Sabtu, 21 Januari 2023

Makanan Nikmat


Untuk cerita dunia makanan ini akan dikupas lebih lagi. Sebelum ini juga sudah dituliskan khusus, mengenai salah satu jenis makanan yang bisa dilahap cepat. Dalam hal ini dongeng tentang makanan instan di sini, tapi untuk yang sekarang ada perbedaan dalam tema bahasan.

Makanan nikmat, apa yang terlintas pertama kali saat mendengarnya? Pastinya makanan yang kita sukai sesuai selera, alasan utamanya tentu karena punya rasa yang enak. Secara kebetulan selera tiap-tiap orang berbeda, hingga berlaku secara relatif dan tidak bisa disamakan semua.

Ide tentang cerita ini muncul saat saya nonton film The Menu belum lama ini. Awalnya melihat cuplikan filmnya di media sosial, tentang seorang tokohnya yang meminta hidangan burger keju kepada sang koki. Suasananya cenderung aneh, karena tangan dari tokoh tersebut agak kotor, seperti ada noda bercak yang terlihat. Hingga mengundang rasa penasaran dan langsung menontonnya, karena filmnya sendiri sudah beredar beberapa bulan.

Pada akhirnya di sinilah cerita ini bermula, tentang makanan dan apa yang nikmat (enak) dan mewah (nyaman). Keduanya bisa punya arti yang berbeda, karena punya jalur yang berlainan satu sama lain. Misalnya tentang satu jenis makanan dari olahan telur, di satu tempat dan tempat lain bisa berbeda nilai, hingga harga yang dibayarkan pembeli akan beda. 

Demikian juga dengan cara penyajian, ada yang biasa saja dan ada juga yang sangat memerhatikan posisi makanan, hingga lebih cantik dan sedap dalam pandangan mata. Misalnya untuk makanan nasi goreng, di kedai tenda biasa tidak ada yang istimewa, karena disajikan dalam tampilan dan pelengkap dasar. Sementara di tempat yang lebih modern dan elite, nasi goreng tersebut lebih cantik dipandang, dengan pelengkap yang diatur sedemikian rupa, hingga harganya juga akan berbeda, itu juga sudah termasuk perbedaan lokasi tempat.

Pada film tersebut sang koki menggunakan makanan sebagai ajang berekspresi. Dalam hal itu setiap makanan yang disajikan selalu punya cerita, berhubungan sebagai "kejadian kecil" dari apa yang diceritakan. Misalnya ada cerita sang koki menyesal dari kejadian masa lalu, dikatakan seharusnya menusuk seseorang tapi tidak dilakukan. Hal itu tertuang dalam sajian makanannya, ketika potongan ayam ditancap oleh sebuah gunting.

Terlepas dari ide cerita film yang agak aneh, urutan adegan dari hidangan pertama sampai akhir selalu punya cerita. Para tamu yang terpilih tersebut dapat meresapi pengalaman, serta rasa dari makanan tersebut di lidah. Hingga akhirnya satu tokoh ada yang protes, tidak sungkan berkata bahwa dirinya tidak suka dengan hidangan makanan dari sang koki.

Salah satu alasannya tentang tidak adanya kesenangan dalam menikmati makanan. Balik mengkritik tentang arti-arti dari sajian makanan itu, layaknya sebuah latihan intelektual. Meski dalam cerita film tersebut, sesungguhnya tokoh itu sedang mencari cara, untuk bisa menyelamatkan diri. Berlanjut pada permintaan tokoh itu kepada sang koki, untuk disajikan burger keju yang sederhana.

Pada titik itu menjadi sebuah titik balik, bahwa apa yang dibangun dengan "mewah" dan berharga mahal, ternyata tidak selamanya akan menyenangkan semua pihak. Bahkan sang koki juga memberi perbandingan dari hidangan yang diminta, bahwa burger keju buatannya akan sama dengan pengalaman sang tokoh, saat pertama kali mencicipi burger keju murah yang dibelikan oleh orang tua.

Alur utama dari film di atas tadi adalah jamuan, berupa beberapa hidangan yang punya cerita, hingga susunan dan posisi dari makanan juga mendapat perhatian. Tokoh kokinya sendiri menjelaskan, bahwa memasak merupakan sebuah karya seni, untuk para pelakunya menuangkan keahliannya dalam olahan bahan makanan, serta memasaknya untuk disajikan.

Kemudian dulu saya juga pernah nonton film tentang dunia kuliner ini, bahkan kadang juga saya saksikan kembali untuk penyegaran. Judul filmnya itu Cook Up a Storm, berasal dari dunia film di negeri mandarin.

Ide utama dari film ini adalah tentang persaingan dua tokoh, karena masing-masing punya talenta memasak yang khusus. Keduanya bersaing bersamaan dengan kedai makanan yang jadi tempat mereka bernaung. Tokoh pertama punya gaya tradisional, sedangkan yang kedua punya gaya modern. Antara rasa enak dan kuat tradisional, akan diadu dengan rasa mewah dan nyaman dari sisi modern, hingga menawarkan perbedaan dua kutub utama.

Kemudian ada adegan ketika keduanya bertanding, beradu keahlian di satu ajang kontes kuliner. Pada saat penilaian dari juri, ternyata tokoh dengan gaya tradisional mendapat nilai sempurna dari dua juri, jika berkaitan dengan rasa enak di lidah. Hingga juri terakhir yang memegang kunci membuat keduanya seimbang. Alasan yang keluar cukup masuk akal, bahwa makanan enak memang penting, tapi tidak hanya sebatas dari mulut turun ke perut, tapi ada hal-hal lainnya yang perlu mendapat perhatian.

Juri senior ini akhirnya memenangkan tokoh dengan gaya modern, meski tokoh ini tidak mendapat nilai sempurna dari rasa yang enak. Alasannya karena punya sikap respek, terhadap industri kuliner dan pihak-pihak lain, terlebih apabila berada di dalam dunia hiburan tersebut. Bahkan di acara itu selain makanan dan rasa, ternyata memang ada arti yang diangkat mereka, hingga cerita bisa berkembang masuk ke dalam angan-angan (imajinasi) makna.

Hal itu berlaku pula pada adu kontes kuliner lainnya di adegan lain, ketika kedua tokoh utama justru menjadi satu tim. Menyajikan makanan yang tidak hanya punya rasa enak, tapi juga tampilan yang menarik. Untuk segi artistik dari sebuah bentuk makanan, maka sebuah arti akan dikembangkan lebih luas, karena tetap punya porsi dalam penilaian. Tambahan lagi apa yang disajikan itu bisa mengundang selera orang lain, sebagai titik pertama yang menarik minat pandangan mata.

Menggunakan satu bidang sebagai ajang ekspresi sebetulnya bukan hal baru, itu juga berlaku di bidang lain, termasuk salah satunya makanan minuman dari dunia kuliner ini. Kegiatan itu lebih kepada memberi arti dari segala sesuatu, tidak ada yang salah juga sebenarnya, hingga diperlukan waktu dan tempat yang sesuai. Kata lain dari ekspresi itu adalah perumpamaan, untuk menyampaikan sesuatu dari kejadian atau bentuk yang bisa dilihat kasat mata.

Jadi apakah sebuah makanan harus punya arti? Tidak juga, karena hal itu tidak mutlak diperlukan. Fungsi dasar makanan adalah untuk menyenangkan lidah dan mengenyangkan perut, tapi ada fungsi-fungsi lainnya juga mendapat perhatian. Misalnya kenyamanan dan pengalaman, hingga sebuah kesan akan muncul dengan sendirinya. Makanan itu punya nilai tertentu, contohnya mewah dan berkelas yang umumnya berasal dari penawaran kenyamanan, tapi tidak menutup kemungkinan terdapat hal yang menawarkan pengalaman.

Untuk makanan yang menawarkan pengalaman, hal itu cukup unik dan tidak bisa diukur dari kenyamanan, entah itu berlokasi di tempat modern atau mahal. Justru sebaliknya makanan yang mendatangkan pengalaman itu lebih berkaitan dengan diri kita sendiri. Paling umum itu adalah makanan enak yang sesuai selera, hingga meninggalkan kesan yang tidak mudah hilang. Atau ada juga jalan lainnya ketika sebuah label komersial kuliner ikut berpengaruh, saat kita menyantap hidangan mereka.

Khusus untuk label komersial memang bisa ikut berpengaruh, ketika kita merasa puas menyantap makanan atau minuman, tapi pengalaman itu lebih condong pada kenyamanan. Aturan main alamiah (masih) bisa terjadi, andai yang disajikan memang sesuai selera dan memang rasanya enak. Tapi tidak menutup kemungkinan sebaliknya, rasanya biasa saja, tapi karena label kulinernya sudah terkenal, kita (mungkin) ikut bangga mencicipi sajian mereka. Nah yang demikian sudah masuk kategori kenyamanan, karena berangkat dari pengalaman psikologis (pikiran).

Sebaliknya pengalaman yang berhubungan dengan rasa enak itu berbeda. Hukum utamanya tidak semua makanan enak itu harus (label komersial) terkenal, kenapa? Karena biasanya setiap kedai kuliner itu bisa terkenal di wilayahnya masing-masing. Hingga sebagian kita rela datang ke suatu tempat yang jauh, karena ngidam atau ingin menyantap sajian yang enak tersebut. Nah untuk pengalaman ini sudah masuk dalam kategori rasa enak, karena berangkat dari pengalaman fisiologis (lidah).

Pada adegan terakhir di film Cook Up a Storm itu, terdapat adu kontes final salah satu tokoh, melawan tokoh lain yang sudah terkenal yang ternyata adalah orang tuanya (skenario film). Diceritakan di sana, apa yang disajikan tokoh utama bukan lagi untuk menang, tapi hanya sekadar memberi pembuktian saja. Bukan lagi tentang rasa enak atau hidangan menarik, tapi sebuah pengalaman yang bisa membangkitkan nostalgia. Makanannya hanya berupa mie sederhana, tapi dengan rasa yang sangat terpantik kuat di lidah, ketika langsung disajikan ke sang ayah.

Kejadian yang sama juga berlaku pada film The Menu, ketika sebuah nostalgia juga dialami oleh tokoh koki, ketika menyajikan permintaan untuk membuat burger keju. Bukan sebuah sajian yang mewah dan berkelas tinggi, tapi hanya sebuah makanan dasar sederhana, tapi punya kekuatan untuk membangkitkan pengalaman yang berkesan.

Atau pernah kita menyantap makanan, tiba-tiba kita seperti mengingat masa lalu? Nah artinya makanan itu (spontan) punya nilai pengalaman, tapi bedanya tidak sengaja atau tidak direncanakan untuk disantap. Sebaliknya apabila memang kita cari, artinya lidah kita ingin bernostalgia, alias ngidam terhadap satu jenis masakan.

Untuk tingkah ngidam ini pernah juga dirasakan, kala itu ingin menyantap satu satu jenis masakan. Tapi sayang tempat yang biasa menjual sudah tutup di lokasi awal, hingga mencari tempat lain tapi dengan hidangan yang satu tipe, namun rasa dan penampakan bisa beda dan tidak sama persis. Belakangan diketahui tempat itu masih buka, hanya pindah lokasi di wilayah yang sama. Meski punya satu jenis menu yang sama, setiap tempat akan punya tipe dan rasa yang unik sebagai ciri khas masing-masing.

Jadi selain adanya sebuah arti dalam sajian makanan, atau penataan agar sajian makanan menarik dipandang, tentu ada sebuah rasa yang juga perlu mendapat perhatian. Ini kembali lagi pada fungsi dasarnya, tentang rasa atau nilai dari sebuah makanan. Menyantap hidangan yang sesuai dengan selera kita, pastinya sebagai salah satu cara berekreasi untuk kebutuhan hiburan kita masing-masing.

Uniknya untuk masa kini, ketika media sosial berkembang pesat. Maka pihak-pihak bidang kuliner yang menawarkan pengalaman rasa (tapi tidak terkenal) jadi ikut terangkat. Cara alaminya dengan sistem kebutuhan timbal balik (simbiosis mutualisme), antara pihak kedai kuliner bersama orang-orang yang punya profesi sebagai food vloger. Pemburu konten dapat target liputan, sementara pihak resto akan mendapat sorotan.
Klik di sini

"Kalau kaya begini sih, emank sambil nyelem minum air. Bisa-bisa semua tempat mie se-Jakarta bakal kena semua dibuat konten. Setiap wilayah pasti punya kuliner favorit warga lokal, tinggal tunggu giliran aja" seloroh saya, ketika melihat info yang dibagikan teman tentang kuliner ini. Sesuatu yang tampaknya biasa saja, tapi memang akan mendatangkan rasa penasaran andai sengaja "diangkat" dalam konten.

Kemudian tersedia juga cara yang tidak alami, alias menggunakan hubungan (bisnis) timbal balik sebagai pengguna jasa. Konon untuk sistem ini merupakan jalur berbayar, karena pembuat konten sengaja diundang untuk menyorot kedai makanan mereka, serta dibebankan rate card yang disepakati. Kembali lagi keduanya akan mendapat keuntungan masing-masing.

Fenomena tentang maraknya dunia kuliner ini semakin cepat, tatkala terdapat sebuah ajang pencarian bakat di bidang ini. Namanya ajang MasterChef, yang ternyata sudah eksis sejak lama. Tapi pamornya lebih meroket tinggi, saat acara itu memakai juri dengan nama tertentu, atau dengan gaya penilaian yang lebih menarik hingga digemari oleh penonton.

Kembali lagi pada ajang lomba yang demikian, apalagi dengan nilai komersial yang melekat erat, pastinya akan ada pengaturan dalam penayangan. Tapi yang pasti salah satunya tentang penilaian makanan dari sang juri, dilakukan secara detail dan spesifik, karena memang hal itulah yang jadi daya tarik. Misalnya sebuah makanan dikomentari, rasanya terlalu atau kurang ini itu. Serupa dengan makanan yang kurang atau kelebihan bahan bumbu, misalnya gula garam, bawang cabai dan lain sebagainya.

Mirip juga dengan cerita kedua film di atas The Menu dan Cook Up a Storm, terdapat tokoh-tokoh tertentu yang dianggap mahir dalam bidang tersebut. Hingga mengomentari hidangan yang disajikan, entah kurang panas, menyebut bahan makanan tertentu, hingga bagaimana rasanya saat sudah di dalam mulut, dan lain-lain.

Pada akhirnya sebuah makanan memang tidak akan lepas dari fungsi utamanya, tentang sesuatu yang (ujungnya) kita lahap dari mulut. Rasa enak itu tentu berasal dari kondisi dalam diri kita. Sementara untuk tingkat kenyamanan itu lebih berasal dari luar diri, entah tempat yang bagus, layanan yang baik, atau penyajian yang cantik artistik dan lain sebagainya.

Jadi bagaimana dengan kita? Apa yang kita fokuskan dalam makanan? Apakah makanan yang enak? Atau tempat makan yang nyaman? Jawabannya bebas-bebas saja tergantung selera masing-masing. Ada yang suka makan di tempat kedai makanan, sekaligus mendapat suasana yang baik. Ada juga yang suka pesan untuk dibawa pulang, atau memanfaatkan jasa layanan antar untuk dikirim ke kita.