Rabu, 05 Agustus 2020

(Kurung) Buka Tutup



Ada satu bahasan yang ingin saya angkat. Tapi karena tema yang diangkat agak sederhana, akhirnya saya menunggu hingga waktu tepat. Dengan kata lain menunggu tambahan "masalah" untuk melengkapi bobot bahasan, jadi bisa langsung sekaligus dikupas.

Jadi tema yang ingin kita bahas ini bukan hanya cukup penting, tapi jadi sangat krusial. Karena ada benang merah yang sama pentingnya. Udah siap? Lanjut.

Pastinya kita sudah mengenal pola dasar dari sebuah kalimat, sudah kita ketahui dalam pelajaran Bahasa Indonesia dulu. Masih ingat pola S-P-O-K yang menjabarkan Subjek Predikat Objek dan Keterangan? Nah kita akan mengangkat peran Predikat sebagai "jembatan", serta ada hal lain (Sesuai Judul) yang menopang pola tersebut.

Contoh dasarnya seperti ini =
Orang (Subjek) + Menulis (Predikat) + Blog (Objek)

Sangat sederhana bukan? Contoh lain, Kita Lapar (Subjek dan Predikat), kemudian berubah jadi Kita Melahap Burger (Subjek Predikat Objek), atau dengan tambahannya sekaligus. Kita Melahap Burger Mekdanol (Subjek Predikat Objek Keterangan).

Nah yang mau kita bahas di sini adalah tentang Predikat, alias "usaha" kita menjembatani apa yang jadi keinginan, untuk mendapat tujuan (objek) di sana.  Tentunya apa yang jadi Predikat ini cukup penting, meski kadang posisinya kalah populer dengan Subjek atau Objek yang lebih dominan.

Predikat merupakan Kata Kerja, bukan Kata Benda yang berfungsi sebagai identitas, yang sering melakat pada posisi Subjek atau Objek. Atau ada sebutan Predikat tentang sesuatu, misalnya Tim Liverpool berpredikat sebagai Juara Liga Inggris Baru, artinya Liverpool yang jadi Subjek, berhasil jadi Juara sebagai Predikatnya, serta Liga Inggris sebagai Objek kompetisinya. Sudah menangkap perbedaannya?

Ada sebagian orang lebih membanggakan objeknya, misalnya dalam hal belajar. Saya bertemu dengan beberapa yang "terjebak" dalam pola tersebut. Contohnya dalam kegiatan mencari ilmu, di sekolah atau kampus dan tempat sejenis. Pendapat yang sering terdengar adalah jika bukan ahlinya lebih baik diam saja, alias yang boleh bersuara atau mengemukakan pendapat hanya mereka yang punya keahlian saja. Apakah harus seperti itu? Bisa saja begitu, tapi sesungguhnya tidak sepenuhnya harus begitu.

Misalnya seseorang dengan latar belakang pendidikan Ekonomi, lulus dari sekolah atau dapat gelar dari bidang tersebut. Mereka menggunakan teori yang berlaku dan banyak diakui di bidang tersebut. Jadi mereka "berhak" berbicara karena punya pengetahuan dari jejak pendidikan di bidang yang sama. Tapi apakah hanya mereka saja yang berhak berbicara? Nah di sini pro kontra dapat terjadi, karena sebagian orang bisa saja "Mendewakan" Objek sebagai latar belakang pendidikan. Misalnya jika bukan lulusan Ekonomi, maka seseorang tidak berhak membicarakan Ekonomi. Terkesan Sok dan Arogan? Itu lumrah dan manusiawi.

Mereka yang Sok dan Arogan itu memang ber-mental (S1), alias berpikir dalam pola "Strata Satu" yang memang mengikuti aturan yang berlaku. Sarjana adalah mereka yang mengikuti teori yang sudah ada, itu saja, tidak masalah sebenarnya. Tapi bisa jadi bermasalah saat mereka balik "Mendewakan" teori yang sudah ada, karena artinya mereka sedang "terjebak" dalam kubangan teorinya sendiri. Umumnya mereka jadi keras kepala, serta cenderung berpegang teguh pada pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki, di luar atau yang berbeda pendapat dengannya bisa dianggap sesat. Xp

Lain cerita dengan mereka yang naik tingkat ke "Strata Dua" yang dijuluki Master. Mereka dalam polanya mulai mempertanyakan teori yang sudah ada, alias mulai mendebat bahwa teori lama itu perlu diubah, atau sudah ketinggalan zaman. Nah barisan orang pada tingkat ini mulai lunak, serta bersedia membuka diri untuk sebuah pengetahuan baru. Pepatah klasik mulai berlaku, bahwa semakin banyak kita tahu, maka kita akan merasa semakin banyak yang belum diketahui. Sangat menarik bukan? :o

Kemudian tingkat terakhir adalah "Strata Tiga" yang sering disebut sebagai Doktor atau Professor atau sejenisnya. Mereka sudah "Pede" untuk membuat teori baru, sebagai jawaban untuk alternatif memperbaiki keadaan, karena bunyi teori lama sudah tidak relevan lagi dalam praktek nyata.  Mereka memang berhak dan wajib mencari teori baru, karena jenjang akademisnya mengarahkan pencari ilmu itu untuk ke sana. B)

Banyak cara tentunya seseorang bisa belajar, salah satunya melalui pendidikan formal dengan berbagai jenjang tingkatan. Di luar itu tentu masih banyak jalan lain untuk kita belajar, perbedaannya hanya soal resmi atau tidak, mendapat ijazah yang diakui atau tidak. Perbedaan ini sebetulnya hanya untuk menyaring kompetensi seseorang, tapi semuanya akan kembali pada pribadi orangnya, seberapa tinggi minat orang itu untuk "terus belajar" memperkaya ilmunya.

"Gimana style gue? Udah kaya S.Th jalur otodidak belum?"
"Bukan kaya gitu. Kalau di luar tuh lu kaya orang-orang Ph.D"

Jika berpedoman pada latar belakang, serta jenjang pendidikan yang diambil, maka seseorang bisa saja fokus pada Objek (Bidang Ilmu Formal). Sementara jika langsung melihat hasil dari cara berpikir seseorang, tanpa mengindahkan apa dan bagaimana latar belakang jenjang pendidikan, maka orang itu sudah berfokus pada Hasil, yang tentunya didapat dari Predikat (Usaha), bukan lagi tentang Objek semata.

S-P-O-K = Hasil  


Ambil Contoh di atas, Kita Melahap Burger Mekdanol, Hasilnya? Yah Kenyang, Nikmat atau Puas. Sangat sederhana bukan? Xp

Selain orang yang berfokus pada Objek, mereka juga hampir mirip dengan barisan yang fokus pada Subjek. Perbedaannya hanya di posisi, jika Objek menitikberatkan pada latar belakang atau apa yang didapat, maka Subjek lebih condong pada kebanggaan diri sendiri, misalnya seseorang bangga jadi Manajer, Direktur, Olahragawan atau Pengusaha. Hal itu sah-sah saja dilakukan, karena mereka punya hak untuk hal tersebut. Tapi bisa jadi bermasalah pula andai Subjek itu "didewakan" pula.

Misalnya seseorang yang sangat terobsesi dengan yang namanya Motivator. Nah mereka cenderung "Buta" dalam menilai Subjek yang dimaksud, serupa dengan terjebak dalam kubangan Objek yang tadi disinggung. Umumnya apa saja yang disampaikan seseorang dengan label Motivator akan dianggap baik, tidak ada penilaian secara objektif, karena memang dipandang sangat subjektif, itulah salah satu penyakit terlalu mendewakan Subjek. :P

Mendewakan Objek = Terjebak dalam lingkaran Teori Lama.
Mendewakan Subjek = Terobsesi dengan salah satu bentuk Kepribadian.

Nah bagaimana dengan Predikat? Kata Kerja ini menjadi sangat netral, tidak lagi berhubungan dengan Subjek maupun Objek, alias siapa saja dapat menjadi apa yang diinginkan, caranya? Yah tentu dengan berusaha. Hal inilah yang diajarkan oleh banyak orang bijak, mereka tidak terikat dengan teori, atau tidak merasa penting dengan label dirinya sebagai siapa. Terdengar lebih bijaksana bukan?

Hukum alamnya begitu, Subjek Predikat Objek sama dengan Hasil. Dalam bahasa sehari-hari seseorang harus berusaha, untuk mendapatkan yang diinginkan, serta bisa menikmati hasilnya kemudian, baik atau buruk. Tapi apakah hanya begitu? Nah ini salah satu yang perlu kita tahu, karena cukup krusial untuk dibedah bersama.

S-P-O-K=Hasil

Ada kalanya pola tersebut sudah dilakukan dengan baik, semua sudah oke, tapi ternyata tidak kunjung mendatangkan Hasil, kenapa bisa begitu? Jawabannya ada tanda tidak kasat mata menaungi hukum sebab akibat tersebut. Apa tuh? Kembali lagi ke judul tulisan ini, sudah tahu? Ya, masih ada Tanda Kurung, buka dan tutup. Jadi pola yang lebih lengkap itu berbunyi seperti  di bawah ini.

( S-P-O-K=Hasil )

Tanda Kurung menjadi hal yang banyak dilupakan orang, padahal keberadaannya sangat penting dalam menopang pola yang kita lakukan. Selain Subjek Objek dan Predikat Keterangan, ternyata Kurung Buka Tutup ini berfungsi jadi pintu masuk, bahkan jadi "Pembuka Jalan" yang sebenarnya, apakah begitu? Tergantung masing-masing dari kita, mau percaya atau tidak.

Dalam bahasa sehari-harinya, selain orang berusaha untuk mencapai keinginan, ada pertanyaan lanjutan yang penting. Apakah orang itu layak mendapatkan apa yang diinginkan tersebut? Apa motifnya? Apa tujuannya? Bagaimana persiapannya andai yang dicapai itu sudah didapat? Tentu jawabannya bisa beragam, karena setiap orang punya ciri khas masing-masing, serta dengan berbagai watak berbeda-beda.

Misalnya seseorang berusaha mendekati orang lain dalam urusan asmara, hasil yang diharapkan tentu kehadiran sosok lain itu bisa jadi pasangan. Semua pola sudah dilakukan, berusaha terus dan terus, lagi dan lagi, tapi belum mendapat hasil, kenapa bisa begitu? Karena belum ada Tanda Kurung Buka yang dijalankan dengan baik.

Hukum Alam sebenarnya tidak bisa dimanipulasi, karena cara kerjanya sangat adil, apa yang kita tabur itu yang kita tuai. Sebagai bagian dari Pencipta sebetulnya "mereka" yang paling tahu keadaan kita, apakah kita sudah siap? Atau perlu membereskan hal-hal "buruk" yang masih bengkok di dalam diri kita (di luar faktor harus berkaca tentang penampilan dan tingkah laku). Seperti itulah cara kerja Tanda Kurung yang menopang "Usaha" yang dilakukan.

Ada juga oleh karena belum ada "Tanda Kurung Buka" yang memadai, seseorang tidak atau belum menjalankan Predikat atau Usaha dengan benar. Biasanya selalu mencari alasan untuk tidak atau kurang berusaha, seperti mengulur waktu, belum siap, tunggu waktu yang tepat dsb. Apakah bisa demikian? Tentu sangat bisa. Dengan kata lain memang belum waktunya bagi orang itu mencapai hasil yang diinginkan. Keadaan itu masih termasuk lumrah, karena hasil yang tidak diimbangi dengan usaha yang harusnya dilakukan.

Bagaimana jika usaha sudah dilakukan dengan maksimal? Berlanjut lagi contoh tadi, seseorang yang sudah berulang kali melakukan pendekatan asmara, tapi selalu berujung pada kegagalan. Mungkin saja karena dirinya belum siap dalam tanda kutip. Misalnya andai diberi pasangan, ternyata orang itu bisa sombong. Atau bisa sangat terobesi pada hubungan mereka sendiri, keadaan yang justru akan mencelakakan dirinya sendiri. Atau lebih parahnya lagi kehadiran pasangan akan jadi Batu Sandungan (merugikan), bukan Batu Loncatan (menguntungkan), karena memang belum waktunya dan orang itu belum siap.

Ada kalanya juga seseorang diberi "Latihan" dengan mendapatkan yang diinginkan, tapi dengan hasil yang tidak sesuai harapan. Misalnya contoh tadi lagi, seseorang yang (akhirnya) berhasil melakukan pendekatan, diterima sebagai pasangan. Tapi ternyata hasilnya bukan mendapat bahagia, melainkan sengsara dan khawatir selama hubungan berjalan. Apakah itu bisa? Sangat bisa, artinya bisa berujung dengan kegagalan (juga) dan itu lumrah. Anggap saja sebagai pengalaman, bagian yang ikut membentuk karakter kita. Ada amin? O:)

Sudah menangkap krusialnya Tanda Kurung dalam setiap usaha kita? Pada khususnya bagian Kurung Buka sebagai Pembuka Jalan? 

Jadinya kita perlu bercermin tentang apa yang diinginkan, untuk apa dan bagaimana? Berusaha layak dan idealnya baik untuk kita dan semua, bukan yang merugikan. Pastinya kita sudah tahu teori dasarnya, apa saja yang baik dan tidak, tinggal dilakukan saja. 

Saya mengingat kutipan seorang dosen sewaktu zaman kuliah dulu. Agak saya modifikasi sedikit Subjeknya agar lengkap, tapi Predikat dan Objeknya tetap sama.

"Ketimbang jadi Spesialis yang tahu banyak tapi sedikit, lebih baik jadi Holistik yang tahu sedikit tapi banyak."