kepahitan depresi atau dendam tadi masih satu paket, mereka adalah sebuah penyakit yang menyerang ranah psikologi (jiwa) kita. Tidak beda jauh dengan penyakit yang menyerang ranah fisiologi (tubuh) kita, seperti batuk pilek demam dsb.

Teman tadi bercerita mengenai kekecewaan, yang jadi asal muasal seseorang jadi kepahitan dan sejenisnya, kemudian bagaimana sulitnya keluar dari situasi tersebut. Sampai akhirnya saya ikut berkomentar, bahwa hal itu sebetulnya bisa dihindari. Seseorang tidak perlu sampai harus mengalami kepahitan andai dikecewakan, bagaimana caranya? Jawaban saya adalah bahwa orang tersebut harus menerima keadaan, jadi harus punya kebesaran hati untuk menerima kenyataan bahwa dirinya sedang dikecewakan.

Apakah itu bisa? Berbesar hati menerima keadaan? Hal itu memang mudah jika diucapkan karena hanya berupa teori, tapi sesungguhnya bisa dilakukan, tergantung dari keadaan orangnya saja, punya kemauan atau tidak untuk sampai ke sana.

Seperti saya jelaskan di atas, kecewa kepahitan depresi dan dendam adalah sebuah penyakit psikologis. Jika tubuh kita sedang sakit pasti tidak akan enak, tentunya kita segera berobat untuk bisa sembuh secepatnya. Hal itu berlaku pada penyakit psikologis, termasuk di antaranya kecewa dkk nya dan yang lain-lain. Ada yang harus diobati andai kekecewaaan kita sudah berubah menjadi "kecewa tingkat lanjut."

Mengapa orang jadi sulit mengobati kekecewaannya? Hingga berlanjut pada "sakit" yang lebih parah berupa kepahitan dan depresi. Jawabannya sederhana, karena orang itu tidak atau belum menerima kondisinya, hingga tidak mau melepas situasi tersebut, kemudian masalah itu dibiarkan berlarut-larut terpendam (bukan hilang), tidak pernah diselesaikan.

Orang jadi sulit menerima keadaaan karena belum punya kebesaran hati. Dari definisinya sudah cukup jelas, menurut saya hati yang besar artinya perasaan kita menjadi "luas", hingga mampu menjangkau berbagai kemungkinan, dari yang default-nya membahagiakan (ini gampang banget dan sudah alami otomatis), atau mengecewakan sekalipun (ini yang perlu diupayakan atau di-setting ulang).

Terus bagaimana bagi yang masih berkecil hati? Yah itu tadi, seseorang menjadi kecewa dan tidak menerima keadaan, oleh karena perasaannya yang belum diluaskan, karena secara umum perasaan seseorang maunya pasti ke arah yang positif (membahagiakan berhasil dkk-nya). Sebaliknya jika orang itu mau menerima kekecewaannya itu, justru sesungguhnya dia sedang berupaya membesarkan hatinya sendiri, setuju?

Bagaimana agar seseorang mau menerima hal-hal yang mengecewakan? Jawabannya adalah dengan memakai logika kita, karena logika itu sebuah kepastian, bukan sebuah kemungkinan layaknya perasaan. Bedanya logika dan perasaan sudah saya bahas tajam di sini. Jadi andai kita dikecewakan intinya kita harus terima, karena itulah yg terjadi, bukan mencari alasan lain, atau justru "memelihara" rasa kecewa itu layaknya sebuah penyakit yang bisa makin parah.

Saya jadi ingat dengan film kungfu zaman dulu "The Return of the Condor Heroes", sewaktu zaman masih kecil dan hanya suka lihat aksinya saja, serta hanya tahu garis besar ceritanya. Kemudian di zaman internet seperti sekarang film itu bisa didapatkan lagi. Kemudian ada sebuah percakapan menarik, antara Yoko sebagai tokoh utama dengan mantan Gurunya sewaktu kanak-kanak.

"When Kwok Ching handed you to me, I failed to take good care of you. But you aquired supreme martial art in the end. That's why everything is predestinated."
"Gor, i have a word for you. Though you may not like to hear it."
"Reverend, please go ahead."
"I mean, your wife's life and death is also predestinated. But you have to bear it in mind. There are still many things waiting for you. Don't seek death lightly."


Jadi sebetulnya predestinated itu memang terjadi pada akhirnya, tapi bagaimana cara kita untuk sampai ke sana. Jika predestinated dalam percakapan artinya sudah ditentukan sebelumnya, kemudian saya malah lebih suka memodifikasi katanya sedikit, menjadi Pra-Destinasi, yang artinya langkah yang harus kita lalui sebelum sampai di tujuan (terjadi pada akhirnya). 

Bahkan saya jadi lebih fokus dengan kalimat lainnya, "There are still many things waiting for you." Terjemahannya adalah masih banyak hal yang menunggu kita di depan, untuk kita lalui sebagai Pra-Destinasi. Jadi idealnya kita harus terus melangkah, termasuk menerima kekecewaan sebagai bagian dalam perjalanan, jika tidak maka kekecewaan itu bisa menjadi batu sandungan, yang membuat kita diam dan tidak beranjak dari tempat semula.

Kemudian saya punya cara jitu untuk kita semua menerima kekecewaan, untuk tidak berlarut-larut tenggelam dalam titik nadir. Kita berandai-andai saja, bagaimana jika yang membuat kita kecewa itu tidak pernah kita jumpai? Maksudnya bagaimana?

Misal kasusnya itu kita kecewa dengan si A, atau kecewa dengan keputusan gerombolan B, atau kecewa dengan hasil proyek C, dst. Semuanya itu membuat kita kecewa, tapi bisa kita antisipasi dengan memosisikan diri kita sendiri ke titik awal. 

Titik awal? Maksudnya? Misalnya bagaimana jika kita tidak pernah bertemu dengan si A, tentu kekecewaan itu tidak akan pernah ada. Atau bagaimana jika seharusnya kita tidak bergantung pada keputusan gerombolan B, tentu keputusan mereka tidak akan mengecewakan kita. Atau bagaimana kalau proyek C ditanganinya dengan cara lain, pasti hasilnya akan berbeda. Sudah menangkap maksudnya? Ibaratnya seperti kembali ke titik nol dalam ranah psikologis, karena titik ranah waktu tentunya terus berjalan.

Memang kita tidak bisa memutar waktu, tapi kita bisa menentukan sikap kita atas berjalannya waktu tersebut, anggap saja sebagai bagian dari perjalanan dan Pra-Destinasi kita pada akhirnya, sekaligus membesarkan hati kita seiring berjalannya waktu. :)

Hati yang Besar memang terdengar lebih puitis, Besar Hati juga bisa berarti Ruang Besar. Apakah kita sudah punya Ruang Besar tersebut? Itu maksudnya.
:D