Sabtu, 01 Oktober 2022

Lewatin Perbatasan


Ini udah sampai perbatasan.
Lanjut apa balik nih?!

Untuk cerita tentang batas dan teman-temannya sudah pernah didongengkan di sini. Bedanya di tulisan itu bercerita tentang pentingnya mengetahui batasan kita sendiri. Kemudian disertai pula contohnya melalui pengalaman berwisata saya. Selanjutnya andai kita mencapai batas tertentu, bukan berarti langkah kita selesai, karena akan ada batas "baru" yang sudah menunggu jauh di depan. 

Untuk cerita kali ini batas yang diangkat akan sedikit berbeda, berangkat dari pengalaman  yang sedang berlangsung. Perbatasan selalu menarik (bagi saya), misalnya ketika berada di perbatasan dua negara. Atau bahkan berdiri di satu titik, di mana terdapat tiga perbatasan negara bisa langsung disaksikan dengan mata, akan ada suasana yang lain, karena di sini dan di sana sudah beda wilayah dan lain-lain. Tentang sensasi berada di dua atau tiga perbatasan negara, ceritanya sudah diangkat sedikit di sini, di bagian awal.

Jadinya perbatasan apa tuh yang mau diangkat? Bukan lagi yang besar seperti perbatasan negara dan yang lain. Tapi justru di wilayah yang dekat saja, alias perbatasan lokal, sering kita jumpai sehari-hari. Atau mungkin tidak terlalu dianggap penting karena tidak ada bedanya. Meski terlihat serupa, tetap saja batas itu berlaku, hingga wilayah sini dan sana bisa beda urusan. 

Untuk perbatasan wilayah lokal ini, ingatan saya langsung terbang saat melintasi jalan tol. Biasanya di setiap perbatasan wilayah akan ada tugu selamat datang, misalnya dari arah Jakarta itu yang menuju Tangerang, Bogor dan Bekasi. Akan ada tugu atau patung perbatasan, biasanya mengangkat budaya dari wilayah yang akan disinggahi atau dilewati. Atau bisa juga menggunakan simbol nasional, seperti pejuang bersama harimau dan burung elang di seberangnya. 

Kemudian untuk jalan utama protokol (arteri) yang umum, menuju Tangerang Bogor dan Bekasi, biasanya juga akan ada tugu perbatasan. Mungkin juga disesuaikan dengan keadaan jalan, jika lebar dan besar, maka akan tersedia cukup ruang untuk simbol wilayah tersebut. Misalnya contoh tugu perbatasan Jakarta Tangerang di jalan Daan Mogot di bawah ini.

Bagaimana jika situasi dan kondisinya berbeda? Bukan jalan utama yang besar, serta tidak tersedia cukup ruang untuk simbol wilayah tersebut? Yah tidak ada tuh yang namanya simbol tersebut. Adanya sekadar tugu sederhana saja, untuk menandakan batas wilayah, bahwa sini dan sana sudah beda urusan.

Simbol perbatasan itu hanya ada di titik-titik tertentu, tidak bisa menggantikan keadaan lapangan yang sebenarnya, bahwa perbatasan itu ternyata sepanjang batasan itu sendiri. Bisa berupa jalan atau sungai dan lain-lain. Misalnya wilayah Jakarta Selatan dan Timur, ternyata perbatasan keduanya itu hanya berupa sungai Ciliwung, yang mengalir dari kawasan Lenteng Agung sampai Jatinegara.

Saya sendiri pernah mengalami sewaktu zaman kanak-kanak, tinggal di Jakarta Barat dan sekolah di seberang jalan yang adanya di Jakarta Pusat. Awalnya mengira bahwa setiap jalan, antara sini dan seberang pasti beda wilayah semua. Setelah beranjak dewasa dan tahu aturan mainnya ternyata baru mengerti, bahwa tidak semua jalan seperti itu, kenapa? Karena memang kebetulan saja saya tinggal di wilayah perbatasan, serta dipisahkan oleh jalan umum biasa.

Salah satu kabar yang cukup terkenal belum lama ini adalah daerah Ciledug. Jalan rayanya terbagi ke dalam dua perbatasan, sebagian masuk wilayah Tangerang, sebagian masuk wilayah Jakarta. Satu jalan utama tapi bukan termasuk jalan besar, karena hanya jalan berukuran sedang dengan dua jalur sempit, serta ramai oleh lalu lintas. Konon pemerintah berjuang keras membangun jembatan, hingga menimbulkan kemacetan parah saat pembangunan. Tapi hasilnya? Kini bis khusus Transjakarta beroperasi sampai wilayah ini (koridor 13), hingga warga di sana dapat ke pusat kota dengan lancar dan cepat.

Cerita lainnya saat saya membuat video dokumentasi kemarin, tentang wilayah ibu kota Jakarta yang terbagi dalam lima perbatasan. Fakta yang menarik adalah daerah Mangga Dua, karena di sepanjang jalan itu ada tiga wilayah yang berbeda. Hal itu menjadi perhatian karena arah rekaman saya tentu tidak asal-asalan, tapi ada sebuah perencanaan, tentunya juga perlu mengedepankan batas realitas tersebut. B)

Pertama itu jika dari arah Kota atau Beos (Stasiun Kota) mengarah ke Gunung Sahari. Wilayah Jakarta Barat itu dari Stasiun Kota, batasnya itu sampai jembatan rel kereta.

Kedua itu setelah melewati jembatan rel kereta, dari sini jalan yang terbentang itu berlaku sebagai batas wilayah. Sebelah kiri yang berdiri ITC Mangga Dua itu masuk wilayah Jakarta Utara, sementara di sebelah kanan Dusit Mangga Dua itu masuknya wilayah Jakarta Pusat.

Fakta di atas tentunya cukup menarik, hingga keluar selentingan netizen di media sosial, tentang kehebohan bahwa dirinya baru sadar (kala itu). Bahwa Jakarta Pusat itu terbentang dari Senayan sampai Mangga Dua. Padahal faktanya bukan seluruh jarak di antara keduanya, tapi secara kebetulan kedua kawasan itu sama-sama ada di ujung wilayah. Xp

Nah ketika membuat video ibu kota dengan judul khusus "Edisi Jalur" melalui kamera aksi. Maka yang direkam itu kondisi jalan dalam jarak tertentu, dari awal sampai selesai. Kalau ada yang terpotong, maka video tetap berlanjut di titik yang sama. Ibarat syuting film itu ada actioncut ketika memulai adegan.

Teknik pengambilan gambar seperti biasa, tapi muncul ide untuk menampilkan seluruhnya dalam durasi singkat. Caranya bagaimana? Yah perlu dipercepat gerakan videonya, istilahnya speed-up, agar durasi sepuluh menit bisa dipadatkan jadi satu sampai dua menit. Kemudian di beberapa bagian dibuat dalam durasi normal, hingga perpaduan ini dirasa cukup, untuk menggambarkan minat dan kegemaran dari pembuat videonya sendiri. :P

Mungkin hampir mirip dengan teknik time-lapse, ketika kamera didiamkan selama beberapa lama, kemudian hasilnya gerak video yang cepat. Bedanya dari awal memang sudah direncanakan agar durasi disingkat, sementara speed-up ala saya itu, sekadar merekam normal, tapi agar dapat durasi yang ideal, yah pilihan disingkat ini cukup menarik. Tambahan lagi kameranya tidak diam, tapi bergerak di jalanan. 

Video daerah Jakarta Pusat berakhir di sekitar Monas, titik awalnya itu ada di belakang Mal Taman Anggrek yang masuk wilayah Barat, sempat berputar di Grogol hingga ke Tomang dan Slipi, sebelum masuk Pusat melalui Senayan Semanggi.

Untuk Jakarta Utara juga serupa, titik awalnya ada di jalan Lingkar Luar Kamal, bersebelahan dengan jalan tol JORR. Masuk ke PIK melalui pintu belakang, kemudian mampir di pulau reklamasi hingga sampai di jembatan perbatasan dengan wilayah Banten, sebelum berputar kembali hingga ke Pluit, serta berakhir di Beos Stasiun Kota yang sudah masuk wilayah Barat.

Jakarta Selatan titik awalnya dari lampu merah Permata Hijau, kemudian berbelok di Pakubuwono dan masuk ke arah Pancoran melalui kawasan Trunojoyo dan Tendean. Kemudian berbelok lagi di Casablanca dan Ambasador, serta memasuki kawasan Pusat melalui Karet, terus melaju hingga ke Tanah Abang, Cideng dan persimpangan Harmoni.

Nah untuk edisi Selatan ini, akhirannya ada di titik perbatasan, yaitu di jalan Gajah Mada di depan persimpangan Plaza Gajah Mada. Jika melewati lampu merah maka sudah masuk wilayah Jakarta Barat, tapi video selesai saat lampu hijau menyala dan siap melaju.

Jakarta Timur kurang lebih hampir mirip, titik awalnya itu di persimpangan Pasar Rebo, berbelok hingga sampai Cililitan. Kemudian terus melaju melewati Cawang dan berbelok di Jatinegara hingga ke Matraman. Masuk ke wilayah Pusat melalui Salemba, hingga sampai Gunung Sahari dan sempat berputar di Pasar Baru. Kemudian video selesai di jalan Mangga Besar, sebelum melewati jembatan rel kereta. Jika terus melaju artinya sudah masuk wilayah Barat.

Dari lima wilayah, hanya Jakarta Barat saja yang wilayahnya murni, karena tidak "keluar" dari perbatasan. Bahkan sempat berputar di kawasan sendiri, karena tidak ingin menyenggol wilayah lain. Misalnya ketika berputar di jalan Mangga Dua, karena tidak ada tujuan masuk di antara Utara dan Pusat. Kemudian ketika berputar di persimpangan lampu merah Gajah Mada, karena memang tidak ada tujuan masuk ke wilayah Pusat. :P

Dokumentasi itu semuanya diambil pada saat akhir pekan, hingga dapat melaju lancar tanpa kemacetan. Jika pada hari kerja dan jam sibuk, pastinya banyak waktu akan terbuang karena terjebak di antara antrian kendaraan. Xp

Hijau > Barat Pusat
Merah > Barat
Biru > Utara Barat
Hitam > Selatan Pusat
Ungu > Timur Pusat

Praktis jika digambarkan dalam peta, memang tidak semua wilayah "dijangkau" dari ujung ke ujung. Tapi paling tidak lima wilayah sudah kena "liput" di titik-titik tertentu. Pastinya kawasan tersebut yang menarik untuk diabadikan, entah karena memang unik dan ramai, atau karena sudah biasa dilewati sehari-hari. 

Andai video mengabadikan ibu kota Jakarta di atas menggunakan kamera aksi, artinya pengambilan gambar sejajar dengan para pengguna jalan. Untuk saya sendiri posisi kamera ada di atas helm, hingga tidak berbeda jauh dengan pandangan mata.

Bagaimana dengan kamera yang bukan aksi? Alias kamera digital biasa? Tentu ada juga dan tidak ketinggalan mengabadikan momentum. Bedanya bukan fokus pada kondisi jalan, tapi lebih mengarah ke tujuan yang tersebar di ibu kota. Jadinya menepikan dulu kendaraan, untuk kemudian jalan-jalan di sekitar. Atau khusus edisi malam di video di bawah ini, menepi dulu di pinggir jalan, baru mulai mengambil momentum beberapa detik. 


Jadinya apa yang bisa ditangkap dari cerita di atas? Tentang perbatasan yang memisahkan ini dan itu? Bebas saja ditangkap seperti apa, tergantung masing-masing dari kita. Mungkin saja utamanya agar kita semakin yakin, tatkala mencari dan memasuki perbatasan lain, serta tetap berjaga-jaga dan tahu batasan kita sendiri. 

Lampaui perbatasan.
Terdengar seperti jargon motivasional.
Tapi memang jangan batasi diri kita.
Lewati batas tapi tahu batasan diri.
:D