Kamis, 11 Juni 2020

(Tangga) Percaya Diri




Percaya Diri punya Tangga?
Memang iya. Ada tangga yang rendah atau tinggi.
Atau memang sudah ada dari sananya, hingga tidak perlu tangga lagi.

Dari beberapa tulisan saya belakangan ini, mungkin ada bahasan yang bisa nyambung. Lebih tepatnya semua berhubungan, meski tema-tema yang diangkat tetap dapat berdiri sendiri. 

Jika ditelisik atau masuk dalam kategori, saya lebih menyukai kategori yang bersifat Holistik, bukan yang sekadar Spesialis. Jadi semuanya terhubung, tidak pernah ada sesuatu bagian yang benar-benar terpisah. :)

Bahasan yang belum lama saya angkat adalah mengenai Tenaga Dalam di sini. Sebuah tenaga yang berasal dari dalam diri, atau bisa disebut sebagai batin. Mungkin ada beberapa pertanyaan, bagaimana mengolah batin atau tenaga dalam kita dan orang-orang.

Berkaca dari pengalaman singkat yang saya angkat di tulisan Tenaga Dalam itu, ada potongan percakapan di bagian akhir, isinya membuat lawan bicara BaPer, hingga saya menyadari sedikit rahasia jalur ilmiahnya. Cara sederhananya adalah kita berbicara dengan orang itu dalam hati, bersuara dalam hati atau pikiran, bukan dalam bentuk ucapan dari mulut kita. Berbicara dalam hati? Ternyata sangat mudah bukan? Pasti banyak di antara kita sering melakukannya, bahkan karena sangat biasa hingga tidak kita sadari.

Ternyata berbicara dalam hati atau pikiran itu penting, karena merupakan salah satu bentuk tenaga "dalam" yang kita miliki. Jika sudah mampu berbicara dalam hati, bisa saja berlanjut keluar dalam bentuk ucapan. Tentunya hal itu berhubungan dengan sudut pandang kita, pada utamanya ketika dihadapkan pada situasi, bukan sekadar memberi komentar atau opini.

Artinya kita bisa saja mengutarakan suatu pendapat, memberikan sudut pandang kita andai berbeda dengan yang lain. Bagaimana caranya? Cukup mudah, hanya perlu mencari sisi yang berbeda saja, hal itulah yang membuat cara pandang kita berbeda dengan yang lain, bukankah begitu? Hingga secara tidak langsung, kita sedang berlatih untuk percaya dengan pendapat kita sendiri, bukan hanya sekadar ikut perkataan orang lain. 

Percaya Diri arti dasarnya adalah percaya dengan diri sendiri, termasuk dengan pendapat-pendapat kita, setuju? Percaya diri bukan hanya sekadar di kata-kata saja, tapi memang harus ada juntrungannya, hingga kita "mampu" percaya pada diri sendiri. Sebuah tahapan yang sebetulnya tidak sulit, kita semua bisa membangun  rasa percaya diri tersebut, benar tidak?

"Jangan terlalu kepedean lu Bang Roy, nanti tau-tau kepleset baru tahu deh" ujar salah satu teman, karena hanya mendengar sisi luar dari perkataan yang didengar.

"Bukan kepedean, tapi dengan iman aja. Andai kepleset yah memang begitu jalannya" jawab saya dengan tertawa, karena punya sisi dalam sebagai bukti, atau sebagai dasar hingga perkataan tersebut keluar dari ucapan.

Jika sudah Percaya Diri dengan apa yang ada di dalam kita ini, selanjutnya bisa kita kembangkan lebih lanjut. Salah satu caranya dengan membangun karakter kita, hingga kata Percaya Diri yang abstrak itu, dapat tergambar dalam bentuk yang lebih absolut, alias bisa terlihat, bahkan menjadi ciri khas dalam diri seseorang. Untuk itulah sebuah Kepercayaan Diri akan menuntun seseorang kepada Karakter-nya.

Bagaimana untuk punya karakter? Sebetulnya juga tidak terlalu sulit, asal kitanya mau dan bersedia, serta berupaya membangun ciri khas tersebut. Kembali lagi, jika sekadar diucapkan saja memang mudah, tapi menjadi kosong jika hanya berupa kata-kata saja. Caranya tidak lain dan tidak bukan, kita harus upayakan dalam tindakan nyata. Karakter atau ciri khas seseorang itu bisa dicapai oleh siapa saja, misalnya seseorang mau dikenal sebagai apa? Dalam bahasa akademis disebut character building.

Membangun karakter? Bisa saja, caranya? Apa yang jadi kegemaran bisa saja kita tonjolkan, karena hobi merupakan tahap awal yang paling mudah. Hingga akan membentuk dan menuntun kita pada tahapan berikutnya. Loh? Kog ada tahap berikutnya? Memang iya, karena yang namanya karakter harus terus kita upayakan terus menerus, tidak pernah ada kata selesai selama kita hidup. :)

Selain hobi atau kegemaran kita, biasanya karakter seseorang juga terbentuk secara otomatis, andai dilekatkan dalam bidang pekerjaan. Hingga sebuah karier dan pekerjaan juga dapat menjadi wadah, khususnya bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kenapa bisa begitu? Karena mereka sedang "belajar" secara langsung, melakukan tugasnya sebagai tenaga kerja di sana, hingga bidang yang digelugutinya bisa membangun karakter secara tidak langsung.

Jika hobi dan pekerjaan sudah ditonjolkan, apalagi berikutnya? Nah itu tergantung dari masing-masing kita, karena saya sendiri juga tidak tahu apa yang menanti kita di depan, setiap orang pasti punya cerita dan pengalaman masing-masing. Pastinya segala sesuatu telah disiapkan dan disediakan bagi kita, untuk kita lalui sebagai percaturan dari pemilik kehidupan. Setuju?

Jika awalnya kita dikenal karena hobi kegemaran dan pekerjaan kita, maka lambat laun ciri khas eksternal itu akan berubah, menjadi semakin ke dalam internal diri kita. Bukan lagi dia sebagai pemusik, penulis, fotografer atau banker, tapi dia sebagai dia, atau kita adalah kita, punya ciri khas tersendiri sebagai pribadi. B)

Kita mulai percaya dengan diri sendiri, alias Pede. Kemudian selanjutnya akan membentuk terbuat dari apa kita, alias berkarakter. Selanjutnya bangunan karakter akan menentukan watak kita, hingga ciri khas yang lebih identik akan terbentuk dengan sendirinya. Bukan lagi sekadar hobi atau karier, tapi sudah semakin berkembang pada "kepribadian" yang lebih tinggi. Jadi sudah tidak berkutat dalam tingkat kebutuhan diri saja, melainkan bisa melesat kepada aktualisasi diri.

"Buset, Pede banget lu. Jangan terlalu Pede, nanti kalau gagal baru sakit deh" ujar teman yang lain. Berusaha realistis dan tanpa sadar justru sedang mengerdilkan arti dari sebuah keyakinan.

"Gak bakal sakit, kalau gagal juga sudah siap. Justru kita harus lebih fokus dengan yang baik-baik, betul tidak? Menjadi Pede itu perlu dan penting" balas saya, tetap memberi porsi ideal dari keyakinan yang muncul. Jika hanya fokus pada jeleknya, bagaimana yang bagus itu bisa datang? Benar tidak?

Jika sudah punya Kepercayaan Diri yang demikian, kita tidak akan mudah terbawa arus, karena sudah punya akar yang kuat. Bahkan akar tersebut dapat menumbuhkan ranting-ranting baru, sebagai simbol "kepribadian" kita yang baru dan berbeda tadi.  Hingga tahu benar apa yang jadi tujuan kita, bukan lagi mencari-cari apa yang jadi tujuan kita. :))

Idealnya kita sudah mampu menentukan tujuan, atau justru kita sendiri menjadi tujuan (Jadi Teladan). Untuk bisa demikian mutlak diperlukan kepercayaan kepada diri sendiri, alias percaya diri. Jika kita tidak percaya pada diri sendiri, bagaimana orang lain bisa percaya? Setuju? 

Jadi andai kita masih ingin menjadi seperti orang lain, tandanya kita tidak percaya dengan diri sendiri. Dengan kata lain kita tidak bisa menjadi subjek maupun objek, karena hanya sekadar jadi predikat, alias hanya jadi tempat transit saja. Orang lain idealnya hanya berperan sebagai teladan, atau menjadi inspirasi bagi kita. Hingga kita dapat membangun diri, serta percaya dengan diri kita sendiri, itu yang penting.

Contoh mudahnya bisa dimulai dari kata-kata, atau bahasa gaulnya itu quote. Secara ideal kita harus berupaya, untuk menggunakan "suara" yang berasal dari dalam diri kita sendiri. Bukan sebaliknya, yang malah "rutin" meneruskan kalimat "bijak" dari orang lain. Jika begitu kita hanya jadi tempat transit saja, karena sumbernya tetap berasal dari orang lain. Jadi kitanya sendiri jadi tidak punya akar, karena hanya bergantung pada ranting-ranting pohon lain. Sudah menangkap maksudnya? 

Jadi apakah kita harus mengumbar kutipan? Di depan orang banyak atau media sosial? Maksudnya bukan diumbar yang demikian. Tapi "kutipan" itu kita serap untuk direnungkan, hingga berpengaruh dengan keadaan kita sendiri. Sekali-kali juga tidak ada salahnya membagikan "suara" orang lain itu kepada dunia luar, karena kitanya sendiri juga terinspirasi. Tapi jangan terlalu berlebihan, hingga membuat "suara" kita terkubur, karena tidak pernah "diangkat & diasah". 

Think before you speak (write), berlaku juga untuk tulisan saya ini. Xp

Memang suara dari orang lain kadang juga dapat membantu, sebagai pesan yang datang di luar kendali kita. Tapi kita harus tetap bertumpu pada suara sendiri, serta punya keyakinan untuk itu, pada utamanya terhubung dengan Sumber Kehidupan. Jika kita hanya hobi meneruskan pesan orang lain, tapi kitanya sendiri tidak pernah "bersuara", jadi apa artinya? Sudah selayaknya kita perlu melatih, serta berani berpegang pada suara sendiri, karena kita yang mengalaminya secara langsung, bukan orang lain. Setuju?

Ada yang bilang kita jangan mengandalkan diri sendiri, tapi harus mengandalkan Pencipta. Tapi bagaimana karya Pencipta dapat terwujud? Caranya yah tentu melalui tindakan kita, yang tetap berada pada jalur yang disediakan Pencipta, tidak keluar jalur dan menyimpang. Ada perbedaan saat kita melangkah dengan iman (konsultasi sama Pencipta), dengan melangkah semaunya dan suka-suka kita sendiri. Lebih tepatnya kita jangan mengandalkan orang lain, tapi andalkan diri sendiri dengan hikmat yang diberikan oleh Pencipta, terdengar lebih spiritual bukan? Xp

Jadi kita harus mulai bersedia belajar, melalui berbagai tahap fase hidup yang menanti di depan. Dari awalnya kita (mungkin) hanya berperan sebagai jembatan, alias sekadar jadi tempat transit belaka. Kemudian berubah menjadi tempat awal dan menuju sesuatu, bahkan bisa sampai pada tempat akhir yang dituju, alias punya sesuatu yang bisa kita banggakan. (dan memang seharusnya begitu) :))

Percaya diri (untuk) berada pada jalan kita sendiri. Hingga pada akhirnya kita mampu untuk menjadi diri sendiri. Itulah "Tenaga Dalam" yang dapat memancar keluar dari dalam diri, itu ilmiah dan bukan mistis. :D

Percaya Diri ada tangganya?
Benar, tinggal kitanya mau naik atau tidak.
Jika mau siap-siap aja.
Kita harus panjat "character building" masing-masing.
:D