Selasa, 09 Februari 2021

Puncak Penginapan



Puncak Penginapan? Memangnya ada peringkat menginap lagi?
Bukan peringkat, tapi bicara tentang lokasi.
:P

Kali ini saya ingin bercerita lagi, khususnya mengenai penginapan tempat kita bermalam. Banyak tentunya tempat yang jadi persinggahan, andai kita melancong atau berwisata ke daerah tertentu. Bisa juga karena ada urusan lain, misalnya bisnis atau pekerjaan. Atau sekadar pindah dalam tanda kutip, karena mulai marak pula kegandrungan baru, tinggal di kawasan wisata yang dikenal banyak orang.

Jika punya rumah di tempat lain di luar daerah, atau berada di kawasan wisata, tentu menjadi keunggulan sendiri, karena artinya mereka punya pilihan. Bagaimana dengan yang tidak ada? Hampir sebagaian besar dari kita demikian, hingga cara yang termudah adalah dengan menyewa tempat, bahkan bisa menjadi kegandrungan lain. Tinggal menginap sementara dalam hitungan hari, berikut dengan segala fasilitas yang tersedia.

Kegiatan menginap ini pernah saya ceritakan di sini, bedanya kala itu saya mengangkat tema yang berbunyi menginap tanpa kasur. Kali ini barulah saya akan membahas salah satu kenikmatan menggunakan fasilitas penginapan, dengan berbagai cerita yang menyertai.

"Ada-ada aja lu, kalau udah menginap di sini yah nikmatin aja suasananya. Masa malah jalan ke Mal lagi, itu mah kapan aja juga bisa" seru salah satu teman saya, ketika yang bersangkutan mendengar usul dari teman lain, untuk sekedar keluar selepas petang dari hotel tempat kami menginap.

"Betul itu, jarang-jarang kita menginap di sini" timpal teman yang lain, ketika kembali naik ke kamar. Sebelumnya ada rencana beli makanan ke luar, tapi karena kepadatan lalu lintas selepas petang, niat itu langsung diurungkan. Bahkan ada satu resto yang dekat, bersebelahan dengan hotel, tapi kurang menarik untuk jadi tempat makan malam.

Teman yang memberi usul itu mungkin memang lapar, hingga mengajak ke Mal yang ada tidak jauh dari sana, bahkan jadi tempat yang biasa kami datangi untuk sekadar makan. Hingga akhirnya malam itu mereka beli makanan melalui aplikasi, tinggal pesan dan tunggu ojek on-line datang dan jemput ke bawah. :D

Keesokan harinya, meski kami mendapat jatah breakfast untuk dua orang, tapi kami bisa mengakali kupon dengan masuk bergantian, karena pemeriksaan untuk pengunjung tidak terlalu ketat. Teman saya yang menunggu memilih untuk berenang, menikmati fasilitas yang tersedia.

Tapi dari menu sarapan yang tersedia sepertinya kurang sesuai dengan lidah kami, karena hotelnya sendiri punya tema khusus, termasuk selera kulinernya. Hal itu juga berlaku ke saya yang punya lidah cita rasa Nusantara. Hingga akhirnya menjelang siang memesan kembali makanan melalui aplikasi, menu yang sering juga kami nikmati sewaktu zaman kampus dulu. Nasi dengan lauk Ayam Bakar dan sambal, nikmatnya (lebih) nendang, ketimbang beragamnya pilihan menu sarapan di pagi harinya. :9


"Kacau lu pada, gak mau rugi banget" ledek saya, ketika melihat ketiga teman saya duduk mematung, sibuk dengan gadget masing-masing. Pada saat jam menunjukkan sudah lewat dari pukul 11 siang, sebagai salam karena akan keluar lebih dulu dari yang lain.

Teman saya itu sudah mengajukan permintaan kepada resepsionis, bahwa mereka ingin late check-out. Dengan kata lain ingin keluar lebih lambat tanpa kena biaya, kebijakan tiap hotel tentu berbeda-beda, bisa sejam atau dua jam. Jika tidak melapor tentu akan terkena biaya tambahan, karena melewati batas jam untuk keluar.

Nah cerita di atas adalah pengalaman menginap di dalam kota, hingga istilah kekinian staycation mulai dikenal. Menjadi kegandrungan baru yang tidak biasa, karena sengaja menginap di tempat lain, meski lokasinya tidak jauh dari tempat tinggal kita. Bagaimana kalau memang jauh? Nah istilah menginap yang klasik memang berlaku di sana.

Saya juga akan bercerita mengenai sepak terjang bermalam (mandiri), khususnya ketika sedang berada di kawasan yang jadi kegemaran. Pastinya kita sudah bisa menebak jika melihat judul tulisan. Bukan dalam arti ada peringkat penginapan yang menduduki posisi puncak atau tertinggi, tapi memang ingin bicara tentang tempat bermalam yang ada di lokasi Puncak.

Pertama itu adalah pengalaman yang diawali ketidaksengajaan, terpaksa bermalam oleh karena keadaan. Kala itu saya bersama teman tergabung dalam satu kelompok, melakukan pendakian Gunung Gede dan menginap tenda di atas sana semalam.

Ketika turun gunung, ternyata banyak di antara kami yang baru sampai di kaki gunung saat malam. Hingga niat untuk langsung kembali ke Jakarta di hari itu tertunda, memilih kembali keesokannya saja bersama yang lain. Teman saya memilih menginap di kamar, karena merasa kurang nyaman untuk beristirahat di ruang umum yang disewakan, tempat di mana semua pendaki bisa saja berselonjor untuk istirahat, bahkan tidur, istilahnya ruang basecamp. Hingga diberi info ada ruang private yang disewakan di dekat sana, tidak jauh dari pintu utama Kebun Raya Cibodas.

Ruang yang disewakan itu memang minimalis, terletak di lantai atas dan hanya ada satu kamar saja. Di dalamnya juga hanya ada kasur saja, tidak ada fasilitas lain. Untuk WC  adanya di lantai bawah, penggunaannya lebih diperuntukkan untuk pengunjung cafe di bawah.  Pengalaman menginap di Puncak yang memang untuk beristirahat, bukan yang sekedar untuk berleha-leha.

Pengalaman selanjutnya lebih banyak menginap hemat tanpa kamar, alias bertenda di kawasan Cibodas. Alasannya budget yang masih terbatas, kemudian hanya sekadar numpang tidur saja. Tapi selama bolak-balik ke sana, sebetulnya ada satu hotel hemat yang cukup menarik perhatian. Lokasinya cukup strategis di mata saya, karena berada sangat dekat dengan pintu masuk kawasan wisata Cibodas. Batasan dekat ala saya adalah lokasi wisata yang masih bisa dijangkau dengan jalan kaki. Xp

Hingga akhirnya ada keinginan untuk berleha-leha dan bersantai-santai. Jadinya pilihan wisata untuk rileks menginap dimulai. Kesempatan itu akhirnya datang di Februari tahun (2018), melewatkan waktu dua malam di hotel kawasan Cipanas. Menginap di Hotel Cianjur, kala itu punya sayap branding dengan identitas Ayola Hoci Cipanas, berseberangan dengan satu Hotel terkenal juga di sana.

Jumlah kamar di sana cukup banyak. Di gedung utama saja mungkin lebih dari belasan, ada di sebelah kanan (kamar saya) yang menghadap pemandangan, serta sebelah kiri yang menghadap kolam renang semi-outdoor, dengan beberapa lantai berbeda. Kemudian ada pula kamar lain di gedung belakang, menghadap taman halaman belakang. Sementara di tengahnya adalah jalur parkir. Karena lokasinya di Cipanas, maka hanya bisa jalan kaki untuk kulineran saja di sana.

Berlanjut di akhir tahun (2018), ingin merasakan pergantian tahun di daerah Puncak, hingga saya mengambil penginapan di daerah Ciloto. Jika dari arah Puncak maka lokasinya selepas pertigaan ke arah Lembah Hijau. Bentuk hotelnya bukan dalam satu bangunan, tapi terbagi dalam beberapa bangunan, sesuai dengan jenis kamar dan tingkatannya. Dengan halaman yang cukup luas, mungkin bisa disejajarkan dengan cluster atau komplek berukuran kecil. Dari pintu masuk saja jaraknya masih ratusan meter ke kantor reservasi.

Kemudian pada tahun (2019) menginap di daerah Ciloto (lagi), hotel pertama yang dijumpai selepas belokan dari Puncak Pass. Jadi secara lokasi idealnya masih cukup tinggi, tapi pada saat menginap di sana (semalam saja) rasanya kurang nendang. Mungkin juga karena dapat kamarnya agak terkurung, hingga kurang sesuai dengan ekspektasi. Saya dapat kamar "hemat" di bangunan yang agak ke bawah, jadi menghadap lapangan parkir di halaman belakang hotel.

Nah pada tahun yang sama di (2019), akhirnya saya menjajal hotel hemat yang pernah buat penasaran di pintu masuk Cibodas. Alasannya karena sudah bekerja sama dengan RedDoorz, hingga bisa dipesan secara online. Kemudahan inilah yang ternyata dulu belum ada, hingga niat untuk menginap selalu tidak kesampaian. Cukup sering saya menginap di sini, andai ada keinginan untuk refreshing ke Curug Cibeureum, karena bisa jalan kaki dari hotel. :D
Sikon Pandemi sekarang, terakhir menginap harus booking langsung, karena tidak lagi bekerjasama dengan Pintu Merah.

Selanjutnya pada tahun (2020), ada keinginan untuk menginap (lagi) di jalur Puncak. Mulai ingin merasakan sensasi kedinginan, meski tujuan utamanya bukan itu. Memilih titik tertinggi di sana, berlokasi di Telaga Warna Resort, santai di sana satu malam saja. Nama daerahnya Tugu Utara, tidak jauh dari resto Rindu Alam yang kala itu akan ditutup. Mungkin sebelas dua belas dengan Puncak Pass di wilayah Cianjur, karena keduanya hanya dipisahkan dengan tebing bukit sebagai dindingnya.


Kemudian di tahun ini (2021) ada lagi keinginan untuk sekadar berleha-leha (lagi) di Puncak, masih tetap di lokasi yang tertinggi dekat Puncak Pass. Ada sebuah penginapan mencolok di jalur menuju Puncak, konon ternyata Hotel lama yang dipugar kembali, hingga terlihat lebih modern dan memang (akhirnya) menarik minat saya. Xp

Kemudian untuk pemilihan kamar, kali ini saya bukan ambil yang "paling" hemat, melainkan satu tingkat di atas harga hemat. Alasannya dari keterangan yang ada, kamar yang paling murah itu jendelanya menghadap jalan raya. Sepertinya hal itu kurang mengasyikan, hingga saya memilih yang punya pemandangan ke arah bukit atau gunung. Xp

Awalnya sesuai dengan rencana ingin menginap dua malam, hingga akhirnya tercetus sebuah ide, mulai jemput khayalan dalam sebuah realita. Baru sadar selama ini hanya menjadikan Puncak Pass sebagai patokan titik tertinggi, setelah titik Rindu Alam mulai pensiun. Jadi kenapa tidak langsung menginap saja di sana? Toh untuk harga juga tidak terlalu mahal seperti dulu, meski memang agak lebih tinggi dari yang lain.

Akhirnya rencana dua malam dipecah, dengan malam kedua menginap di lokasi yang jadi impian tanpa sadar. Mengambil kamar hemat yang justru menyatu dengan gedung utama, tapi agak berbeda lorong, karena posisinya agak ke belakang, yang sebetulnya lebih baik karena lebih tenang. Hal itu tidak mengurangi sensasi bermalam, dengan fakta berada di titik tertinggi daerah Puncak. Justru kamar-kamar mewah lokasinya terpisah, karena modelnya itu seperti villa sungguhan.

Beruntung pula saya mendapat kamar di lantai tiga, alias hanya turun satu lantai dari lorong utama. Jadi mendapatkan pemandangan yang cukup oke dan tinggi ke belakang. Pasti agak berbeda kondisi, andai ada di lantai satu yang agak di bawah. Lorong depan pintu kamar selalu becek, bukan karena tidak dibersihkan, tapi memang selalu diselimuti kabut, hingga embun gunung Megamendung itu membuat lantainya basah. Xp

Konon perbukitan jalan raya Puncak itu sewaktu dulu bernama Gunung Megamendung. >> Daendels Menaklukkan Puncak Pass?

Kondisi alamnya cukup berbeda dengan tahun lalu (2020), saat saya menginap di Telaga Warna Resort. Kala itu tujuan utama saya ingin mencari pemandangan, berupa penampakan pegunungan Gede Pangrango secara utuh. Jadi cuacanya cukup cerah, khususnya pada saat menit-menit pengambilan gambar, panorama yang saya inginkan bersih dan tidak tertutup awan. Tapi selimut kabut juga saya dapatkan ketika datang, hingga hari pertama dilewati dalam suasana berkabut.

Sementara di tahun ini (2021) tidak ada pemandangan khusus yang dikejar, karena hanya ingin berleha-leha dan bersantai saja. Menginap di titik tertinggi jalur Puncak, barangkali akan ada sensasi lain. Misalnya ada selimut Kabut menghiasi tempat menginap, bukan hanya sekadar hadir di kawasan hijau kebun teh.  Beruntungnya harapan itu kejadian juga akhirnya, berturut-turut pula selama dua malam.  :D

Jadi saya bukan lagi mencari view, tapi sudah masuk ke dalam feel yang lebih memuaskan. Tapi andai keduanya bisa didapat secara bersamaan, tentu akan lebih baik. B)


Puncak, tempat ideal yang adem semeriwing.
Tapi Puncak bisa juga berarti tujuan.
Hingga ada istilah kita mencapai puncaknya. 
Untuk kemudian tinggal menginap.
:))