Jumat, 27 Januari 2023

Banyak Jalan (Menuju Puncak)


Untuk cerita kali ini, kita akan berbicara mengenai wilayah Puncak Bogor (lagi). Meski belakangan kegandrungan saya untuk ke sana mulai berkurang. Kenapa tuh? Tidak ada yang tahu, mungkin saja karena kebutuhan yang sudah berubah. Tentang rasa bosan wisata di jalur Puncak ini sudah saya tuliskan di sini, mendongeng tentang Puncak Jenuh sebagai judul.

Kemudian jika bicara tentang cerita jalur Puncak, itu juga sudah dituliskan di sini, dengan judul cerita Naik-Naik ke Puncak Gunung. Maksud utamanya tentang jalur alternatif yang berbeda arah, bukan dari Bogor, tapi dari Cianjur. Untuk cerita ini kurang lebih masih berhubungan, karena tema mengenai jalur ini masih menarik diangkat, sesuai dengan judul banyak jalan menuju Puncak.

Lokasi Puncak Bogor sendiri merupakan sebuah kawasan hijau, pada awalnya berupa hutan perbukitan. Hingga menurut sejarah dulu, bukit itu dibelah untuk dibuatkan jalan di zaman kolonial. Pencetusnya adalah tokoh Willem Daendels dengan jalan raya Pos, karena bisa memangkas jarak dari Cisarua dan Cipanas secara langsung, tidak harus memutar melalui Sukabumi. Cerita lengkapnya ada di sini, serta dengan dokumentasi lukisan di bawah ini dengan latar proyeknya tersebut.

Lokasi Puncak Bogor bisa diakses dua arah, dari Bogor atau Cianjur. Jika kita berangkat dari Jakarta maka melalui Bogor tentu lebih cepat. Selain jalur utama yang sudah tersedia, ternyata banyak jalan alternatif yang bercang-cabang, untuk seterusnya menyatu di jalur utama, sebelum semakin naik ke batas kebuh teh Gunung Mas.

Untuk kendaraan roda empat bisa menggunakan jalan tol, artinya tinggal lurus saja sampai keluar. Sementara untuk roda dua harus melewati jalur umum biasa. Pastinya yang paling mudah melewati jalan raya Bogor, melewati kota Bogor sendiri, Tajur dan Ciawi, kemudian baru mulai naik di jalur utama Puncak.

Jika jalur Puncak utama sedang macet total di musim liburan, biasanya selalu muncul celotehan netizen yang agak norak. Membanggakan diri ketika bisa melalui jalur alternatif yang tidak macet, seolah-olah menjadi pahlawan dapat bebas dari kemacetan. Salah satu yang banyak digemari adalah jalur Bukit Pelangi, secara kebetulan jalur itu memang pernah saya jajal, ketika pertama kali ke Puncak naik motor, ceritanya di sini.

Untuk jalur Bukit Pelangi itu, maka dari kota Bogor akan berbelok menuju arah Sentul, tapi saat sudah masuk wilayah Babakan Madang langsung lurus saja, hingga akhirnya bertemu dengan gerbang komplek Bukit Pelangi tersebut. Menurut saya jalur ini memang menantang awalnya, tapi lambat laun jadi mulai bosan, medan jalannya itu naik dan turun tajam beberapa kali. Tambahan lagi lewat sini maka jaraknya justru bisa lebih jauh, karena memutari bukit. (Warna Kuning)

Kemudian jalur alternatif lainnya adalah jalur Gunung Geulis, secara posisi letaknya bersebelahan dengan Bukit Pelangi (Rainbow Hills), karena wilayah yang dilewati itu merupakan komplek lapangan golf. Untuk jalur ini tidak terlalu naik dan turun, tapi sebelum masuk kompleks golf, jalannya itu semakin sempit seperti jalur perkampungan. Pertemuan kedua jalur ini tidak jauh dari gerbang masing-masing, sebelum sampai di jalur utama Puncak. (Warna Orange)

Hingga akhirnya karena ingin melewati jalan yang lebih rata dan landai, maka ada jalan alternatif lainnya melalui Sukaraja, dengan melewati kompleks Summarecon yang sedang dibangun. Jalur ini bersebelahan dengan jalan tol, naik turunnya juga tidak terlalu tajam. Jalan ini akan menyatu dengan jalur Bukit Pelangi di wilayah Pasir Angin, sebelum masuk ke jalur utama Puncak. (Warna Pink)

Jalan alternatif di atas semuanya itu memutar, otomatis berjarak lebih jauh. Tapi keunggulannya bisa menghindari kepadatan lalu lintas andai kemacetan terjadi. Pertanyaannya kenapa selalu lewat jalan alternatif? Andai jalur utama jalan Raya Bogor itu yang paling cepat? Jawabannya karena biasanya saya transit dulu di Sentul, bermalam di rumah keluarga di sana, tidak langsung jalan dari Jakarta.

Dulu sewaktu awal-awal baru pertama kali ke Puncak, saya kuat pergi dan pulang dalam sehari membawa motor. Pastinya lewat jalan utama lebih cepat dan nyaman. Jiwa muda masih bersemangat untuk menyusuri jalan. Tapi lambat laun cukup lelah juga menguras tenaga, hingga akhirnya lebih memilih jalan santai dengan transit terlebih dahulu. Pilihan ini justru "membiasakan" saya untuk menikmati segala sesuatunya, tidak lagi menjalankan gaya kejar tayang. Xp

Belakangan jika start dari Sentul, justru saya menemukan jalur yang lebih cepat, melewati jalur Bojong Koneng yang sudah cukup lebar. Meski di desa terakhir jalan mulai agak menyempit, tapi masih cukup dan manusiawi untuk dilewati kendaraan beroda dua. Jalur ternyata lebih cepat, kondisi jalannya tidak naik turun, tapi memang semakin menanjak menuju desa terakhir, sebelum bertemu pertigaan dengan arah berbeda.

Pertama itu jalan yang sudah bagus kondisinya ke kanan, menuju Pasir Angin, alias akan menyatu dengan jalur dari Bukit Pelangi dan Gunung Geulis. Untuk durasi cukup singkat dan jalannya enak. (Warna Biru)

Artinya semua jalur alternatif dari sisi kiri jalur utama Puncak, semuanya akan menyatu di jalan yang sama, berlokasi di Cibogo di samping jembatan yang menyeberangi sungai Ciliwung.

Julukan jalan alternatif memang benar, karena arahnya dari sisi kiri, bukan dari sisi kanan atau dari jalur utama Bogor Tajur Ciawi. Tapi posisinya itu masih di bawah, alias tidak jauh dari keluar gerbang tol untuk kendaraan roda empat. Kalau diberi pilihan, memang tetap lebih nyaman lewat jalur utama saja, karena cenderung rata dan tidak harus melewati bukit.

Kedua itu untuk pertigaan dari ujung jalan alternatif Bojong Koneng ini, andai berbelok ke kiri, maka akan langsung mengarah di jalan perkampungan Megamendung. Saya pernah menjajal jalur ini, tapi dengan kondisi jalan yang masih rusak. Kemudian pada kesempatan lain lewat lagi, jalan dari pertigaan mulai di-cor beton sedikit. Di sana ada satu turunan panjang yang cukup curam, harus berhati-hati mengendalikan kendaraan. (Warna Merah tebal dekat garis Biru)

Semua jalur alternatif itu memang bisa diakses dan menyatu di bagian Cibogo, posisinya masih di bawah dekat gerbang tol. Jika terus melaju sampai Megamendung Cisarua dan sampai ke Puncak, sudah tidak ada lagi jalur alternatif dari sisi kiri, karena sudah merupakan bukit memajang. Salah satunya dengan hadirnya tempat wisata Curug Panjang atau Curug Cilember, sebagai batas hutan di sana.

Sementara untuk sisi kanan masih relatif terbuka dengan pemukiman penduduk, kondisi medannya juga lebih landai. Bahkan untuk wilayah ini direncanakan ada pembangunan tol, hingga jalurnya itu memutar dan tidak langsung menanjak. Berbatasan langsung dengan kaki gunung Pangrango, serta tempat komersial hotel atau villa di sana belum sebanyak di dekat jalan umum utama.

Untuk jalan alternatif ini, mulai banyak pemilik media sosial yang membagikan infonya. Kurang lebih mirip dengan beberapa warga lokal sana yang turun ke jalan, andai jalan utama Puncak sedang macet total. Mereka mengarahkan pengendara untuk lewat jalan alternatif, tentunya ada sejumlah balas jasa yang harus dikeluarkan.

Beruntung sebagian pengguna berkomentar apa adanya, bahwa jalur alternatif itu kadang bisa menjebak. Antara kondisi medan turunan dan tanjakan yang datang tiba-tiba, atau lebar jalan yang sempit di beberapa bagian. Tidak sedikit pula yang pada tiap tikungan selalu ada warga yang minta sumbangan sukarela. Banyak yang merasa kapok setelah melalui jalur tersebut. Salah satunya di konten video yang saya lihat itu, mengambil jalur dari Summarecon yang langsung menembus Gunung Geulis, jadi agak berbeda arah dengan jalur warna pink di atas.

Meski di alinea awal tadi saya bercerita sudah agak bosan berwisata di sini, tapi bukan berarti tidak lagi saya kunjungi. Mungkin intensitasnya saja yang berkurang, tidak terlalu sering seperti dulu. Bahkan jika sedang ada "kepentingan" justru saya akan bersemangat kembali ke sana. Salah satunya rasa penasaran, untuk mengabadikan jalur Puncak tersebut dalam dokumentasi lengkap.

Niat itu baru kesampaian belum lama ini. ketika punya mainan baru berupa kamera aksi. Artinya kita bisa mengabadikan situasi jalanan secara langsung, karena posisi kamera ada di badan pengendara, atau terpasang di salah satu sisi kendaraan. Hasilnya perjalanan bisa langsung terekam dalam video, hal itulah yang cukup membuat puas dan bangga, dapat mengabadikan jalur Puncak dari Gunung Mas hingga ke Puncak Pass.

Membawa motor secara santai, serta dengan jalan yang lenggang di tengah pekan. Waktu yang dibutuhkan dalam satu arah itu kurang lebih sepuluh menit, tanpa henti dari bawah ke atas. Untuk penyajian video secara keseluruhan, maka di banyak bagian akan dipercepat durasinya, hingga dapat memuat seluruhnya secara singkat.

Untuk durasi normal tentu tidak ketinggalan, karena dokumentasi jalur Puncak ini salah satu yang jadi favorit saya. Pastinya rekaman banyak yang dipotong, karena hanya menampilkan beberapa bagian tikungan saja, dengan pemandangan cantik dan menarik. Jalan berkelok-kelok kanan kiri, serta kebuh teh di sisi jalan, menjadi dua perpaduan dari kecantikan alam yang bisa dinikmati.

Secara khusus kegandrungan mengenai Puncak ini akhirnya paripurna, saat suasana di sana berhasil diabadikan seluruhnya. Berbeda dengan keadaan dulu, ketika saya hanya merekam sepotong-potong, caranya dengan berhenti di satu titik di pinggir jalan, untuk kemudian baru merekam keadaan sekitar, rasanya memang seperti ada yang kurang.

Banyak jalan menuju Puncak (Tujuan), tapi apakah kita mau melangkah (Gerak) di jalan tersebut? Itu yang justru lebih penting. Karena sebuah kunci tetap berlaku, di mana ada kemauan, di sana ada jalan. :D